Ethiopian Airlines, Maskapai Pelat Merah Berprofit
Ethiopian Airlines menjadi sedikit dari maskapai penerbangan pelat merah atau maskapai milik pemerintah, yang berhasil meraup profit. Bagaimana kunci keberhasilan maskapai ini di tengah banyaknya maskapai pelat merah yang selalu merugi?
Ethiopian Airlines menjadi sedikit dari maskapai penerbangan pelat merah atau maskapai milik pemerintah yang berhasil meraup profit. Banyak lainnya terus merugi atau bahkan bangkrut, seperti yang dialami maskapai penerbangan Merpati tahun 2014.
Pada 2014, Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) menempatkannya sebagai maskapai penerbangan yang berhasil meraup pendapatan dan keuntungan terbesar di Afrika. Setahun berikutnya, maskapai ini dikabarkan meraup keuntungan lebih besar dari profit yang diperoleh semua maskapai dari Afrika.
Tahun lalu, maskapai disebut memperoleh pendapatan sebesar 3,3 miliar dollar AS atau Rp 46,2 triliun. Sementara profitnya, dikutip dari Reuters, sebesar 233 juta dollar AS atau Rp 3,26 triliun.
Setiap tahun, pendapatannya pun terus meningkat. ”Sekitar 20 persen besarnya,” ujar Wakil Presiden Ethiopian Airlines Busera Awel saat ditemui di kantor pusat Ethiopian Airlines, di Addis Ababa, Etiopia, pertengahan April lalu.
Capaian ini hanya satu dari sekian banyak ambisi Ethiopian Airlines yang tercapai sejak pertama beroperasi tahun 1946.
Baca juga: Kisah Ethiopia Airlines, Sang Pemersatu Benua Afrika
Menurut Busera, bisnis penerbangan merupakan bisnis yang paling rumit untuk dikelola. Namun, Ethiopian Airlines sejauh ini bisa mengatasi setiap ujian yang muncul. Apa resep mereka? Berikut petikan wawancara dengan Busera Awel.
Banyak maskapai pelat merah kesulitan meraup keuntungan, tetapi Ethiopia Airlines sebaliknya. Apa kunci keberhasilan itu?
Mengelola maskapai penerbangan itu tidak mudah. Ini bisnis yang paling sulit. Di satu sisi ongkos terus meningkat, tetapi di sisi lain tarif tiket cenderung menurun. Maka, jalannya, kami harus efisien dan efektif. Audit, pengecekan, rutin kami lakukan. Hal-hal yang bertentangan dengan prinsip efisiensi kami buang.
Seperti apa bentuknya?
Rata-rata usia pesawat kami di bawah 5 tahun. Selain itu, kami memiliki fasilitas perawatan pesawat terbaik di Afrika. Kami juga memiliki akademi penerbangan. Kami memiliki tujuh simulator pesawat. Hal lain, fasilitas katering sendiri. Semua ini sengaja dibangun sehingga maskapai dapat memenuhi sendiri kebutuhannya. Tidak perlu ke Amerika Serikat atau Eropa. Langkah ini bisa mereduksi ongkos yang harus dikeluarkan.
Langkah itu praktis berkontribusi pula pada profit?
Tepat sekali. Sebab, pilot, awak kabin, dan teknisi dari maskapai lain di Afrika banyak yang berlatih ke tempat kami. Begitu pula pesawat-pesawat dirawat di sini. Tak hanya itu sebenarnya. Kami juga mengembangkan fasilitas kargo kami menjadi yang terbaik di Afrika. Ini juga sumber profit bagi kami.
Langkah efisiensi sering kali mengorbankan pelayanan yang diberikan kepada penumpang. Apakah itu terjadi di Ethiopian Airlines?
Tidak. Langkah efisiensi apa pun, prinsip kami, jangan sampai mengorbankan pelayanan kepada penumpang. Mereka tetap harus menerima pelayanan terbaik. Tak hanya itu, kami juga menjaga betul keamanan dan keselamatan penerbangan.
Apakah efisiensi saja cukup?
Ini hal penting lainnya. Kami memang maskapai penerbangan yang 100 persen dimiliki oleh pemerintah. Namun, bukan berarti pemerintah bisa mengintervensi. Saya orang kedua tertinggi di perusahaan ini, tidak ada satu menteri pun yang bisa bilang saya harus apa. Kami independen. Kami profesional. Meskipun milik negara, maskapai dikelola seperti perusahaan swasta.
Sama sekali tidak ada subsidi dari pemerintah?
Tidak ada. Sebaliknya, kami rutin membayar pajak kepada negara.
Kemudian apa lagi kunci keberhasilan Ethiopian Airlines?
