Inovasi dalam pengobatan kanker terus dikembangkan. Berbagai metode dilakukan, salah satunya dengan imunoterapi atau terapi dengan cara meningkatkan daya tahan tubuh pasien. Metode ini dinilai menjadi masa depan pengobatan kanker karena hasilnya terbukti efektif sehingga mampu meningkatkan kualitas hidup pasien.
Kanker merupakan salah satu jenis penyakit tidak menular yang paling ditakuti. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kanker telah membubuh sekitar 8,2 juta orang pada 2012. Di Indonesia, kasus kanker semakin meningkat.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi kanker sebesar 1,8 persen atau diperkirakan sekitar 460.000 orang. Jumlah ini meningkat dari tahun 2013 dengan prevalensi 1,4 persen atau sekitar 347.000 orang.
Tanpa inovasi pengobatan, jumlah penderita yang meninggal akan semakin meningkat karena kasus baru semakin bertambah. Perkiraan peningkatan ini berkaitan pula dengan perubahan gaya hidup yang semakin buruk, seperti konsumsi makanan cepat saji dan rendah serat, merokok, kurang aktivitas fisik, serta konsumsi alkohol. Sekitar 30 persen kanker dipicu oleh gaya hidup.
Berbagai riset dan penelitian dalam pengobatan kanker pun semakin “menarik” bagi para ilmuwan di bidang onkologi. Metode imunoterapi menjadi fokus penelitian yang terus dikembangkan. Metode ini dinilai menjadi pilihan terapi yang termutakhir.
Ketua Umum Perhimpunan Onkologi Indonesia yang juga Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesa, Aru Wicaksono Sudoyo, mengungkapkan, saat ini imunoterapi menjadi pilihan pengobatan kanker yang dilakukan dengan kombinasi terapi lain, seperti kemoterapi dan radioterapi. Perkembangannya semakin meningkat dalam 10 tahun terakhir.
Terapi ini dilakukan dengan memperkuat sistem kekebalan tubuh pasien agar mampu melawan sel kanker yang dimiliki. Selama ini, terapi yang dilakukan adalah dengan menghancurkan langsung sel kanker yang ada di dalam tubuh, yakni melalui operasi, kemoterapi, dan radioterapi.
Imunoterapi bersifat khusus dan spesifik pada pasien. Oleh karena itu harus dilihat jenis kanker yang dimiliki, serta kondisi sistem imun dan kesiapan pasien sebelum melakukan terapi.
Riset terkait imunologi dalam pengobatan kanker, salah satunya dilakukan oleh Irsan Hasan ketika memperoleh gelar doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ia mempertahankan disertasinya pada Senin (27/5/2019) dan lulus dengan indeks prestasi kumulatif 3,84.
Penelitian tersebut mengenai hubungan antara respons terapi kemoembolisasi arterial atau TACE (transarterial chemoembolization) dan sistem kekebalan tubuh pada pasien karsinoma sel hati (KSH). Penyakit KSH merupakan penyakit kanker yang berasal dari sel hati.
Perubahan sifat sel imunitas dalam tubuh bisa menjadi faktor yang menentukan keberhasilan terapi pada pasien kanker hati stadium menengah. Hal ini terutama pada perubahan sifat sel T helper (Th) 17 pada pasien yang memerlukan TACE.
“Th 17 ini punya sifat yang berubah-ubah sehingga bisa dikatakan memiliki sifat plastis. Sel imun ini bisa merangsang pertumbuhan tumor, namun di sisi lain juga dapat menghambat pertumbuhan tumor. Untuk itu, pemeriksaan Th 17 bisa sebagai prediktor respons TACE pada pasien karsinoma sel hati (KSH),” ujar Irsan.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Ari Fahrial Syam, menegaskan, imunoterapi menjadi masa depan terapi pengobatan kanker. Untuk itu, penelitian dan riset yang terkait dengan terapi ini perlu lebih banyak dilakukan. Hal ini perlu dilakukan karena masih perlu banyak kajian dan pembuktian terkait kefektifan dan keberhasilan pada pasien.
Preventif
Meski penelitian tentang pengobatan kanker semakin berkembang, Aru menilai, upaya preventif atau pencegahan tetap lebih penting. Kesadaran masyarakat untuk mengubah pola hidup menjadi lebih baik harus semakin gencar didorong. Hal itu bisa dilakukan dengan meningkatkan promosi kesehatan dan deteksi dini.
“Saat ini, lebih dari 70 persen pasien kanker datang ke fasilitas kesehatan pada stadium akhir. Padahal kalau deteksi dini sudah dilakukan, kanker lebih cepat dan mudah diobati,” katanya.
Sebaliknya, jika diketahui sudah pada stadium akhir, kanker sulit disembuhkan. Angka kesintasan-nya pun semakin rendah. Untuk itu, bersamaan dengan perkembangan pengobatan kanker yang semakin baik, kesadaran masyarakat akan pencegahan dan deteksi dini juga harus ditingkatkan.