Kampus Bangkit Mencegah Sebaran Paham Intoleransi
Perguruan tinggi negeri sepatutnya menjadi etalase prinsip Bhinneka Tunggal Ika, bukan justru melahirkan individu-individu yang anti Pancasila, UUD Dasar 1945, dan pluralisme.
JAKARTA, KOMPAS — Perguruan tinggi negeri mulai bergerak membenahi struktur pejabat maupun pengadaan kegiatan kemahasiswaan guna memastikan tidak disisipi paham intoleransi. Keberadaan ideologi intoleransi bertentangan dengan prinsip kemajemukan dan persatuan yang diyakini oleh bangsa Indonesia.
Berdasar data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, di kampus perguruan tinggi negeri (PTN) banyak kegiatan untuk sivitas akademikanya yang berlandaskan prinsip intoleransi dan eksklusivisme dalam beragama. Gerakan keagamaan eksklusif dan intoleran ini kepanjangan tangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan kelompok tarbiyah.
Setelah HTI dibubarkan, kegiatannya tidak serta-merta menghilang, melainkan tetap ada dengan masuk ke berbagai keseharian mahasiswa. Akibatnya, muncul segregasi yang lebar di kampus antara kelompok religius eksklusif yang terpengaruh gerakan islamisme, dengan kelompok yang lain. Dikotomi mayoritas dan minoritas menjadi norma bersikap kepada kelompok marjinal.
Setelah HTI dibubarkan, kegiatannya tidak serta-merta menghilang, melainkan tetap ada dengan masuk ke berbagai keseharian mahasiswa.
Hal tersebut terungkap dalam pembedahan hasil riset Setara Institute di sepuluh PTN, Jumat (31/5/2019), di Jakarta. Direktur Penelitian Setara Institute Halili mengatakan, islamisme adalah gerakan politik praktis yang menggunakan dalil-dalil agama untuk meraih kekuasaan. Mahasiswa yang ikut kaderisasi diindoktrinasi sehingga menghilangkan kemampuan mereka berpikir kritis dan mencari rujukan dari berbagai pihak. Dalam indoktrinasi ini dimasukkan narasi bahwa nasionalisme dan agama tidak sejalan.
"Bahkan, mahasiswa ada yang mengatakan masih untung kelompok minoritas tidak dipersekusi di Indonesia. Berbeda dengan perlakuan masyarakat di Israel terhadap Palestina atau pun masyarakat Myanmar terhadap warga Rohingya. Ini menandakan tidak ada penghargaan atas sesama warga Indonesia," tutur Halili.
Baca Juga: Pemahaman Islam yang Eksklusif Merambah Kaum Terpelajar Indonesia
Mulai bergerak
Awalnya, kata Halili, PTN tidak menganggap keberadaan kelompok intoleransi di dalam sistemnya sebagai suatu masalah. Data BNPT menjadi cambuk yang menyadarkan PTN bahwa sebagai kampus negara, mereka sepatutnya menjadi etalase prinsip Bhinneka Tunggal Ika, bukan justru melahirkan individu-individu yang anti Pancasila, UUD Dasar 1945, dan pluralisme.
Universitas Gadjah Mada adalah yang pertama kali bergerak sejak tahun 2014. Segala bentuk kegiatan ekstrakurikuler keagamaan ditiadakan karena selama ini diampu oleh orang yang bukan bagian dari staf pengajar UGM. Kuliah dan diskusi keagamaan kemudian dipusatkan di bawah Fakultas Filsafat sehingga ada pemastian berlangsungnya pemberian informasi yang kaya dan berjalannya budaya diskusi.
Selain itu, masjid-masjid milik universitas dan fakultas kepengurusannya dikembalikan ke struktur resmi, tidak diurus lagi oleh pihak luar. Segala bentuk kotbah dan pengajian dipastikan tidak berisi indoktrinasi, melainkan keagamaan ilmiah.
Langkah serupa juga diambil oleh Institut Pertanian Bogor. Setelah pada Januari 2017 beredar video di media sosial yang menunjukkan mahasiswa IPB melakukan deklarasi mendukung ideologi transnasional, pihak kampus segera mengambil alih semua kegiatan di masjid dan musala. Semua kegiatan keagamaan kini terpusat di sana, tidak boleh mengambil tempat umum seperti ruang kuliah yang kosong atau pun selasar bangunan.
"Terobosan IPB yang lain ialah memberi tempat ibadah bagi semua pemeluk agama. Cara ini menghadirkan perbedaan di tengah kampus agar sivitas akademika paham bahwa pluralisme adalah bagian dari Indonesia," kata peneliti di Fakultas Ekologi Manusia IPB Eko Cahyono yang juga mitra Setara Institute dalam riset di 10 PTN.
