Menguji Dalil TSM, Mencari Keadilan Pemilu
Salah satu prinsip hukum yang dikenal secara universal berbunyi, “nullus/nemo commodum capere potest deinjuria sua propria.” Tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri, dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain.
Prinsip hukum itu setiap kali usai penyelenggaraan pemilu kepala daerah (pilkada) kerap diingatkan para advokat ketika mereka menyerahkan permohonan sengketa pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Prinsip itu dipandang paling mewakili upaya pencarian keadilan, dan menyimbolkan rasa ketidakadilan atas perilaku curang atau penyimpangan dan pelanggaran orang lain yang merugikan pihak lainnya. Dengan prinsip itu, pencari keadilan memohon kepada mahkamah agar kecurangan dan penyimpangan yang dilakukan setiap orang mesti ditakar dengan adil, sehingga tidak sampai penyimpangan itu merugikan orang lainnya.
Prinsip yang sama didengungkan oleh pasangan calon (paslon) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden ke MK. Dengan basis argumentasi kecurangan pemilu atau electoral fraud, Prabowo-Sandi mendalilkan pelanggaran pemilu yang terstruktur, sistematis, dan masif atau TSM dilakukan oleh paslon Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Apakah dalil itu terbukti ataukah tidak, hal itu sepenuhnya bergantung pada kekuatan dan argumentasi hukum yang dibangun para pihak berperkara, yakni pemohon, termohon atau Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), maupun pihak terkait, yakni paslon Jokowi-Amin. Persidangan perdana di MK, Jumat (14/6/2019) ini, menjadi pintu awal bagi mahkamah guna mengkaji lebih dalam permohonan pemohon. Tiga hal akan menentukan setiap putusan, yakni bukti, fakta persidangan, dan keyakinan hakim.
Dalil pelanggaran TSM sendiri telah berkali-kali diperiksa dan diputuskan oleh MK. Putusan mengenai dalil TSM ini paling banyak ditemui dalam sengketa pilkada, utamanya pada rentang 2008-2013. Jurnal Konstitusi Volume 9, Nomor 1, Maret 2012, yang diterbitkan oleh MK secara khusus memuat hasil kajian peneliti MK tentang tafsir konstitusional putusan TSM MK dalam rentang 2008-2011.
Sepanjang tahun 2008-2011, MK memutus 32 perkara pilkada dengan dalil pelanggaran TSM. Putusan pertama MK tentang dalil pelanggaran TSM dijatuhkan dalam sengketa Pilkada Jatim, tahun 2008. Saat itu, MK yang diketuai Mahfud MD menyatakan pelanggaran TSM di Pilkada Jatim terbukti terjadi di tiga kabupaten di Pulau Madura, yakni Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. Pelanggaran itu meliputi penggembosan dan penggelembungan suara. MK memerintahkan pilkada ulang di tiga daerah tersebut.
Kendati MK tetap memenangkan pasangan yang meraih suara terbanyak sebagaimana putusan KPU Provinsi Jatim ketika itu, yakni pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf, namun putusan MK Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 ini menjadi babak awal putusan MK yang progresif dalam mengatasi kebuntuan hukum dalam rezim pemilu ketika itu.
Tahun 2010, MK juga memutus dalil TSM di Pilkada Kotawaringin Barat terbukti. Pasangan calon yang terbukti melakukan pelanggaran TSM, yakni Sugianto-Eko Soemarno didiskualifikasi. Dalam perkara ini, MK menetapkan pasangan lainnya, Ujang Iskandar-Bambang Purwanto, sebagai pemenang pilkada.
Dalam putusan Pilkada Kotawaringin Barat Nomor 45/PHPU.D-VIII/2010, MK menyebut pelanggaran TSM terbukti. Pelanggaran terstruktur ddalilkan dengan menyertakan sejumlah Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) sebagai relawan dari keseluruhan 78.238 relawan yang dimiliki pasangan Sugianto-Eko.
Pelanggaran sistematis terbukti di Kotawaringin Barat didalilkan dengan adanya perencanaan yang sistematis oleh suatu lembaga konsultan pemenang pemilu, yakni dengan melakukan perencanaan matang (terutama melakukan politik uang), menyerang diam-diam tanpa terlihat lawan, dan mengondisikan seolah-olah menghadapi pertempuran gerilya dengan membentuk peleton atau sukarelawan di setiap RT guna mendata pemilih serta menyampaikan isu propaganda dan politik uang. Intimidasi kepada pemilih juga mewarnai pilkada. Adapun pelanggaran masif didalilkan dengan pengangkatan 78.238 relawan yang dapat dikualifikasi sebagai bagian kejahatan politik uang. Setiap relawan diberi uang antara Rp 150.000-Rp 200.000 per orang.
