Silvester Petara Hurit Menyemai Seni dari Batu Bertanah
Ranah bumi Kabupaten Flores Timur, mencakup ujung timur daratan Pulau Flores dan gugusan pulau di sekitarnya, tersusun atas tanah yang tandus, angin yang kering, dan curah hujan yang terbatas. Konflik antarkampung juga masih beberapa kali meletup. Melalui jalan berkesenian, Silvester Petara Hurit (38) hendak menghidupkan imajinasi warga setempat untuk melampaui keterbatasan itu.
Hari-hari Silvester selama 22 Juni hingga 7 Juli 2019 sibuk luar biasa. Sebagai tuan rumah, dia memastikan tamunya, kelompok Teater Garasi dari Yogyakarta, termasuk empat seniman dari Jepang dan Sri Lanka, mendapatkan kebutuhannya dari sejak persiapan hingga kepulangan. Mereka mementaskan lakon Peer Gynts di Larantuka (Para Pengelana dari Asia) pada Sabtu (6/7/2019), di taman kota, tepi pantai.
Kesibukannya sebenarnya sudah dimulai sebelum kelompok asal Yogyakarta itu tiba. Yudi Ahmad Tajudin, sutradara pementasan itu, menuturkan, Silvester adalah narasumber pertamanya di Larantuka. Dari Silvester, Yudi menyerap dinamika di Larantuka dan sekitarnya, yang menjadi fondasi bangunan naskah yang ia kembangkan bersama Ugoran Prasad.
Silvester mengumpulkan pelaku seni pertunjukan dari seantero kabupaten. Sepuluh seniman, termasuk dirinya, duduk bersama para tamu itu. Mereka saling berbagi perihal kondisi politik, sosial, dan budaya di masing-masing daerah asal.
Diskusi itu penting bagi Yudi. Sebab, mereka hendak memanggungkan kecemasan dan ketakutan yang bersumber dari perubahan dunia berdasarkan perspektif individu.
Silvester, sebagai putra daerah, tentu saja melontarkan keresahannya. Tanah kelahirannya itu, menurut dia, mengalami perubahan mendasar di era pascakolonial Portugis dan Belanda.
”Ada institusi besar yang sangat memengaruhi banyak hal di Flores Timur. Pertama itu negara. Ada sistem desa, rukun tetangga, rukun warga. Juga sistem politiknya yang memengaruhi banyak hal. Kedua adalah institusi agama, gereja. Di sini, agama sangat kuat. Misi mereka adalah bagaimana memajukan umat. Sementara realitasnya, ya, kami begini-begini saja. Itu juga persoalan,” ungkapnya.
Pertemuan dan interaksi masyarakat dengan kedua institusi itu membawa perubahan baik juga. Di sisi lain, ada jejak trauma yang ditinggalkan. Tatanan masyarakat yang telah terbangun berabad-abad silam, kata Silvester, bersinggungan dengan kehadiran dua institusi dominan itu.
Daya hidup
Dalam sebuah esainya, dia pernah menulis, kearifan masyarakat Lamaholot, etnis di Flores Timur, adalah respons terhadap kerasnya alam di sana. Sebagian tradisi dilarang karena dianggap tak sesuai dengan tatanan negara, juga nilai agama.
”Leluhur Lamaholot telah menemukan daya seni dan menempatkannya sebagai tenaga hidup menghadapi musim hujan yang pendek. Alam yang keras membentuk watak manusia Lamaholot yang keras dan tradisi seninya telah menenun jiwa mereka menjadi masyarakat periang penuh perayaan dan sukacita seni”. Demikian tulisnya di Kompas edisi 8 Agustus 2015.
Tradisi seni itu ia rasakan sejak masih kanak-kanak. Silvester terbiasa mendengar kisah-kisah leluhur Lamaholot dari ayahnya. Tradisi dan kesenian masyarakat Flores Timur itu seolah lesap. Larantuka dan sekitarnya tak pernah ada dalam peta kesenian dan kebudayaan nasional, padahal tradisi mereka amat kuat.
Kondisi itu memantik Silvester untuk menekuni kesenian lewat jalur akademik. Alih-alih melanjutkan kuliah keagamaan, dia mendaftar ke Sekolah Tinggi Seni Indonesia di Bandung, yang kini bernama Institut Seni Budaya Indonesia setelah lulus dari SMA Seminari Hokeng Flores.
