Pemerintah Provinsi Sumatera Barat segera membahas pembentukan badan pengelola untuk Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto yang baru ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO pada 6 Juli 2019.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Sumatera Barat segera membahas pembentukan badan pengelola untuk Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto yang baru ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO pada 6 Juli 2019. Pembentukan badan pengelola merupakan salah satu catatan yang harus dipenuhi dalam penetapan itu.
Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, di Padang, Senin (8/7/2019), mengatakan, pemerintah daerah akan menggelar rapat paling lambat minggu depan untuk membahas pembentukan badan pengelola. Dalam pembahasannya, pemda akan berkomunikasi dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta berkoordinasi dengan Pemerintah Kota Sawahlunto serta enam kabupaten/kota lain yang juga terdapat bagian warisan itu.
”Kami perlu duduk bersama untuk membentuk badan pengelola untuk Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto. Menentukan struktur badan, program, hingga anggarannya. Pembentukan ini melibatkan provinsi, kabupaten/kota, hingga pemerintah pusat sebab ini juga milik nasional, tidak hanya daerah,” tutur Irwan.
Warisan ini harus dipastikan masuk ke perencanaan nasional sebagai kawasan strategis nasional.
Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto ditetapkan sebagai warisan budaya dunia dalam gelaran ke-43 Pertemuan Komite Warisan Dunia UNESCO di Baku, Azerbaijan, Sabtu, 6 Juli 2019. Meskipun relatif lancar dalam pembahasannya, UNESCO memberikan sejumlah catatan yang harus diselesaikan paling lambat tahun 2021.
”Salah satu catatannya, bentuk pengelolaan warisan ini ke depan harus jelas. Selain itu, warisan ini juga harus dipastikan masuk ke perencanaan nasional sebagai kawasan strategis nasional,” ujar Kepala Dinas Kebudayaan Sumbar Gemala Ranti, yang sedang dalam perjalanan pulang dari Baku, Senin sore.
Pertemuan Komite Warisan Dunia UNESCO yang dimulai sejak 30 Juni itu akan berlangsung hingga 10 Juli. Tahun 2019, total ada 36 situs yang dinominasikan untuk daftar warisan dunia, termasuk Warisan Tambang Batubara Ombilin di Sawahlunto. Sisa-sisa industri tambang batubara era kolonialisme itu berada di Kota Sawahlunto, sebuah kota tambang yang berada sekitar 95 kilometer dari Kota Padang.
Kota Sawahlunto mulai menggarap konsep wisata tambang sejak tahun 2000-an. Hal itu diperkuat dengan lahirnya Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2001 tentang Visi Misi Kota Sawahlunto, yakni menjadikan Sawahlunto sebagai Kota Wisata Tambang yang Berbudaya Tahun 2020. Hingga sekarang, pariwisata di kota dengan luas 273,45 kilometer persegi dan dikelilingi Bukit Barisan itu terus berkembang.
Infrastruktur
Irwan menambahkan, pemda juga akan memperbaiki dan melengkapi infrastruktur. Beberapa destinasi wisata yang fasilitasnya perlu diperbaiki dan dilengkapi adalah Stasiun Kereta Sawahlunto, Lubang Tambang Mbah Soero, dan Museum Gudang Ransum.
Lokomotif ”Mak Itam”, kereta tua bekas pengangkut batubara yang sebelumnya jadi kereta wisata di stasiun, tidak beroperasi lagi karena rusak. Sementara Lubang Tambang Mbah Soero, yang masih curam, perlu disempurnakan agar lebih aman.
Selain itu, kata Irwan, infrastruktur pendukung, seperti jalan, hotel, restoran, dan tempat parkir, juga perlu diperbaiki, dilengkapi, ataupun diperbanyak. Dengan demikian, semua kebutuhan wisatawan dapat terpenuhi ketika berkunjung.
Menurut Irwan, status Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto sebagai warisan dunia akan meningkatkan kunjungan wisatawan, terutama dari mancanegara. Status sebagai warisan budaya dunia akan membuat Sawahlunto menjadi perhatian dunia dan mendapat sokongan teknis dari dunia internasional, seperti pakar dan ahli, informasi, dana, serta promosi.
Hal itu akan berdampak langsung pada peningkatan perekonomian masyarakat, pemda, dan negara. ”Hampir setiap daerah wisata di kabupaten/kota ataupun provinsi angka kemiskinannya rendah karena uangnya langsung didapatkan masyarakat,” ujar Irwan.
