JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah akan memperbarui daftar jenis asing invasif flora dan fauna dalam waktu dekat. Pembaruan daftar itu dipastikan akan menambah spesies-spesies lain yang baru ditemukan atau baru terbukti menjadi ancaman bagi ekosistem maupun kesehatan manusia.
Saat ini, daftar jenis asing invasif itu ditetapkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P94/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2016 tentang Jenis Invasif yang diundangkan sejak 20 Desember 2016. Di dalamnya berisi 187 jenis invasif dan 132 jenis invasif yang belum ada di Indonesia.
Pasal 9 dalam P94 tersebut mengamanatkan agar jenis invasif diperbarui paling sedikit setiap dua tahun atau sesuai kebutuhan. “Ini sedang proses kami perbarui bersama LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia),” kata Indra Eksploitasia, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Minggu (9/6/2019) di Jakarta.
Untuk memasukkan spesies atau jenis flora dan fauna dalam daftar invasif, kata dia, memerlukan analisis risiko. Hal itu dilakukan untuk mengetahui dampak kerusakan ekosistem, lingkungan, kerugian ekonomi, dan/atau berdampak negatif terhadap kesehatan manusia dari potensi jenis invasif yang telanjur masuk maupun jenis flora/fauna yang akan diintroduksi ke Indonesia.
Dampak tersebut berasal dari sifat biologi flora/fauna tersebut yang mudah berkembang-biak, populasi sulit dikontrol, dan berkompetisi dengan spesies endemis. Selain itu, dampak tak langsung keberadaan flora/fauna tersebut berupa hama/penyakit juga masuk dalam analisis risiko.
Jenis invasif tersebut bisa saja berasal dari hasil introduksi flora/fauna dari luar negeri yang disebut jenis asing invasif. Diantaranya adalah ikan nila, ikan louhan, arapaima, keong mas, hingga jenis flora seperti Accacia decurrens, enceng gondok, dan Merremia peltata. Selain itu, ada pula jenis invasif hasil introduksi lintas region seperti ikan gabus yang dilepas di danau-danau di Papua hingga ikan bilih dari Danau Singkarak yang sempat menjadi masalah karena dilepas di Danau Toba.
Indra Eksploitasia menegaskan tak semua flora/fauna jenis asing bersifat invasif. Jenis asing biasanya menjadi invasif ketika dilepas ke alam, tanpa kontrol. Karena itulah, kata dia, analisis risiko menjadi penting untuk mengukur tingkat/potensi invasif dari spesies tersebut.
Secara terpisah, Kepala Bidang Zoologi pada Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cahyo Rahmadi mengatakan penegakan hukum terkait jenis asing invasif masih relatif rendah. Ia mencontohkan kejadian pelepasan sejumlah ikan arapaima asal Sungai Amazon di Kali Brantas di Jawa Timur beberapa waktu lalu.
Meski ikan tersebut berhasil ditangkap dan dimusnahkan, pelaku pelepasan hanya mendapatkan sanksi peringatan. Padahal, keberadaan ikan arapaima yang berukuran raksasa tersebut sangat membahayakan ekosistem sungai karena mengonsumsi ikan-ikan endemis setempat yang jumlahnya di alam rendah.
“Dalam konteks tindak pidana belum kuat, inilah maka invasive alien species dalam konteks penegakan hukum perlu didorong. Biosecurity juga dijalankan karena bahayanya pada ekosistem sangat penting,” kata dia.
Ia mengatakan di berbagai negara maju, isu keamanan ekosistem dan kesehatan manusia dari introduksi flora/fauna sangat tinggi. Dicontohkan, sikap protektif Australia dengan menerapkan aturan ketat yang melarang masuknya flora/fauna bahkan produk turunannya. “Dalam konteks meski bukan termasuk invasive alien species, bawa saja tidak boleh,” kata dia.
Cahyo juga berharap agar daftar jenis invasif tidak hanya diatur dalam Permenlhk namun diatur peraturan lebih tinggi yaitu dalam peraturan pemerintah. Ia mengingatkan egosektoral kementerian masih sangat kuat sehingga tak dirujuk oleh kementerian lain. Padahal, hanya instansi Kementerian Pertanian serta Kementerian Kelautan dan Perikanan yang memiliki petugas karantina di titik-titik pelabuhan udara dan pelabuhan laut.