Spekulasi Dalam Penyediaan Hunian Terjangkau
Harga hunian yang kian tak terjangkau membuat persoalan ketimpangan pemilikan rumah (backlog) sulit diselesaikan. Tingginya harga hunian yang hanya bisa diakses oleh kalangan berpenghasilan tinggi, selain memperlebar ketimpangan, juga menyuburkan praktik spekulasi kepemilikan properti.
UUD 1945 Pasal 28 huruf H ayat (1) mengamanatkan setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tempat tinggal merupakan kebutuhan pokok di luar pangan dan sandang yang wajib terpenuhi.
Namun, persoalan pemenuhan tempat tinggal masih menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai. Apalagi di kota metropolitan seperti Jakarta, persoalan pemenuhan hunian memiliki tantangan yang lebih kompleks, terkait mulai dari keterbatasan lahan hingga kesenjangan sosial ekonomi.
Data Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menunjukkan tingkat kepemilikan hunian (home ownership rate) Jakarta hanya di angka 51,09 persen. Jika dibandingkan dengan daerah lain, Ibu Kota berada di posisi terburuk diikuti Kepulauan Riau. Kedua provinsi ini menjadi wilayah dengan rasio rumah milik di bawah 70 persen.
Komposisi bermukim berdasarkan hasil Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2017 menunjukkan kepemilikan rumah di Jakarta hanya sekitar 48 persen. Sekitar 36 persen orang tinggal di rumah kontrakan atau sewa. Sementara sekitar 13 persen bermukim di tempat tinggal yang bebas sewa seperti rumah keluarga. Selebihnya bertempat tinggal di rumah dinas dan lainnya.
Backlog hunian di Jakarta mencapai 1,3 juta rumah. Pemenuhan satu juta unit tempat tinggal ini bukanlah perkara mudah. Akar permasalahan pemenuhan kebutuhan hunian ini bukan semata terletak pada soal suplai yang minim. Namun, juga dikarenakan harga yang semakin jauh dari jangkauan kemampuan orang yang membutuhkan rumah.
Tak Terjangkau
Indonesia Property Watch (IPW) pernah memetakan harga tanah perumahan di wilayah perkotaan. Hasilnya, di wilayah Jakarta, harga paling murah mencapai 7,9 juta per meter persegi. Tidak heran, di wilayah yang lebih strategis dan semakin mendekati pusat kota, harga lahan pun meningkat puluhan kali lipat.
Selaras dengan hal itu, nilai jual properti di Jakarta pun terdongkrak. Situs properti Rumah123.com pernah merilis hasil survei mengenai harga jual properti di Jakarta di mana mayoritas (95 persen) harga berada pada skala tertinggi yaitu di atas Rp 480 juta. Suplai ini berbanding terbalik dengan daya beli masyarakat terutama pada kalangan usia muda. Penghasilan 46 persen pekerja yang berusia muda masih kurang dari Rp 4 juta per bulan dan sebanyak 34 persen lainnya di kisaran Rp 4-7 juta per bulan.
Dengan gaji sebesar Rp 4 juta per bulan, kemampuan membeli rumah pekerja usia muda ini hanya pada kategori rumah sederhana. Daya belinya, yang diukur dari kemampuannya mencicil, pun akan terus menurun karena kenaikan gaji tidak bisa mengimbangi kenaikan harga rumah. Kenaikan gaji per tahun mengikuti angka inflasi, sementara kenaikan harga properti bisa mencapai 17 persen per tahun.
Sebagai ilustrasi, dengan asumsi kenaikan gaji sebesar 10 persen per tahun dan harga properti naik 17 persen per tahun, maka orang yang pada 2017 berpenghasilan Rp 4 juta per bulan, sudah menurun kemampuannya untuk mencicil hunian yang harganya Rp 150 juta sejak 2018 (lihat tabel). Setelah 2018, daya beli untuk rumah sederhana tersebut semakin merosot. Melihat tren kenaikan harga hunian, merosotnya daya beli ini pun bisa terjadi pada kelompok pekerja berpenghasilan mencapai Rp 12 juta per bulan.
