Saksi Ahli Jokowi-Amin: Alat Bukti Prabowo-Sandi Tidak Relevan
Ahli yang dihadirkan kubu Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam sidang MK, Jumat (21/6/2019), menilai sejumlah alat bukti petunjuk yang dijadikan dalil oleh kuasa hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tidak relevan.
Oleh
PRADIPTA PANDU/I GUSTI ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ahli yang dihadirkan kubu calon presiden-wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam sidang lanjutan sengketa hasil Pemilu Presiden 2019 di Mahkamah Konstitusi, Jumat (21/6/2019), menilai sejumlah alat bukti petunjuk yang dijadikan dalil oleh kuasa hukum pemohon, calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, tidak relevan.
Ada dua ahli yang dihadirkan kubu Jokowi-Amin sebagai pihak terkait, yaitu Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Edward Omar Sharif Hiariej dan praktisi hukum Heru Widodo.
Dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta, itu, Edward menerangkan tentang kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif dalam konteks Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Ia juga menjelaskan tentang asas-asas hukum yang relevan dalam perkara ini.
Edward memaparkan, banyak alat bukti petunjuk yang tidak relevan dan dijadikan dalil oleh pihak pemohon.
Dalil pertama yang tidak relevan dari pemohon adalah mencatut pernyataan Yusril Ihza Mahendra saat menjadi ahli yang diajukan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam sidang sengketa hasil Pemilu Presiden 2014. Keterangan tersebut dinilai tak dapat dijadikan rujukan karena saat itu MK menolak seluruh gugatan Prabowo-Hatta.
Dalil lainnya yang tidak relevan terkait daftar pemilih tetap (DPT) bermasalah atau pemohon menyebutnya sebagai DPT siluman. Dalil ini, kata Edward, tidak relevan karena pemohon ikut dalam proses penetapan DPT.
Bahkan, saat itu seluruh peserta pemilu diperbolehkan melihat nomor induk kependudukan (NIK) secara utuh untuk mengecek daftar pemilih. Komisi Pemilihan Umum sebagai pihak termohon pun akhirnya menetapkan DPT sebanyak 192.838.520 pemilih pada rapat pleno 15 Desember 2018.
Edward juga menyebutkan, keterangan presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono tentang ketidaknetralan aparat intelijen yang dilampirkan pemohon tidak relevan dijadikan sebagai bukti petunjuk. Pasalnya, Yudhoyono tidak ikut menjadi saksi dalam perkara sengketa Pilpres 2019. Untuk mencari kebenaran pernyataan itu, pemohon seharusnya menghadirkan Yudhoyono sebagai saksi.
”Siapa oknum BIN, Polri, dan TNI yang dimaksud dan apa bentuk ketidaknetralannya, serta apa kaitannya dengan perselisihan hasil pilpres? Dari keterangan Presiden Yudhoyono sebagai saksi dalam sidang ini, barulah diperoleh petunjuk,” katanya.
Tafsir diskualifikasi
Sementara itu, Heru Widodo menerangkan tentang perkembangan hukum pemilu dan pembaruan regulasi penegakan hukum atas pelanggaran hingga sengketa pemilu. Ia juga menyampaikan tafsir diskualifikasi dalam putusan MK pasca-pembaruan UU Pemilu dan UU Pilkada.
Menurut Heru, dalam praktik peradilan perselisihan hasil pemilu, belum terdapat putusan MK setelah berlakunya UU Pemilu terbaru. Oleh karena itu, putusan MK dalam mengadili perkara sengketa hasil pilkada sejak 2015 dapat dijadikan sumber rujukan untuk menganalisis diskualifikasi peserta pemilu yang diajukan dalam perselisihan.
”Catatan hukumnya adalah Mahkamah konsisten dalam menyikapi paradigma baru tentang diskualifikasi dalam rezim pemilihan serentak yang menjadi wewenang lembaga lain untuk menyelesaikannya. Termasuk pula, konsisten dalam menyikapi tentang diskualifikasi yang baru dipersoalkan setelah pemungutan suara selesai,” tuturnya.