KPU akan menetapkan presiden-wakil presiden terpilih Pemilu 2019 pada Minggu (30/6/2019). Dinamika dan ”drama” yang tercipta dalam proses kampanye dan kontestasi Pemilu 2019 bisa dibilang salah satu yang paling menghebohkan dalam sejarah pemilu Indonesia.
Oleh
YOHANES MEGA HENDARTO
·5 menit baca
Komisi Pemilihan Umum akan menetapkan presiden dan wakil presiden terpilih Pemilu 2019 pada Minggu (30/6/2019). Dinamika dan ”drama” yang tercipta dalam proses kampanye dan kontestasi Pemilu 2019 bisa dibilang salah satu yang paling menghebohkan dalam sejarah pemilu Indonesia.
Betapa tidak, proses pemilu ini diwarnai dengan beradunya dua kekuatan politik besar, yakni poros Joko Widodo dan poros Prabowo Subianto, yang sebelumnya bertarung di Pemilu 2004. Kehebohan juga muncul karena medium komunikasi massa yang sangat dipengaruhi oleh media sosial.
Akibatnya, publik seakan ”terbelah” dalam dua poros yang berhadapan dengan kandungan ideologi yang diametral, saling menisbikan satu dengan lainnya.
Meski demikian, bagaimanakah sebenarnya pandangan pemilih di balik bilik TPS? Terlebih khusus, bagaimanakah pemilih muda usia (17-35 tahun) yang pada pemilu ini disebut-sebut mencapai separuh dari jumlah pemilih?
Dalam tulisan ini, akan diulas sejumlah temuan yang dapat dibaca dari perilaku pemilih muda saat pelaksanaan pemilu pada April 2019. Temuan ini didapatkan dari hasil survei opini pasca-pemungutan (exit poll) yang dilakukan Litbang Kompas pada hari-H saat pencoblosan, 17 April 2019.
Dari seluruh responden yang berhasil diwawancarai, pemilih muda ternyata menyumbang 44 persen suara responden. Artinya, dari segi jumlah, memang komposisi pemilih muda usia tidak dapat dianggap kecil.
Dari seluruh responden yang berhasil diwawancarai, pemilih muda ternyata menyumbang 44 persen suara responden.
Yang menarik, pemilih muda yang sebelumnya sering kali dianggap apatis, bahkan antipolitik, ternyata justru menampilkan wajah yang lebih independen. Hanya sedikit yang memilih berdasarkan pengaruh orang lain.
Dari 44 persen pemilih muda tersebut, kita bagi menjadi tiga karakter kelompok, yakni yang menjawab pilihannya, yang menjawab rahasia, dan yang menjawab golput. Kelompok paling besar (lebih dari 80 persen responden) menggunakan hak pilihnya untuk memilih salah satu pasangan capres-cawapres.
Adapun kelompok yang merahasiakan jawabannya sebanyak 18,3 persen responden. Sementara yang tidak memilih salah satu pasangan calon (atau memilih keduanya) relatif sangat kecil persentasenya.
Artinya, dapat tergambarkan bahwa pada Pemilu 2019, pemilih muda yang golput (kategori ketiga) terbilang sangat sedikit. Namun, sebagian dari responden yang merahasiakan jawabannya bisa juga tergolong ke dalam pemilih golput.
Perilaku menonjol lainnya dari pemilih muda adalah bagaimana mereka menepis pengaruh orang lain (terutama keluarga) dalam menentukan pilihan capres-cawapres.
Ketika ditanyakan alasan memilih, hanya 1,5 persen yang mengaku ikut pilihan keluarga. Padahal, dalam kelompok lain, lebih dari setengah responden mengatakan pilihan mereka sama seperti seluruh anggota keluarga mereka.
Maka, ada dua kemungkinan yang bisa terbaca dari perilaku ini. Pertama, kemungkinan mereka memang mengikuti pilihan sesuai dengan keyakinan yang ditanamkan dari keluarga meskipun pada akhirnya nilai dan persepsi terhadap salah satu pasangan calon itulah yang kemudian dijadikan miliknya sendiri.
Kemungkinan kedua, justru mereka yang memengaruhi seluruh anggota keluarga dalam menentukan pilihannya di bilik suara. Terkait kemungkinan kedua, bukan hal yang tidak mungkin jika pemilih muda ini memengaruhi anggota keluarga lainnya.
Ciri ini sejalan dengan hasil deskripsi generasi milenial (sebagian besar pemilih muda) yang memiliki karakteristik tersendiri dan berpengaruh dalam bidang politik.
Berpikir kritis (critical), senang akan perubahan (change), suka bergabung dalam komunitas (community), dan gemar mengomunikasikan pilihannya dengan pihak lain (communicative) adalah karakter-karakter yang memungkinkan kelompok ini memberikan pengaruh terhadap orang-orang di sekitarnya.
Dari segi lama waktu menentukan pilihan, sebanyak 53,5 persen pemilih muda telah menetapkan pilihannya sejak lebih dari sebulan sebelum pemilu. Sementara yang menentukan dari sebulan hingga sehari sebelum pemilu, masing-masing hanya berjumlah sedikit. Hasil ini lebih kurang mirip dengan pola pemilih (seluruh usia) secara keseluruhan.
Keunikan lain pada kelompok muda ini ialah sportivitas dalam bersikap. Lebih dari 80 persen pemilih muda ini mengatakan akan menerima dan mendukung siapa pun calon yang menang.
Meski demikian, masih ada yang menyatakan akan menerima hasil pemilu tetapi bersikap tidak mendukung (8,6 persen) ataupun tidak menerima hasil pemilu dan memilih diam (4,3 persen).
Karakter pemimpin
Terhadap figur pasangan capres-cawapres, hasil exit poll Litbang Kompas menemukan alasan-alasan utama pemilih muda dalam menentukan pilihannya. Alasan utama yang ditanyakan adalah karakter yang melekat di kedua pasangan calon.
Hasilnya, bagian terbesar responden pemilih muda memilih ”merakyat” sebagai karakter utama untuk dipilih, yang dinyatakan 30,2 persen responden.
Di urutan kedua, ketegasan atau keberanian menjadi karakter kunci yang dipilih 20,8 persen responden. Tiga lainnya, yakni berpengalaman, memiliki program yang masuk akal, serta jujur atau bersih, menjadi karakter lain yang tak kalah penting sebagai pemimpin bangsa.
Selain kelima karakter utama yang dipilih, ada pula karakter atau predikat yang tidak begitu diperhitungkan pemilih muda. Persoalan latar belakang suku atau etnis calon presiden menjadi alasan yang paling sedikit dipilih responden, hanya 0,15 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pemilih muda cenderung menerima keberagaman suku atau etnis.
Ketika pemilih muda ditanyakan mengenai alasan utama untuk tidak memilih salah satu pasangan calon, jawabannya pun cukup logis dengan alasan memilih. Faktor kurang pengalaman menjadi hal yang disoroti mayoritas responden karena muncul sebagai alasan tidak memilih salah satu pasangan.
Sementara alasan lainnya adalah tidak menepati janji, terlalu banyak konsep atau kurang bukti nyata, memiliki kinerja yang buruk, dan tidak cocok menjadi presiden.
Dari hasil ini, dapat diindikasikan bahwa presiden-wakil presiden terpilih nantinya mestinya memiliki lima karakter utama berdasarkan persepsi pemilih muda.
Temuan ini sekaligus dapat digunakan untuk menyiapkan sosok ataupun tokoh negarawan yang dapat merepresentasikan kelima karakter utama tersebut lima tahun yang akan datang. (LITBANG KOMPAS)