Di Jakarta, harga hunian terus dan akan terus meningkat tinggi. Kawasan kota akan semakin padat dengan bertambahnya fungsi komersial. Lahan pun akan menjadi sangat terbatas dan mahal harganya. Dengan kondisi ini, model hunian yang sangat memungkinkan untuk dibangun mengarah pada bentuk hunian vertikal, seperti apartemen atau rumah susun. Sementara hunian tapak atau landed house, lokasinya akan menjauhi kawasan kota yang saat ini telah disokong oleh daerah penyangga Jakarta karena ketersediaan lahan masih mencukupi.
Pemerintah sudah berupaya menyediakan rumah yang terjangkau untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Namun, pelaksanaan program tersebut banyak mengalami kebocoran. Penyediaan hunian banyak yang tidak tepat sasaran karena yang mendapatkan unit hunian justru orang mampu. Blok hunian vertikal Kalibata City, misalnya, semestinya diperuntukkan bagi kalangan MBR. Namun, pembelian unit banyak dilakukan oleh para kalangan “berduit” untuk tujuan investasi.
Motif berinvestasi di properti/apartemen ini menggiurkan. Pada 2008, harga satu unit apartemen Kalibata berkisar antara Rp 80 juta – Rp 120 juta. Tidak sedikit spekulan dari kalangan berduit kemudian membeli unit hunian, bahkan lebih dari satu unit. Tujuannya tentu saja untuk memperoleh keuntungan berlipat dari nilai jual yang meningkat. Kini, harga satu unit apartemen di sana sudah berkisar Rp 300-500 juta.
Karena sifatnya investasi, saat ini, pemilik asli apartemen ini tercatat hanya sekitar 20 persen. Selebihnya, unit hunian sudah berpindah kepemilikan ke tangan orang kedua, ketiga, dan seterusnya. Praktik spekulasi properti semacam ini paling masif terjadi di Jakarta dan bukan hal baru dalam bisnis properti. Peningkatan harga yang tinggi dalam waktu singkat membuat banyak orang tergiur meskipun lantas menabrak aturan yang ada.
Spekulasi ini juga terjadi pada program rumah DP nol rupiah yang dijalankan pemerintah DKI Jakarta. Ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuat program rumah murah DP Nol Rupiah di Klapa Village, ada sekitar 1.790-an orang pendaftar yang berminat dan terverifikasi untuk mendapat program ini. Namun, lagi-lagi upaya penyediaan rumah ini menuai polemik setelah muncul kabar beberapa penerima unit hunian merupakan orang dari kalangan mampu yang memiliki mobil mewah.
Motif berinvestasi di properti/apartemen ini menggiurkan. Pada 2008, harga satu unit apartemen Kalibata berkisar antara Rp 80 juta – Rp 120 juta. Kini, harga satu unit apartemen di sana sudah berkisar Rp 300-500 juta.
Investasi Menjanjikan
Menjadi sebuah ironi, di tengah tingginya kebutuhan akan hunian, harga yang ditawarkan pasar properti hanya dapat dijangkau kalangan menengah ke atas. Tahun 2018, rata-rata harga apartemen di Jakarta sudah mencapai Rp 33 juta per meter persegi. Untuk di kawasan pusat bisnis (CBD) bahkan harga sudah mencapai Rp 51 juta per meter persegi. Tidak mengherankan jika satu unit apartemen studio kini harga jualnya bisa lebih dari Rp 1 miliar.
Meski mahal, pasar properti hunian vertikal ini tidak pernah sepi. Setidaknya dalam dua tahun terakhir tingkat okupasi apartemen di Ibu Kota mencapai lebih dari 70 persen. Angka itu termasuk tinggi. Jika ditinjau dari pasokan hunian yang ada, data dari lembaga riset properti Colliers Internasional Indonesia menyebutkan suplai apartemen di Jakarta cukup tinggi. Tahun 2018 lalu, tidak kurang dari 19.883 unit apartemen baru yang dibangun. Sementara tahun ini, meski sedikit menurun, akan ada penambahan sekitar 17.000 unit apartemen lagi.