Secara terpisah, Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Sumbar Ian Hanafiah mengingatkan pemerintah daerah, khususnya Sawahlunto, agar mengembangkan warisan budaya dunia itu sesuai potensinya sebagai wisata tambang. Pemda perlu menyadari apa yang perlu dibangun dan apa yang tidak boleh dibangun. Sawahlunto tidak perlu mencontoh destinasi wisata lain yang ada di Sumbar.
”Sebagai heritage, pasar paket wisata Sawahlunto bukan mass tourism (wisata massal), tetapi paket western. Jadi, harus dikembangkan potensinya sebagai heritage karena banyak turis mancanegara yang suka,” ujar Ian.
”Beberapa tahun belakangan, sering kali suatu kabupaten/kota ikut-ikutan membuat obyek wisata yang sedang digandrungi sehingga kekhasannya hilang. Kepala daerah harusnya sadar dan paham bahwa pengembangan pariwisata butuh keunikan khas daerah,” lanjutnya.
Ian menyebutkan, daerah lain yang bertetangga dengan Sawahlunto, seperti Kabupaten dan Kota Solok, diharapkan segera berbenah. Selain menyokong Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto, daerah yang menjadi akses wisatawan menuju Sawahlunto itu juga akan mendapatkan keuntungan.
”Kabupaten/Kota Solok punya kekhasan alam dan potensi lainnya. Mereka harus bisa mengikuti dan mengimbangi Sawahlunto agar bisa mendapatkan keuntungan. Kabupaten Solok, misalnya, punya Danau Singkarak yang sudah dikenal sejak dulu, tetapi tidak dibenahi. Danau dipenuhi eceng gondok, bangunan liar, tempat makan sulit ditemui, dan tidak adanya tempat untuk menikmati keindahan danau,” tutur Ian.
Nilai sejarah
Pengajuan Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto menjadi warisan dunia melalui proses panjang. Pengurusan dimulai sejak 2008 dan masuk daftar nominasi sementara World Heritage UNESCO tahun 2015. Sejak saat itu, berbagai prosedur dilalui, mulai dari pengajuan draf awal, melengkapi persyaratan, penilaian ke lokasi oleh tim independen, hingga sidang penetapan 30 Juni-10 Juli 2019.
Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto yang mulai beroperasi sejak akhir abad ke-19 hingga akhir abad ke-20 mengusung konsep tiga serangkai. Tiga serangkai tersebut meliputi industri pertambangan batubara di Sawahlunto, jaringan kereta api pengangkut batubara ke Padang yang melewati tujuh kabupaten/kota di Sumbar, serta sistem penyimpanan di Silo Gunuang di Pelabuhan Emmahaven atau Teluk Bayur.
Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumbar Nurmatias, Rabu, mengatakan, Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto layak menjadi warisan dunia karena menyimpan nilai sejarah yang tinggi. Terlepas dari cerita kelam perbudakan orang rantai dalam pengoperasiannya, tambang batubara Ombilin menjadi pemasok penting industri di Hindia Belanda, Belanda, dan negara-negara Eropa.
”Batubara kalori tinggi di tambang batubara Ombilin merupakan (salah satu) yang terbaik di dunia. Batubara Ombilin menyokong industri. Sistem distribusi batubara dengan kereta api termasuk canggih pada akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20,” ujar Nurmatias.
Kota Lama Sawahlunto dapat dikatakan sebagai kota megapolitan pada masa akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Kecanggihan jaringan kereta api untuk distribusi batubara, kata Nurmatias, terlihat dari penggunaan rel bergerigi yang hampir tidak ditemukan di daerah lain Indonesia. Rel bergerigi banyak ditemukan di Sumbar karena sesuai dengan bentang alamnya yang bergelombang dan berbukit. Jaringan kereta ini juga memiliki banyak terowongan dan jembatan dengan kerumitan konstruksi tinggi.
Warisan yang tak kalah penting dari situs tambang batubara Ombilin adalah masyarakat multikultural dan agama yang bermukim di Sawahlunto. Masyarakat dari etnis Minangkabau, Jawa, Sunda, hingga Batak hidup berdampingan dengan rukun. Dari interaksi mereka, lahir pula bahasa ”kreol”, yang dikenal dengan sebutan bahasa ”tansi”.
”Kota Lama Sawahlunto dapat dikatakan sebagai kota megapolitan pada masa akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Daerahnya sudah multikultur,” ujar Nurmatias.