Kekeringan, Petani di Cirebon Kibarkan Bendera Putih
Kekeringan yang melanda sentra padi di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, membuat petani tidak berdaya. Selain gagal tanam, petani juga mengalami gagal panen karena tidak mendapatkan pasokan air.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Kekeringan yang melanda sentra padi di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, membuat petani tidak berdaya. Selain gagal tanam, petani juga mengalami gagal panen karena tidak mendapatkan pasokan air.
Karena kondisi itu, belasan petani di Jagapura, Kecamatan Gegesik, berunjuk rasa dengan membakar jerami kering sisa panen musim tanam pertama. Petani juga mengibarkan bendera putih di tengah sawah, Jumat (26/7/2019).
”Bendera putih ini sebagai simbol bahwa petani menyerah. Ini juga bentuk protes karena pemerintah daerah tidak becus mengelola pasokan air ke petani,” ujar Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Jagapura Uug Kujaeni.
Menurut Uug, Desa Jagapura Wetan dan Jagapura Kidul hanya mendapatkan pasokan air bergilir selama 12 jam dalam seminggu. ”Dari saluran induk, air dikirim pukul 18.00. Akan tetapi, airnya sampai ke sini pukul 03.00 dan ditutup lagi pukul 06.00. Kami tidak dapat air akhirnya,” ujarnya.
Akibatnya, ujar Uug, sekitar 300 hektar sawah di kedua desa tersebut gagal tanam. Sawah pun dibiarkan menganggur. Padahal, jaraknya ada yang hanya 10 meter dari saluran irigasi tersier. Total luas sawah di daerah itu mencapai 500 hektar.
Padahal, setiap tahun, kami bisa tanam dua kali. Masak, tahun ini hanya sekali, seperti tahun 1970-an saja.
”Biasanya, bulan Juli ini kami sudah memupuk sawah. Namun, sekarang, menanam padi saja tidak bisa. Padahal, setiap tahun, kami bisa tanam dua kali. Masak, tahun ini hanya sekali, seperti tahun 1970-an saja,” ujar Uug yang memiliki sawah 10 hektar, tetapi tidak ditanami padi karena kekeringan.
Casma (60), petani lainnya, mengaku merugi karena menganggurkan lahan garapannya seluas 2 hektar. ”Lahan itu saya sewa Rp 36 juta selama satu tahun. Jangankan untung, kembali modal sewa lahan saja belum,” ujarnya.
Pada musim tanam pertama, dari 2 hektar lahan, ia mendapatkan 7 ton gabah kering giling (GKG). Dengan harga jual Rp 420.000 per kuintal, ia mendapatkan hampir Rp 30 juta. ”Kami bingung. Di desa, kami diminta menanam padi, tetapi airnya tidak ada,” katanya.
Rasiah (53), petani di Kapetakan, terpaksa menganggurkan lahan garapannya seluas 1 hektar. Lahan yang disewa Rp 12 juta per tahun itu hanya berjarak sekitar 200 meter dari jaringan irigasi tersier. Pipa sepanjang 400 meter dengan biaya lebih dari Rp 800.000 juga telah disiapkan.
Saya mau sewakan lahan dengan harga hanya Rp 500.000, tidak ada yang mau.
Namun, air tidak sampai ke jaringan irigasi tersebut. ”Saya mau sewakan lahan dengan harga hanya Rp 500.000, tidak ada yang mau,” katanya.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon Ali Efendi mengatakan, saluran irigasi saat ini butuh modernisasi untuk menampung debit air lebih banyak sehingga dapat sampai ke daerah ujung irigasi. ”Selama ini, kami menerapkan sistem gilir air agar daerah di ujung irigasi mendapatkan air. Kami terus berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Cirebon,” ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Bidang Operasi Pengelolaan Sumber Daya Air Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk-Cisanggarung Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Harya Muldianto meminta petani tidak menanam saat memasuki bulan Agustus. Alasannya, pihaknya tidak dapat menjamin pasokan air dari Waduk Jatigede, Kabupaten Sumedang.
Pihaknya telah mengalirkan debit air 70 meter kubik per detik dari Waduk Jatigede. Pasokan air tersebut, kata Harya, sudah sesuai dengan RTTG (rencana tata tanam global). RTTG merupakan panduan pemerintah daerah untuk menyusun pola tanam tahunan, termasuk pasokan irigasi.
”Setelah Agustus, debit air akan dikurangi menjadi 20 meter kubik per detik. Ini untuk menjaga volume minimal Waduk Jatigede,” ujarnya.
Berdasarkan data Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon, hingga pertengahan Juli, luas lahan puso atau gagal panen karena kekeringan mencapai 681 hektar. Dengan produksi rata-rata 6 ton GKG per hektar, Cirebon kehilangan 4.086 ton GKG. Cirebon yang memiliki luas sawah 45.000 hektar mampu memproduksi hingga 600.000 ton GKG per tahun.