“Mahkamah menilai telah terjadi pelanggaran secara sistematis, terstruktur, dan masif. Hal itu terbukti karena tindakan tersebut telah direncanakan sedemikian rupa, terjadi meluas di seluruh Kabupaten Kotawaringin Barat, serta dilakukan secara terstruktur dari tingkatan paling atas yang dimulai dari pasangan calon, tim kampanye, dan seluruh tim relawan sampai dengan tingkatan paling rendah di tingkat RT, sehingga mempengaruhi hasil akhir perolehan suara bagi masing-masing pasangan calon,” demikian bunyi pertimbangan putusan MK.
Kebuntuan hukum
Mantan hakim konstitusi Maruarar Siahaan mengatakan, putusan terhadap dalil TSM oleh MK pada mulanya dilakukan karena adanya kebuntuan hukum. Desain pemilu ketika itu tidak memungkinkan peserta pilkada memeroleh keadilan elektoral. Dugaan pelanggaran dan kecurangan di dalam proses dan tahapan pemilu atau pilkada tidak ada yang mengadili, sehingga semua perkara dibawa ke MK. Bawaslu di tingkat pusat dan daerah belum memiliki kewenangan eksekutorial sebagaimana saat ini.
Putusan terhadap dalil TSM oleh MK pada mulanya dilakukan karena adanya kebuntuan hukum. Desain pemilu ketika itu tidak memungkinkan peserta pilkada memeroleh keadilan elektoral.
“MK tidak bisa menutup mata ketika itu akan kebutuhan atas rasa keadilan dalam sengketa pilkada. Namun, regulasi mengatur, yang ditangani MK ialah sengketa hasil. Oleh karenanya, sekalipun bukti-bukti dalam proses dan tahapan pilkada dibawa ke MK, kami ketika itu tetap mempertimbangkan apakah kecurangan yang terjadi di dalam proses dan tahapan itu benar-benar memengaruhi hasil pemilu atau pilkada. Sebab, konstitusi mengatur yang ditangani oleh MK ialah sengketa hasil pemilu,” kata Maruarar.
Putusan MK mengenai dalil pelanggaran TSM sangat bervariasi. Tidak selalu MK memutus perkara dengan mendiskualifikasi paslon, atau membatalkan hasil pilkada. Sebagian besar putusan MK itu memerintahkan agar dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) di daerah-daerah di mana diketahui terjadi pelanggaran TSM.
“Contohnya, kasus Jatim. Ketika itu, MK tidak mendiskualifikasi pasangan yang dianggap terbukti melakukan pelanggaran TSM. Kenapa begitu, karena kami menilai dan menghargai pilihan warga lainnya di luar Madura yang memberikan suaranya pada paslon lain. Jika kami mendiskualifikasi mereka, artinya kami tidak memperhitungkan suara rakyat yang telah memilih pasangan itu,” kata Maruarar.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, MK memang bukan mahkamah kalkulator yang hanya berpegang pada hitung-hitungan kuantitatif. Publik berharap MK menjalankan peran sebagai pemberi keadilan substansial. Putusan-putusan sebelumnya terkait dengan hasil pilkada bisa menjadi tolok ukur bagi MK untuk menentukan indikator suatu perbuatan atau pelanggaran TSM.
Veri mengatakan, selama ini MK cukup progresif dalam memutuskan perkara dengan dalil TSM. Namun, progresivitas itu tidak seharusnya dimaknai sebagai tindakan terobosan hukum semata tanpa mengindahkan bukti dan fakta persidangan.
MK berpegang teguh pada konstitusi dalam memeriksa sengketa Pilpres 2019. Konstitusionalitas pemilu menjadi kewenangan MK. Apapun bisa terjadi di ruang sidang. Kekuatan bukti dan argumentasi hukum guna meyakinkan mahkamah menjadi senjata utama.
Dalam kaitannya dengan itu, Juru bicara MK I Dewa Gede Palguna menegaskan, MK berpegang teguh pada konstitusi dalam memeriksa sengketa Pilpres 2019. Konstitusionalitas pemilu menjadi kewenangan MK. Apapun bisa terjadi di ruang sidang. Kekuatan bukti dan argumentasi hukum guna meyakinkan mahkamah menjadi senjata utama.
“Kami pasti mengkaji satu per satu bukti yang diajukan di dalam persidangan. Bukan kali ini saja MK memeriksa perkara sengketa pilkada dan pemilu. MK telah menangani sengketa pemilu sejak 2004,” ujarnya.