Terobosan IPB yang lain ialah memberi tempat ibadah bagi semua pemeluk agama. Cara ini menghadirkan perbedaan di tengah kampus agar sivitas akademika paham bahwa pluralisme adalah bagian dari Indonesia.
Narasi pengayaan
Peneliti Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Iif Fitriani Ihsani mengatakan, banyaknya narasi mengenai tafsir keagamaan dan nasionalisme merupakan kunci untuk menghambat penyebaran paham intoleran. Ia merujuk kepada masjid di Kampus I dan Kampus II UIN Syarif Hidayatullah yang tidak bisa ditembus oleh gerakan ini.
"Sudah tradisi masjid menjadi mimbar kontestasi ide. Para dosen dan guru besar memimpin diskusi membedah makna dan relevansi tafsir agama," ucapnya.
Para dosen agama mulai proaktif membuka ruang diskusi, terutama di Fakultas Ekonomi dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Meskipun begitu, untuk beberapa fakultas seperti Kedokteran memang masih sukar ditembus. Oleh karena itu, UIN Syarif Hidayatullah menjadikan Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Dirasat Islamiyah agar menjadi kekuatan yang bisa memperbanyak budaya diskursus keagamaan dan nasionalisme.
Di PTN lain, berdasarkan laporan Setara Institute, juga ada perubahan positif. Universitas Indonesia misalnya, memastikan semua jajaran pejabatnya diisi oleh orang-orang yang kompeten dan nasionalis. Bahkan, dalam pencarian calon rektor baru, nasionalisme menjadi salah satu syarat.
Di Universitas Negeri Yogyakarta dibentuk Pusat Studi Pancasila dan Konstitusi. PTN ini juga mengaktifkan lagi acara-acara seni dan keagamaan Nusantara, seperti Tabligh Akbar UNY dengan mengundang penceramah Ahmad Muwafiq yang pluralis.
Apa yang dilakukan sejumlah PTN tersebut sejalan dengan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 55 Tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi Bangsa dalam Kegiatan Kemahasiswaan. Peraturan meneteri ini untuk memastikan semua mahasiswa mendapat pendidikan mengenai nasionalisme. Kegiatan ini akan diampu oleh Kelompok Cipayung Plus, forum kerja sama organisasi kemahasiswaan berbasis nasionalisme dan agama yang mengadvokasikan moderasi beragama serta kebangsaan.
Baca juga: UKM PIB Jadi Tumpuan Pembedahan Nasionalisme yang Kritis
Kebebasan yang Kebablasan
Menurut pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara A Setyo Wibowo, apa yang terjadi di sejumlah PTN tersebut merupakan bentuk kebebasan yang kebablasan. Kesetaraan dan kebebasan tanpa batas dalam demokrasi membuat orang kehilangan arah dan patokan.
"Anak-anak muda yang labil dan butuh pegangan namun tidak mendapatkannya dari orangtua atau masyarakatnya berpotensi menjadi lahan subur untuk dipanen oleh para pengkhotbah radikal, para demagog (penggerak rakyat yang pandai menghasut dan membangkitkan semangat rakyat untuk memperoleh kekuasaan), para sofis (kaum yang pandai bersilat lidah untuk menjustifikasi kepentingan politik tertentu), dan kaum tiran," katanya.
Setyo mencontohkan kondisi di Eropa yang dikenal dengan masyarakatnya yang sangat demokratis dan toleran terhadap segala hal. Karena itu, ateisme pun diperbolehkan, komunisme diperbolehkan, khotbah-khotbah radikal dan teroristik dibiarkan. Atas nama kebebasan dan demokrasi semuanya diperbolehkan.
“Para imam radikal di jalanan Belgia mengkhotbahkan ujaran-ujaran kebencian melawan masyarakat, melawan demokrasi, melawan kemanusiaan. Saat para politisi diberitahu bahwa gerakan radikalisme sudah serius dan harus dihentikan, jawaban mereka hanya retorika untuk menenteramkan hati publik yang resah,” kata Setyo dalam peluncuran Majalah Basis nomor 05-06, Tahun ke-68, 2019 di Yogyakarta, Senin (27/5/2019).
Berkaca dari situasi di Eropa, Setyo melihat adanya permainan demokrasi yang lucu dan konyol ketika di rezim demokrasi siapapun berhak mengatakan orang lain kafir, halal darahnya, menyebutkan sistem demokrasi kafir dan harus dihancurkan, mengatakan negaraku paling benar dan kalian semua adalah kerak neraka. Ironisnya, itu semua dianggap sebagai hak.
“Demikianlah, kultur kebebasan dan toleransi yang kebablasan sedang menanamkan ranjau untuk dirinya sendiri,” ucapnya.