Hikayat Kabupaten yang Tersembunyi di Balik Rawa
Perjalanan panjang nan melelahkan mesti dilalui setiap orang yang menuju Kabupaten Mappi. Selama 7 jam perjalanan air, pemandangan yang tersaji hanya rawa-rawa dan sungai berliku. Kedua bentang alam tersebut seolah bersekongkol menyembunyikan keberadaan kabupaten di sudut timur Indonesia itu.
Papua selalu menyimpan beragam enigma, termasuk perjalanan ke Mappi, Rabu (15/5/2019). Kabupaten tetangga Mappi, Merauke, menjadi lokasi terdekat yang bisa dipilih sebagai titik awal keberangkatan.
Dari Merauke perjalanan nun jauh dimulai. Mula-mula kita mesti menuju ke Dermaga Assikie melalui jalan trans-Papua. Perjalanan darat itu menghabiskan waktu hingga enam jam.
Sepanjang perjalanan darat itu, kita bakal meratapi kesunyian serta hamparan hijau pepohonan dari hutan dan belukar. Jalan trans-Papua lurus membentang tanpa halangan. Jalan itu tak terlampau besar, hanya selebar 4 meter. Sehingga, manakala ada kendaraan yang melintas dari arah berlawanan, sesekali sopir akan menurunkan kecepatan mobil.
Menyisir hutan dan jalanan selama enam saja sudah membuat badan kesemutan dan pegal. Namun, ketika tiba di Dermaga Asiki-lah perjalanan yang sesungguhnya akan dimulai. Untuk mencapai Mappi, masyarakat kebanyakan menggunakan jalur sungai dengan menumpang perahu cepat (speed boat).
Ongkos menumpang perahu cepat per orang dibanderol Rp 2 juta. Jika ongkos perahu cepat masih dirasa kemahalan, ada opsi lain yang bisa ditempuh dengan harga yang lebih bersahabat, yakni kapal barang bersubsidi. Namun, berangkat menggunakan kapal barang bersubsidi membutuhkan waktu tempuh 2 hari.
Kendati berangkat menggunakan perahu cepat pada tengah hari, nyatanya kecepatannya tak akan mampu membawa kita tiba di Mappi sebelum matahari menuju peraduan. Sungai Digul yang memisahkan Mappi dan Merauke terlalu panjang untuk dilalui. Saking lamanya perjalanan, sesekali perahu harus menepi di kampung yang ada di sekitar sungai untuk sekadar beristirahat atau menumpang ke kamar kecil. Baru setengah perjalanan, langit keburu muram dan gelap.
Di tengah keheningan malam, perahu melaju tanpa henti. Embusan angin kencang terus menerus membelai tubuh. Sinar bulan memancar malu-malu dari balik awan. Di sisi sungai, hutan rawa dan belukar bergantian menyambut kita Menurut penduduk sekitar, di tengah rawa tersebut terdapat sekelompok rusa, yang kerap menjadi sasaran buruan warga setempat untuk dikonsumsi dan dijual.
Perlu keterampilan khusus mengemudikan perahu di tengah gulita. Bila tak waspada, perahu bisa saja terantuk batu atau dahan pepohonan. Nakhoda kapal harus siaga mengarahkan senter ke sekeliling sungai. Beberapa kali nakhoda melirik peta di gawainya agar perahu tak salah arah. Malam itu Sungai Digul dalam sekejap menjelma menjadi labirin air tak berkesudahan.
Setelah berhasil melewati rintangan itu, perahu akhirnya berlabuh di Dermaga Kepi. Kepi merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Mappi.
Dikelilingi rawa
Kepala Kampung Tukumau, Mappi, Simson Biyake (32), mengatakan, wilayah Mappi yang dikelilingi rawa dan sungai agak menyulitkan penduduk sekitar dalam bepergian. Mayoritas warga Mappi berburu dan bercocok tanam. Adapun warga yang menetap di dekat Dermaga Kepi kebanyakan merupakan nelayan.
“Selain lewat sungai, bisa juga pakai pesawat, tapi biayanya mahal,” kata Simson.
