Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, berkolaborasi menggelar rangkaian Festival Sindoro Sumbing 2019 dari 9 Juni hingga 27 Juli 2019. Festival ini digelar untuk mengeksplorasi budaya setempat.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, berkolaborasi menggelar rangkaian Festival Sindoro Sumbing 2019 dari 9 Juni hingga 27 Juli 2019. Festival ini digelar untuk mengeksplorasi budaya setempat sekaligus menggerakkan kesadaran masyarakat dalam merawat alam melalui laku budaya.
Festival ini mengambil ikon dua gunung, Sindoro dan Sumbing, yang berjajar di kawasan Temanggung dan Wonosobo. Gunung Sumbing berada di sebelah timur Wonosobo dan sebelah barat daya Temanggung, sedangkan Sindoro berada di sebelah timur laut Wonosobo dan barat laut Temanggung.
Selain memiliki eksotika keindahan pemandangan alam, kawasan pegunungan Sindoro Sumbing juga memiliki potensi kebudayaan yang sangat kaya berupa benda cagar budaya, ritus, adat istiadat, dan seni.
”Setiap tahun, masyarakat di Kabupaten Wonosobo menyelenggarakan berbagai kegiatan seni, tradisi, upacara adat, dan budaya yang sangat beragam. Akan tetapi, kegiatan tersebut skalanya masih kecil dan dilaksanakan secara parsial dengan kualitas terbatas sehingga kurang terekspos ke luar wilayah,” kata Imam Abdul Rofiq, Direktur Festival Sindoro Sumbing, Senin (24/6/2019), saat dihubungi dari Jakarta.
Dalam festival ini, kedua pemkab mencoba menggemakan upaya pelestarian alam Sindoro Sumbing sekaligus mengajak dan menyadarkan masyarakat untuk berkomitmen menjaga dan mewariskannya kepada generasi mendatang. Seiring dengan perkembangan zaman dan pertambahan jumlah penduduk, banyak lahan pertanian di lereng Sindoro Sumbing dan Wonosobo beralih fungsi menjadi kawasan permukiman dan fasilitas umum lain, seperti pasar, prasarana pendidikan, dan pertokoan.
Kedua pemkab mencoba menggemakan upaya pelestarian alam Sindoro Sumbing sekaligus mengajak dan menyadarkan masyarakat untuk berkomitmen menjaga dan mewariskannya kepada generasi mendatang.
Di sisi yang lain, pola pertanian yang ramah lingkungan dengan menggunakan pupuk dan obat-obatan alami sudah mulai banyak ditinggalkan. Masyarakat kini berganti menggunakan pupuk buatan dan obat-obatan kimia dalam bercocok tanam.
Eksploitasi lahan lereng Sindoro Sumbing juga terjadi dengan maraknya penambangan galian C (pasir dan batu) yang tak berizin. Penambangan ini dilakukan tanpa kaidah menjaga lingkungan secara bijak dan juga tidak ada upaya melakukan reklamasi pascapenambangan.
”Dampak negatif sudah banyak dirasakan oleh penduduk/masyarakat sekitarnya, antara lain berupa menyusutnya debit mata air yang tadinya menjadi sumber air bersih bagi warga dan rusaknya infrastruktur jalan akibat setiap hari dilintasi oleh truk-truk pengangkut pasir dan batu dari lokasi galian. Kekhawatiran akan terjadinya longsor juga menjadi satu hal yang sangat mengganggu masyarakat, terlebih lereng Sindoro Sumbing merupakan daerah dengan curah hujan yang cukup tinggi,” kata Imam.
Tradisi dan kearifan masyarakat
Sesuai dengan tujuannya, kegiatan-kegiatan seni yang digelar di festival ini selalu berkaitan dengan tradisi dan kearifan masyarakat setempat terhadap lingkungan alam sekitar. Ritus Mangreksa Wana ”Mapageh Sang Watu Kulumpang”, misalnya, digelar untuk memanjatkan doa-doa bagi kelestarian lingkungan alam dan dan kesejahteraan warga lereng Sindoro Sumbing.
Ada pula ritual Bedhol Kedaton dan Parade Tapa Bisu yang ditandai dengan pengambilan air di mata air Sampan sebagai tahapan konservasi terhadap kelestarian mata air serta pengambilan tanah yang menandai awal masa tanam. Adapun Tapa Bisu merupakan ritual berpuasa dengan cara membisu sebagai salah satu laku prihatin dari masyarakat saat mengolah lahan pertanian agar hasil dari panen melimpah dan berkualitas.
Salah satu acara bertajuk Java Traditional Balloon Festival digelar 15 Juni 2019 di lapangan Desa Wisata Pagerejo, Kertek, Wonosobo. Java Traditional Balloon Festival merupakan tradisi tahunan menerbangkan balon udara oleh masyarakat Wonosobo sebagai bentuk selebrasi atas nikmat berupa hasil alam yang tak ternilai harganya.
Pemajuan kebudayaan
Selain membangun kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungan sekitar, Festival Sindoro Sumbing 2019 juga digelar untuk mempercepat upaya pemajuan kebudayaan dengan menginventarisasi, mendokumentasikan, mengembangkan, memperkaya, memublikasikan, dan mendayagunakan kegiatan seni budaya untuk kepentingan pendidikan, pariwisata, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat.
Festival Sindoro Sumbing dirancang menjadi festival skala nasional, bahkan ke depan menjadi festival internasional, sehingga dapat berdampak bagi perkembangan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan sinergi dan kolaborasi dengan berbagai komponen, pelaku budaya, masyarakat, pemerintah desa, sektor swasta, dan pemerintah pusat, dalam hal ini Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang terkemas dalam program Indonesiana 2019.
Festival Sindoro Sumbing dirancang menjadi festival skala nasional, bahkan ke depan menjadi festival internasional, sehingga dapat berdampak bagi perkembangan kesejahteraan masyarakat.
Setidaknya ada 10 rangkaian kegiatan Festival Sindoro Sumbing 2019 yang digelar sejak 9 Juni hingga 27 Juli 2019. Dalam kurun waktu tersebut ditargetkan hadir 33.500 pengunjung yang menyaksikan festival. Festival Sindoro Sumbing 2019 dimotori oleh tiga kurator, yaitu budayawan Andi Yus Nugroho, penggerak kegiatan budaya Francisca Callista, dan seniman Irawati Kusumorasri.
Sebelumnya, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membangun sebuah platform bersama bernama Indonesiana. Platform ini diharapkan bisa mendukung kegiatan seni budaya di semua daerah, terutama dalam membantu tata kelola kegiatan seni budaya yang berkelanjutan dan berjejaring.
Untuk mewujudkan Indonesiana, Ditjen Kebudayaan menggandeng para praktisi seni budaya yang memiliki pengalaman-pengalaman sukses dalam menggelar festival seni budaya. Selanjutnya, dalam sebuah tim, mereka akan memberikan pendampingan ke daerah-daerah dalam penyelenggaraan festival.
”Jumlah festival banyak sekali, tetapi tingkat kualitasnya bervariasi. Sebagian besar kurang (berkualitas) karena tidak pernah dipikirkan betul mengapa festival itu dibuat, siapa saja yang akan datang, apakah akan ramai dikunjungi atau tidak, dan sebagainya. Untuk mewujudkan festival yang profesional, kini banyak pemerintah daerah tertarik untuk ikut berkolaborasi dalam platform Indonesiana,” paparnya.