Hampir Separuh Wilayah Jakarta Berupa Permukiman Kumuh
Hampir separuh wilayah DKI Jakarta berupa permukiman kumuh yang paling banyak berada di tepi sungai. Pemerintah menyiapkan penataan dengan melakukan konsolidasi lahan. Langkah ini dilakukan dengan mengedepankan aspek sosial, historis, ekonomi, dan budaya setempat.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
KOMPAS/NIKOLAUS HARBOWO
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberikan sambutan dalam peluncuran Gugus Tugas Reforma Agraria Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di Balai Kota Jakarta, Senin (27/5/2019).
JAKARTA, KOMPAS – Hampir separuh wilayah DKI Jakarta berupa permukiman kumuh yang paling banyak berada di tepi sungai. Pemerintah menyiapkan penataan dengan melakukan konsolidasi lahan. Langkah ini dilakukan dengan mengedepankan aspek sosial, historis, ekonomi, dan budaya setempat.
Data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional pada Mei 2019, permukiman kumuh di DKI Jakarta tersebar di 118 dari 267 kelurahan atau hampir 45 persen dari total seluruh kelurahan. Luas permukiman kumuh itu mencapai 1.005,24 hektare dengan sebaran wilayah di Jakarta Utara (30 persen), Jakarta Barat (28 persen), Jakarta Selatan (18 persen), Jakarta Timur (12 persen), Jakarta Pusat (11 persen), dan Kepulauan Seribu (1 persen). Mereka berada di tanah tak bertuan, seperti bantaran sungai, sepadan pantai, dan sekitar waduk.
Direktur Konsolidasi Tanah Kementerian ATR/BPN Doni Janarto Widiantono usai peluncuran Gugus Tugas Reforma Agraria Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengatakan perlu penataan kembali struktur penguasaan kepemilikan. Pada saat yang sama juga dibutuhkan konsolidasi penggunaan serta pemanfaatan tanah melalui penataan aset agar kawasan kumuh tak semakin menjamur.
"Ini tentu membutuhkan langkah-langkah yang extraordinary (luar biasa), tak bisa menggunakan business as usuall (bisnis seperti biasa). Harus ada pemetaan sosial terlebih dahulu sebelum menata kampung-kampung kumuh ini karena masing-masing punya karakter yang berbeda," ujar Doni, di Balai Kota Jakarta, Senin (27/5/2019).
Pemandangan bantaran Sungai Ciliwung di kawasan Kampung Melayu, Jakarta identik dengan pemukiman kumuh dan sampah seperti terlihat saat Tim Ekspedisi Ciliwung Kompas 2009 melewati kawasan tersebut, Selasa (20/1/2009). Kompas/Riza Fathoni.
Atas dasar itulah, Gugus Tugas Reforma Agraria dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 574 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Keputusan Gubernur Nomor 162 Tahun 2019 tentang Gugus Tugas Reforma Agraria. Tim itu akan mengkaji seluruh persoalan yang ada di permukiman kumuh DKI sebelum proses penataan ulang kawasan berjalan. Tim terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat, dan akademisi.
Doni menjelaskan, kawasan kumuh semakin berkembang karena tiga hal. Pertama, kota dibiarkan tumbuh secara alami tanpa perencanaan yang memadai. Kedua, intervensi parsial oleh sejumlah pengembang yang hanya fokus menciptakan komunitas berpagar.
Ketiga, pembangunan infrastruktur tidak disertai penataan kembali kawasan di sekitarnya. "Karakteristik kawasan kumuh paling besar ada di tepi sungai. Persentasenya sekitar 24 persen dari total permukiman kumuh yang ada," tutur Doni.
Konsolidasi tanah
Gugus Tugas Reforma Agraria akan menjaga penataan kawasan kumuh ke depan melalui konsolidasi tanah. Artinya, penataan harus berbasis historis-sosial-budaya setempat dan tetap melibatkan masyarakat. "Sebetulnya konsep konsolidasi itu lebih ke menggeser, tidak menggusur. Jadi, mereka tetap di daerah situ tetapi digeser saja atau kami berikan aturan baru supaya mereka tidak ilegal tinggal di situ," tutur Doni.
Sebagai contoh, aturan baru yang dimaksud bagi mereka yang tinggal di tepi sungai meliputi, tempat tinggal tidak boleh mengganggu badan air, tempat tinggal tidak membahayakan keselamatan, dan tempat tinggal harus menghadap ke sungai.
"Kalau membelakangi itu, kan, kotoran semua dibuang ke air, sampah dan segala macam itu. Tetapi, kalau dia mau menghadap sungai, dia memang mau tinggal di situ karena ada hubungan sama sungai bukan karena cuma tak ada lokasi lain," kata Doni. Konsep penataan lain yang ingin diterapkan adalah pemanfaatan ruang vertikal. Ini untuk mengantisipasi berkembangnya hunian vertikal di mana satu rumah bisa dihuni 3-4 keluarga.
KOMPAS/NIKOLAUS HARBOWO
Direktur Konsolidasi Tanah Kementerian ATR/BPN Doni Janarto Widiantono ditemui usai peluncuran Gugus Tugas Reforma Agraria Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di Balai Kota Jakarta, Senin (27/5/2019).
Sementara itu, Staf Khusus Kepala Kepresidenan Noer Fauzi Rachman berpendapat, Gugus Tugas Reforma Agraria harus bisa mengedepankan aspek sosial-ekonomi masyarakat. Penataan kembali kawasan kumuh tak bisa menggunakan kekerasan, apalagi tak memikirkan kehidupan ekonomi masyarakat selanjutnya.
"Mereka harus diberikan rasa adil, diberi kesempatan partisipatif dan di-wongke (diorangkan). Jadi, timbul rasa percaya terhadap pemerintah yang akan menjamin keberlangsungan hidup mereka," tutur Fauzi.
Ditemui seusai acara, Anies Baswedan menyampaikan bahwa pihaknya akan menunggu hasil kajian dari Gugus Tugas Reforma Agraria sebelum melakukan penataan kembali kawasan kumuh. Namun, pada dasarnya, lanjut Anies, setiap kawasan pastilah memiliki karakteristik yang berbeda-beda menurut historis dan budaya sehingga tak bisa semua disamaratakan penataannya.
"Kami tidak mau pre-disposisi, digarap dulu di sini. Yang penting, tak ada rumus one size fits all policy, tak ada satu solusi yang bisa untuk semua tempat. Semua tempat solusinya beda-beda dan karena itulah kami melibatkan pakar-pakar untuk bisa memberi solusi yang sesuai dengan karakter tempat," tutur Anies.