Kami terus mengembangkan jaringan penerbangan kami. Frekuensi penerbangan pun terus ditambah. Saat ini, dengan 112 pesawat yang kami miliki, kami sudah melayani 120 destinasi internasional dan 22 destinasi domestik. Selain itu, kami ditopang manajemen yang baik. Tim yang baik. Karyawan yang berdedikasi dan berkomitmen. Untuk itu, kami rutin melatih setiap karyawan kami. Tak hanya untuk meningkatkan kapasitas mereka, tetapi juga agar mereka paham visi 2025 yang telah dibuat perusahaan pada 2010.
Apa itu visi 2025?
Ambisi kami untuk menjadi maskapai terbaik di Afrika. Sebagian besar visi itu sudah tercapai. Selain kami berhasil menjadi maskapai yang bisa meraup profit terbesar di Afrika, kami juga berhasil menghubungkan negara-negara di Afrika dan bagian lain dari dunia ke Afrika. Oleh karena sebagian besar visi 2025 sudah tercapai, kami sedang merumuskan visi berikutnya, visi 2035.
Apa ambisi lainnya yang ingin dicapai dengan visi 2035?
Belum bisa saya umumkan sekarang karena masih dirumuskan. Yang pasti, setelah kami berhasil menghubungkan kota-kota utama di Afrika, selanjutnya kami ingin menghubungkan kota-kota kedua terbesar di Afrika. Selain itu, menghubungkan Afrika dengan negara-negara di Eropa dan Amerika Latin. Lebih dari itu, kami menargetkan bisa masuk menjadi bagian dari 20 maskapai terbaik dunia. Saat ini peringkat kami di peringkat ke-43.
Dikutip dari artikel berjudul ”Ethiopian Airlines Buka Rute Perdana ke Indonesia” di kompas.id, 9 Juli 2018, maskapai itu membuka penerbangan perdana dari Jakarta ke Addis Ababa mulai 21 Juli 2018. Apakah ini juga bagian dari visi 2025?
Ethiopian Airlines sudah terbang ke banyak negara di Asia. Kami terbang ke India, banyak kota di China, Thailand, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan Singapura. Kemudian kami melihat Indonesia belum terhubung langsung ke Afrika. Makanya, kami memutuskan untuk terbang ke sana. Sejauh ini hasilnya positif dan kami berencana meningkatkan frekuensinya.
Baca juga: Ethiopian Airlines Buka Rute Perdana ke Indonesia
Seperti tadi disebutkan, untuk mengelola bisnis penerbangan tidak mudah. Banyak ujiannya. Salah satunya saat pesawat Ethiopian Airlines tipe Boeing 737 MAX 8 jatuh, 10 Maret 2019, dan menewaskan 157 orang di dalamnya. Bagaimana Ethiopian Airlines melewati ujian itu?
Kami sangat berduka atas penumpang dan kolega yang menjadi korban. Setelah kejadian, kami langsung bergerak cepat. Membantu keluarga korban. Selain itu, membantu penyelidikan. Setelah itu, kami menghentikan sementara pengoperasian empat Boeing 737 MAX 8 yang kami miliki. Kita juga menunggu hasil penyelidikan itu tuntas. Namun, sejauh kami tahu, itu terjadi karena sistem di pesawat, bukan kesalahan manusia atau kesalahan teknis yang diakibatkan oleh maskapai.
Baca juga: Analisis Awal: Kecelakaan Ethiopian Airlines Sama dengan Lion Air
Bagaimana menjaga kepercayaan penumpang Ethiopian Airlines setelah kejadian tersebut?
Setelah kejadian, kami melihat tidak ada dampak negatifnya kepada penumpang maskapai. Mereka percaya kepada maskapai ini. Sebab, selama ini kami juga selalu mengutamakan keselamatan penerbangan dan pelayanan kepada penumpang di atas segalanya. Ini terbukti sejak maskapai kami pertama kali beroperasi belum pernah ada kejadian kecelakaan pesawat yang diakibatkan kesalahan manusia atau kesalahan teknis akibat kelalaian maskapai.
Dua kali pesawat kami jatuh, tahun 1996 di Pulau Komoro (timur Afrika) dan 2010 di Lebanon, juga bukan karena kesalahan maskapai atau kesalahan manusia. Tahun 1996, pesawat kami jatuh setelah dibajak. Tahun 2010, pesawat jatuh setelah ditembak.
(Dikutip dari BBC, berdasarkan penyelidikan otoritas di Lebanon, jatuhnya pesawat karena kesalahan pilot dan kopilot pesawat. Namun, pihak Ethiopian Airlines menolak hasil penyelidikan itu. Mereka menyebut, pesawat meledak di udara. Ini bisa terjadi karena sabotase, ditembak, atau tersambar petir).