Di Bandung, dia mempelajari aspek pertunjukan, sekaligus juga menyusun naskah drama, dan pernah menjadi aktor. Selain itu, dia banyak mengamati pergerakan seni di kota lain. Pengamatannya dia tulis dan dimuat secara berkala di media massa, salah satunya di harian Pikiran Rakyat dari tahun 2007 sampai 2010. Ia membangun jaringan keseniannya.
Orangtuanya, terutama sang ibu, sempat mempertanyakan pilihan itu. ”Mama dan bapa mengumpulkan uang untuk menelepon saya lewat wartel di kota (Larantuka). ’Jadi kamu sekolah jauh-jauh belajar teater, bukan sekolah hukum atau teknik sipil,’ begitu kata mama,” kenang Silvester. Ibunya menyerah.
”Ada perkataan bapa yang saya ingat betul waktu itu. ’Sekolah bukan kamu supaya kerja apa, tapi supaya pintar. Kalau ada orang tipu, kamu bisa tahu.’ Mungkin karena bapa saya buta huruf dan pernah ditipu orang,” ujarnya. Ia merampungkan kuliahnya sebagai lulusan terbaik.
Demi kampung
Selepas kuliah, dia merasa harus pulang kampung, meninggalkan segala kenyamanan yang ada di Bandung dan Pulau Jawa. Dia bertekad mengembalikan seni tradisi di kampungnya. Dia percaya, seni bisa membuat orang berdaya lebih kuat.
”Saya butuh ’kendaraan’. Jadi, ketika ada lowongan CPNS, saya mendaftar, dan lolos,” katanya. Dia mengumpulkan teman-temannya—guru, rohaniwan, juga ibu rumah tangga—untuk membentuk kelompok-kelompok seni di lingkungan terdekat. Silvester juga membentuk kelompok Teater Nara pada 2016.
Pergerakan kelompok itu amat cair. Mereka berkumpul hampir setiap pekan, tapi tidak menetap karena domisili anggotanya berjauhan. Ada yang harus menyeberang pulau, ada yang harus meninggalkan ladang demi pertemuan. Dari kelompok itulah, unit-unit pertunjukan di pelosok Flores Timur dibangun.
Dia mengumpulkan teman-temannya—guru, rohaniwan, juga ibu rumah tangga—untuk membentuk kelompok-kelompok seni di lingkungan terdekat. Silvester juga membentuk kelompok Teater Nara pada 2016.
Silvester dan teman-temannya mendampingi setiap ada pertunjukan, mulai dari mengurusi produksi sampai menyempurnakan naskah. Dia sendiri tak lagi tampil di panggung. Geliat yang mulai tumbuh itu mendorongnya membikin festival seni, di antaranya adalah Festival Remaja dan Festival Nubun Tawa.
Perhelatan Festival Remaja, yang salah satunya melombakan pementasan teater antarsekolah, pernah dimenangi SMA Negeri 1 Adonara Barat. Sekolah itu berhak melenggang ke tingkat nasional di Jakarta dan keluar sebagai juara pertama pada 2013.
”Setelah menjadi juara, pendaftar di sekolah itu membeludak. Sekolah membangun gedung baru untuk dijadikan kelas. Jadi, siswa tidak belajar secara bergiliran lagi pagi dan sore,” katanya.
Festival Nubun Tawa tahun 2018 di Eta Knere, Desa Bantala, Kecamatan Lewolema, juga memberikan dampak baik. Jalan menuju bukit itu diaspal dan dipasangi lampu. Warga sekitar menjadi lebih mudah mengangkut hasil kebun mereka ke Larantuka.
Sanggar-sanggar kini semakin banyak di pelosok Flores Timur. Namun, pekerjaan belum selesai. Mereka butuh naskah untuk dipentaskan. Silvester dan kawan-kawannya sedang mengumpulkan cerita asal-usul setiap kampung untuk dibukukan.
Perubahan sedang diupayakan. Lagi-lagi Silvester teringat nasihat ayahnya di hari pertama sebagai pegawai negeri sipil di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Flores Timur.
”Bapa bilang, ’Kamu kerja terutama bukan untuk cari uang, tapi kerja untuk bangun kamu punya halaman. Tugas kamu untuk bikin kampung lebih baik’.” Silvester sedang mengupayakannya.
SILVESTER PETARA HURIT
Lahir: Lewotala, Flores Timur, 25 Mei 1981
Istri: Maria Rosalia Dea
Anak:
- Antonius Ledan Hurit
- Yosef Dominggus Batan Hurit
Pendidikan:
- SMA Seminari Hokeng Flores
- Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Bandung
Pekerjaan: Kepala Seksi Pengembangan Seni dan Budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Flores Timur