Tren peningkatan harga properti yang melonjak saat ini tentu menjadi daya tarik untuk investasi. Lumrah ditemui, para marketing properti bukan hanya memprospek calon pembeli dengan menjual kenyamanan suatu tempat tinggal, tetapi bahkan mempromosikan nilai jual yang meningkat di kemudian hari sehingga sangat meyakinkan untuk investasi.
Berinvestasi pada sektor properti, khususnya apartemen, merupakan pilihan yang cukup aman karena minim risiko dan mendatangkan keuntungan besar dalam waktu cepat. Alasan tersebut menjadi daya tarik yang kuat dibandingkan model investasi lain seperti menaruh dana di deposito bank.
Suburnya investasi di properti ini bersambut dengan tren pesatnya perkembangan kota di tengah keterbatasan lahan yang mengubah pola bermukim orang menjadi tinggal di ruang vertikal. Tinggal di apartemen menjadi tren. Pasarannya sekarang, rata-rata biaya sewa apartemen bisa mencapai Rp 4-5 juta per bulan. Sementara untuk nilai jual unit per tahunnya bisa naik hingga seratus persen dari harga beli.
Tingginya permintaan terhadap hunian vertikal ini memengaruhi harga yang juga menguntungkan pengembang. Lihat bagaimana harga rumah atau apartemen yang dijual oleh sebuah marketing perusahaan developer. Pada tahap awal, penjualan unit hunian itu dibuka dengan harga Rp 350 juta, misalnya. Harga itu dapat melonjak menjadi Rp 400 juta bahkan Rp 500 juta pada penjualan tahap kedua yang jaraknya hanya beberapa bulan dari penjualan sebelumnya.
Keuntungan berlipat dalam jangka waktu singkat, baik bagi pengembang maupun konsumen. Siapa yang dari kalangan berduit yang tidak tergiur akan investasi semacam ini. Dari survei Rumah123.com, bagi sekitar enam persen kelompok yang memiliki penghasilan tinggi, harga properti tinggi bukanlah kendala untuk membeli. Seberapa tinggi pun nilai yang akan dibayarkan, asal di kemudian hari dapat mendatangkan keuntungan ganda, mereka tidak ragu untuk mengeluarkan uang untuk investasi.
Geliat bisnis sewa apartemen ini meningkat dalam tiga tahun terakhir. Bahkan model bisnis penyewaannya pun tidak lagi dalam hitungan waktu satu bulan atau tahunan, tetapi sewa harian layaknya sebuah hotel. Saat ini sudah banyak bermunculan perusahaan rintisan yang bermitra dengan para pemilik properti untuk menawarkan jasa sewa unit apartemen melalui aplikasi daring seperti Airbnb, Airyroom, Flipkey dan lainnya.
Karena masalah harga tanah, ke depannya, ruang untuk bermukim memang akan semakin meluas ke pinggiran pusat kota. Namun demikian, berharap harga tanah di wilayah penyangga akan lebih murah masih spekulatif dan belum sepenuhnya mampu menjawab persoalan pemenuhan akan kebutuhan rumah. Pesatnya perkembangan infrastruktur, terutama jalan tol, telah memantik pertumbuhan nilai properti melesat lebih cepat bahkan hingga ke kawasan pinggiran. Alhasil, hunian di area penyangga pun tidak memberikan banyak pilihan yang dapat dijangkau. Hasil survei Rumah123.com memetakan kisaran skala harga tertinggi yaitu lebih dari Rp 480 juta di kota penyangga sudah mencapai 78 persen.
Pemenuhan kebutuhan hunian memang tidak bisa diselesaikan secara instan. Perlu aturan penyediaan rumah menyeluruh untuk menekan angka backlog. Dasar regulasi, perbaikan basis data, dan pengawasan yang optimal perlu dilakukan untuk mengantisipasi praktik spekulasi sehingga realisasi program tepat sasaran. (LITBANG KOMPAS)