Jalan utama menuju Suaka Maleo Tambun di Kecamatan Dumoga Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, dalam kondisi rusak.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
BOLAANG MONGONDOW, KOMPAS – Jalan utama menuju Suaka Maleo Tambun di Kecamatan Dumoga Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, dalam kondisi rusak. Perbaikan jalan tertunda karena banyaknya pemangku kepentingan di area tersebut serta kurangnya anggaran.
Hanya ada dua jalan menuju Suaka Maleo Tambun. Pertama, dari Jalan Trans-Sulawesi, pengunjung harus melewati jalan Desa Pinonobatuan yang berupa jalan dari pasir dan batu yang dipadatkan. Dari pantauan Jumat (24/5/2019), jalur sepanjang lebih kurang 8 kilometer itu telah hancur. Lubang-lubang membuat jalan bergelombang serta menjadi kubangan air.
Adapun akses kedua berupa jalan sepanjang 7,5 km di tepi hamparan sawah dan bukit juga hancur dan berlubang di semua bagian. Jalan yang melewati Desa Kembang Mertha itu bergelombang dan berlumpur setelah hujan.
Kepala Resor Dumoga Timur-Lolayan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Max Welly Lela, yang juga mengelola Suaka Maleo Tambun, mengeluhkan keadaan ini. Para tamu suaka puas mengamati maleo (Megacephalon maleo), tetapi menyayangkan keadaan jalan yang harus ditempuh demi melihat burung tanah endemik Sulawesi itu.
“Turis biasanya punya jadwal kunjungan yang ketat. Karena kecepatan kendaraan berkurang drastis di jalan rusak dibanding saat di Jalan Trans-Sulawesi, waktu kunjungan mereka jadi lebih pendek,” kata Max.
Setiap bulan, pengunjung Suaka Maleo Tambun berkisar 40-50 orang. Mayoritas adalah wisatawan mancanegara yang juga pengamat burung (birdwatcher). Beberapa pengunjung bahkan telah menjadwalkan kunjungan secara tahunan. Pendapatan dari tiket masuk bisa mencapai Rp 90 juta per tahun.
Menurut Camat Dumoga Timur Jootje Tumalun, kerusakan jalan menghambat kunjungan ke Suaka Maleo Tambun. Perbaikan pernah diajukan dalam musyawarah perencanaan pembangunan tingkat kecamatan, tapi tidak lolos di tingkat kabupaten. "Sampai hari ini, kami masih menunggu realisasi,” kata Jootje.
Diperkirakan, kerusakan jalan diakibatkan oleh penggunaan truk bertonase lebih dari 8 ton yang mengangkut hasil panen dari ratusan hektar sawah di seberang suaka. Sawah tersebut hampir semua dimiliki warga Desa Kembang Mertha, Amertha Buana, Amertha Sari, dan Kembang Sari. Warga Desa Pinonobatuan juga membawa batu-batu tambang emas dari Toraut, Kecamatan Dumoga Barat, untuk diolah sendiri di rumah.
Desak Malini (40), istri Kepala Desa Kembang Mertha, mengatakan, warga tidak punya cara lain untuk mengangkut hasil panennya secara efektif. “Tapi, wajar saja jika jalan rusak karena sejak saya kecil tidak pernah ada perbaikan,” kata Desak.
Sebelumnya, Bupati Bolaang Mongondow Yasti Soepredjo Mokoagow pernah menjanjikan perbaikan jalan pada Juli 2018. Pada Januari 2019, Sekretaris Daerah Bolaang Mongondow Tahlis Gallang juga menyatakan, perbaikan jalan akan segera dimulai.
Kepala Dinas Pariwisata Bolaang Mongondow Ulfa Paputungan membenarkan janji bupati itu. Kendati begitu, pemkab tidak dapat mengambil keputusan terkait jalan tersebut. "Kewenangan jalan ada di provinsi dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Sulawesi I," kata Ulfa.
Jalur tersebut berupa jalan inspeksi yang berbatasan dengan tanggul sungai kecil di sisi selatan. Sungai itu menjadi jaringan irigasi dari Bendungan Kosinggolan di Doloduo, Kecamatan Dumoga Barat, bagi sawah di sisi utara jalan.
Kepala Subbagian Tata Usaha BBWS I Jacquelin Tahar mengatakan, pemkab tidak bisa memperbaiki jalan karena bendungan tersebut berada dalam tanggung jawab Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
"BWSS I dan Dinas PUPR Sulut dapat dana TPOP (Tugas Pembantuan untuk Operasi dan Pemeliharaan) dari APBN untuk perawatan bendungan dan jaringan irigasinya. Khusus jalan inspeksi, tanggung jawabnya hanya ada di Dinas PUPR Provinsi. BWSS I hanya terkait bendungan dan jaringan irigasi," kata Jacquelin.
Sementara itu, Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Bidang Sumber Daya Air (SDA) Dinas PUPR Sulut Theresia Karamoy mengatakan, biaya perbaikan jalan inspeksi bisa lebih dari Rp 11 miliar. Namun, dana TPOP yang didapat tahun ini hanya Rp 7 miliar.
Karena itu, Bidang SDA Dinas PUPR Sulut hanya bisa memperbaiki titik-titik tertentu di sepanjang jalan yang dianggap sudah rusak parah sejak 2008. Prioritas pemeliharaan terletak di bendungan dan jaringan irigasi.
Sejatinya, jalur inspeksi hanya digunakan sebagai akses jalan untuk pemeliharaan infrastruktur irigasi. "Tapi, jalan itu telah menjadi jalan umum antardesa. Warga juga menggunakannya untuk mengangkut hasil sawah dan kebun, bahkan juga material tambang dengan truk bertonase berat. Tentu saja jalan cepat tergerus," kata Theresia.
Berbagai pihak telah meminta pengaspalan, tapi mustahil dilakukan karena pekerjaan itu harus menggunakan alat-alat berat yang getarannya berisiko meretakkan tanggul sungai jaringan irigasi.
"Alat berat pengaspalan harus diletakkan minimal 5 meter dari tanggul sungai. Itu tidak mungkin karena lebar jalan tidak sampai segitu. Jadi, bahan yang dimungkinkan hanya sirtu (pasir dan batu)," ujarnya.
Perbaikan jalan inspeksi di sekitar Suaka Maleo Tambun kemungkinan besar harus tertunda hingga 2021. Jaringan irigasi wilayah Kosinggolan akan diperbaiki pada 2020 oleh BWSS I. Selama itu, Dinas PUPR pun berfokus pada perawatan Bendungan Toraut untuk mencegah kerusakan jalan lebih jauh.