Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau ingin dilibatkan dalam tata kelola pembangunan pulau terluar. Selama ini, pemerintah pusat dianggap terlalu fokus menjaga keutuhan wilayah, tetapi melupakan peningkatan dan pemerataan kesejahteraan di wilayah perbatasan.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS – Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau ingin dilibatkan dalam menata pembangunan pulau terluar. Selama ini, pemerintah pusat dianggap terlalu fokus menjaga keutuhan wilayah tetapi melupakan peningkatan dan pemerataan kesejahteraan di wilayah perbatasan.
Hal tersebut mengemuka ketika Komite I DPD RI berkunjung ke Batam, Kepulauan Riau, dalam rangka dengar pendapat untuk inventarisasi penyusunan Rancangan Undang-Undang (UU) Perubahan UU Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Pemerintah provinsi dan daerah diminta memberi masukan terkait rencana revisi UU tersebut.
Wakil Ketua II Komite I DPD RI Fachrul Razi, Selasa (21/5/2019), mengatakan, polemik kewenangan tata kelola perbatasan memang berdampak buruk terhadap kesejahteraan warga di daerah terluar. Kepulauan Riau menjadi salah satu yang paling disoroti karena memiliki 22 pulau di wilayah terdepan.
Presiden Joko Widodo telah berkomitmen membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah agar kesatuan negara terjaga. Namun, kenyataannya, sebanyak 22 kabupaten dari total 122 kabupaten tertinggal saat ini berada di wilayah perbatasan.
Staf Khusus Gubernur Kepuluan Riau Ahars Sulaiman mengharapkan, pemerintah pusat dapat mengalokasikan dana khusus bagi pemerintah provinsi untuk mengelola pulau terluar. Pengelolaan dana perbatasan oleh provinsi dirasa akan lebih efektif karena pemerintah setempat lebih mengerti kebutuhan warga di perbatasan.
“Kalau semua diurus pusat hasilnya tidak akan maksimal. Sebaiknya ada pembagian tugas agar anggaran dapat digunakan tepat sasaran. Kewenangan tetap dipusat tetapi pengelolaan seharusnya bisa diurus daerah,” kata Ahars.
Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Kota Batam Yusfa Hendri mencontohkan, pembangunan dua pulau terluar yaitu Nipa dan Putri, oleh pemerintah dilakukan dengan sekadar mereklamasi. Keutuhan pulau sebagai batas terluar memang terjaga tetapi manfaat ekonomi dari pembangunan itu tidak dirasakan warga.
“Warga di pulau terluar kekurangan akses informasi dan transportasi. Pemerintah seharusnya memperhatikan kedua hal itu karena tujuan inti pembangunan adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat,” kata Yusfa.
Dari 22 pulau di Kepuluaan Riau yang yang menjadi titik ukur perbatasan Indonesia dengan negara tetangga atau perairan internasional, sebanyak 19 buah di antaranya adalah pulau karang yang tidak berpenghuni. Pulau-pulau itu adalah Hiu Kecil, Karimun Kecil, Nipa, Pelampung, Putri, Tokong Malang Biru, Damar, Mangkai, dan Tokong Nanas. Selain itu, ada juga Tokong Berlayar, Tokong Boro, Semiun, Sebetul, Sekatung, Senoa, Subi, Kepala, dan Sentut.
Meskipun sudah dibangun prasasti yang antara lain berisi nama pulau, koordinat, dan lambang negara, hampir semua pulau itu tetap kosong dan hanya sesekali disinggahi penduduk atau petugas. Yusfa berharap, pembangunanan fasilitas lain akan menyusul agar pulau-pulau tersebut memiliki manfaat lain dari sekadar batas negara.
Selain persoalan kesejahteraan, hal lain yang menjadi bahan pembahasan adalah pengawasan kedaulatan di wilayah laut yang belum optimal. Karena lemahnya pengawasan, masih sering dijumpai nelayan berbendara asing bisa lolos masuk dan mengeruk kekayaan laut Indonesia.
Yusfa mengatakan, persoalan di wilayah perbatasan sangat banyak, sedangkan personel dan alat yang digunakan untuk mengawasi jumlahnya terbatas. Oleh karena itu, pola pikir bahwa pengawasan hanya boleh dilakukan pemerintah pusat harus diubah.
“Perangkat daerah bisa dimanfaatkan untuk terlibat mengawasi pulau terluar. Mereka tinggal dan hidup di wilayah itu, pastinya mereka juga memiliki pengetahuan dan kepekaan untuk ikut menjaga kekayaan di perbatasan,” kata Yusfa.