Bepergian menggunakan pesawat yang dimaksud Simson bisa dilakukan di Bandara Kepi. Di sana sejumlah pesawat berukuran kecil mengangkut penumpang setiap harinya. Namun, penerbangan sangat bergantung pada cuaca, sehingga jadwal maupun jumlah penerbangan tiap harinya tak bisa dipastikan. Untuk sekali jalan, tiket pesawat bisa ditebus dengan harga sekitar ratusan ribu hingga Rp 1,9 juta.
Kabupaten Mappi memiliki luas 28.518 kilometer persegi dan terdiri dari 15 distrik. Di tiap distrik terdapat kampung-kampung yang dipisahkan rawa. Jarak antarkampung bisa ditempuh selama berjam-jam menggunakan perahu cepat.
Karena jarak antarkampung yang berjauhan dan dipisahkan rawa, perkara transportasi menjadi tidak sederhana. Layanan kesehatan yang memadai, misalnya, hanya bisa diperoleh di Kepi.
Warga Kampung Wagin, Lodianton Epem (32), menyampaikan, di wilayahnya hanya terdapat satu puskesmas pembantu. Di puskesmas tersebut ada satu orang bidan desa yang bertugas. Bila ada masyarakat yang sakit dan tidak bisa diobati di sana, ia harus dirujuk ke puskesmas yang ada di Kepi.
“Perjalanannya cukup jauh dan butuh waktu sekitar 2 jam ke Kepi menggunakan perahu,” ujar Lodianton.
Begitu pula jika ada warga yang hendak membeli barang kebutuhan pokok. Pasar terdekat dari Kampung Wagin hanya ada di Distrik Nambai yang harus ditempuh dalam waktu 4 jam melewati rawa-rawa. Pengalaman serupa dialami juga oleh Bernadetta (16) yang menempuh perjalanan selama tiga jam untuk menempuh pendidikan SMP di Nambai.
Kampung Wagin hanya memiliki satu SD. Viktorius Arsono Nandi (23), guru kontrak di SD Inpres Kampung Wagin menuturkan, banyak anak Kampung Wagin yang hanya tamat SD lalu tak melanjutkan karena jarak SMP cukup jauh. Pada musim hujan, terkadang penduduk tidak bisa keluar dari kampung karena cuaca buruk selama berhari-hari. Alhasil, Arsono pernah kehabisan stok beras dan hanya makan sagu selama tiga minggu.
Anugerah Tuhan
Walaupun Kabupaten Mappi dihadapkan pada kondisi geografis yang dikelilingi sungai dan rawa, Bupati Mappi Kristosimus Yohanes Agawemu menganggap kondisi tersebut sebagai anugerah Tuhan. Bagi Kristosimus, sungai dan rawa telah memberikan kehidupan bagi warga Mappi. Mereka bisa mencari ikan dan kepiting untuk dikonsumsi atau dijual.
Kendati keberadaan sungai sedikit menghambat warga untuk bepergian, Kristosimus menilai pembangunan infrastruktur jalan atau jembatan belum terlalu mendesak. Bagi dia, masyarakat Mappi sudah menganggap sungai seperti jalan raya sebagaimana yang ada di pulau Jawa.
“Maka dari itu yang sebenarnya kami butuhkan adalah bantuan moda transportasi sungai,” katanya.
Idealnya ada 20 perahu untuk melayani warga dalam bepergian dari satu kampung ke kampung lainnya. Saat ini cuma ada dua perahu cepat yang beroperasi setiap hari. Jumlah itu masih sangat kurang. Kristosimus juga berharap adanya bantuan kapal berukuran besar yang dapat digunakan sebagai angkutan umum bagi warga Mappi dalam bepergian dari satu kampung ke kampung lainnya.
Apa yang dialami warga Kabupaten Mappi merupakan potret dari jutaan masyarakat Indonesia yang hidup di wilayah dengan aksesibilitas terbatas karena dipisahkan air. Alih-alih meratapi nasib, mereka justru menempatkan rawa dan sungai sebagai anugerah yang harus disyukuri.