Masa kerja Badan Restorasi Gambut yang dimulai 2016 dan akan berakhir pada 2020 dinilai belum cukup untuk merestorasi lahan gambut di Indonesia. Eropa saja yang sudah 50 tahun merestorasi lahan gambut belum tuntas melakukannya hingga kini.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
MERAUKE, KOMPAS — Masa kerja Badan Restorasi Gambut yang berakhir pada 2020 dinilai belum cukup dalam upaya merestorasi lahan gambut di Indonesia. Secara keseluruhan, Indonesia memiliki 22,5 juta hektar lahan gambut yang telah menjadi aset nasional. Upaya merestorasinya membutuhkan waktu yang lama. Oleh karena itu, keberadaan lembaga di tingkat nasional untuk merancang kebijakan restorasi gambut masih sangat diperlukan.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut (BRG), BRG diberi waktu selama lima tahun, dari 2016 hingga 2020, untuk merestorasi lahan gambut di Indonesia. Dengan demikian, saat ini masa kerja BRG hanya tinggal satu tahun.
Dalam lima tahun masa kerjanya, ada tujuh provinsi yang masuk daftar prioritas restorasi gambut oleh BRG. Ketujuh provinsi itu adalah Provinsi Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Papua, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, dan Jambi. Hingga masa kerjanya berakhir, BRG ditugasi bisa tuntas merestorasi 2,6 juta hektar lahan gambut di tujuh provinsi tersebut.
Proyek jangka panjang
Deputi Bidang Konstruksi, Operasi, dan Pemeliharaan BRG Alue Dohong, Jumat (17/5/2019), mengatakan, memulihkan hidrologi dan vegetasi merupakan proyek jangka panjang. Global Wetlands mencatat, Indonesia memiliki lahan gambut terbesar kedua di dunia dengan luas mencapai 22,5 juta hektar. Urutan pertama ditempati Brasil dengan luas lahan gambut 31,1 juta hektar.
Alue mencontohkan, Eropa juga telah merestorasi lahan gambut selama hampir 50 tahun. Upaya restorasi gambut oleh Eropa bahkan belum tuntas dilakukan hingga saat ini. Oleh karena itu, Alue memandang masa kerja BRG selama lima tahun tidak akan bisa merestorasi lahan gambut secara optimal.
”Harus diketahui, restorasi gambut itu sekarang sudah menjadi kebutuhan nasional dan bersifat jangka panjang,” kata Alue di Merauke, Papua.
Namun jika memang pemerintah kelak memutuskan keberadaan BRG tidak dilanjutkan setelah 2020, Kepala BRG Nazir Foead mengatakan, pemerintah daerah (pemda) yang diharapkan menjadi ujung tombak untuk restorasi gambut.
Oleh karena itu, pemda mesti meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) mereka dalam mengelola anggaran dan administrasi ataupun teknis perencanaan dan pelaksanaan restorasi gambut.
”Kami ingin ke depannya peran pemda yang diperkuat,” kata Nazir.
Kendati pemda bisa saja meningkatkan kapasitas SDM, Nazir memandang, keberadaan satu lembaga di tingkat nasional yang membuat perencanaan dan kebijakan restorasi gambut serta mengasistensi koordinasi pelaksanaan antarprovinsi tetap diperlukan.
”Fungsi ini sebenarnya bisa juga dilaksanakan kementerian. Tapi tugas kementerian, kan, sudah banyak sekali,” ujar Nazir.
Bupati Mappi Kristosimus Yohanes Agawemu pun berharap peran BRG tidak berakhir di 2020. Menurut dia, banyak program BRG di Papua berarti untuk masyarakat.
Kabupaten Mappi merupakan daerah yang memiliki sebaran lahan gambut terluas di Papua. Ada 25.536 hektar lahan gambut di Mappi yang akan direstorasi oleh BRG pada 2019.
Di Kabupaten Mappi, tahun ini BRG menyerahkan 15 paket revitalisasi ekonomi berupa 5 hektar lahan dan sagu untuk dibudidayakan. Pohon sagu dipilih karena tidak merusak lingkungan dan cocok ditanam di lahan gambut. Dengan membudidayakan sagu di lahan gambut, diharapkan masyarakat turut menjaganya dan meninggalkan kebiasaan membakar lahan gambut.
Mengacu pada data BRG secara nasional, hingga saat ini lahan gambut nonkonsesi yang sudah tuntas direstorasi 679.000 hektar dari target 1,1 juta hektar. Hingga 2020, dengan rata-rata restorasi lahan gambut yang mencapai 200.000 per tahun, Nazir optimistis BRG mampu memenuhi target merestorasi 1,1 juta lahan gambut nonkonsesi pada 2020. (IGA)