Pemerintah didorong bergerak cepat mengantisipasi perang dagang AS-China. Reformasi perizinan dan perbaikan kemudahan berusaha harus dilanjutkan untuk menarik investasi berorientasi ekspor.
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dalam tingkat kewaspadaan tinggi karena ada indikasi perekonomian domestik terpengaruh tekanan ekonomi global. Ketidakpastian ekonomi global dan pelemahan harga komoditas pun berdampak pada pendapatan negara.
“Kami sudah melihat tanda-tanda perekonomian mengalami penurunan yang terefleksi dalam penerimaan pajak yang tumbuh melemah,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers kinerja APBN bulan April 2019 di Jakarta, Kamis (16/5/2019).
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi pendapatan negara hingga April 2019 sebesar Rp 530,7 triliun atau 24,5 persen dari pagu APBN 2019. Pendapatan negara pada bulan April 2019 tumbuh 0,5 persen, jauh lebih rendah dari periode sama tahun 2018 yang mencapai 13,3 persen.
Pertumbuhan penerimaan negara yang melemah itu tercermin pada realisasi pendapatan pajak sebesar Rp 387 triliun, bea keluar Rp 1,5 triliun, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 94 triliun. Bahkan, bea keluar dan PNBP tumbuh negatif, masing-masing 29,8 persen dan 14,8 persen.
“Ekonomi mengalami tekanan dan melemah, tetapi tidak masuk zona negatif. Kita harus mulai waspada,” kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani menuturkan, pemerintah dalam tingkat kewaspadaan tinggi karena situasi saat ini mirip dengan tahun 2014-2015. Tekanan global menyebabkan kinerja ekspor dan impor melemah sehingga berimbas ke pendapatan negara. Kewaspadaan ini diperlukan untuk tetap menjaga pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen.
Pendapatan negara, lanjut Sri Mulyani, mengalami kontraksi cukup kuat dari penerimaan minyak dan gas (migas). Hingga triwulan I-2019, indikator produksi, harga global, dan nilai tukar, untuk migas di bawah asumsi makro APBN 2019. Pendapatan juga turun karena bea keluar ekspor beberapa komoditas nol persen karena harga global terlalu rendah, seperti minyak sawit mentah.
“Ada banyak faktor yang menyebabkan penerimaan pajak dan kepabeanan turun. Kehati-hatian penting karena ekonomi mengalami tekanan,” kata Sri Mulyani.
Kontra siklus
Sri Mulyani mengatakan, APBN dapat dan sudah melakukan kontra siklus ketika ekonomi melemah. Kontra siklus itu dilakukan dengan menggenjot realisasi belanja agar konsumsi rumah tangga dan pemerintah tumbuh tinggi. Realisasi belanja pemerintah pusat per April 2019 mencapai Rp 370 triliun atau tumbuh 11,8 persen.
“Namun, kontra siklus itu mengakibatkan defisit melebar karena penerimaan turun, tetapi realisasi belanja sama,” kata Sri Mulyani.
Selain kontra siklus APBN, dampak tekanan global terhadap perekonomian domestik juga akan diperkecil melalui instrumen fiskal lainnya. Pemerintah dalam waktu dekat akan menerbitkan insentif pajak super deductible untuk industri mobil listrik dan pengembangan vokasi. Insentif pajak itu diharapkan bisa membangun kembali momentum sektor swasta.
Ditemui terpisah, Kepala Pusat Kajian Ekonomi Makro Universitas Indonesia Febrio Kacaribu berpendapat, tekanan global tidak akan sebesar tahun 2018 karena The Federal Reserve menahan kenaikan suku bunga acuan, bahkan ada kecenderungan turun. Tekanan global paling dominan bersumber dari perang dagang AS-China.
Reformasi perizinan
Menurut Febrio, tekanan global akan berdampak terhadap koreksi pertumbuhan ekonomi. Pihaknya merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun 2019 dari kisaran 5,2-5,3 persen menjadi 5,1-5,2 persen. Hal itu dilakukan karena gejolak global yang terjadi satu bulan terakhir tidak bisa dianggap remeh.
Pemerintah didorong bergerak cepat mengantisipasi perang dagang AS-China. Reformasi perizinan dan perbaikan kemudahan berusaha harus dilanjutkan untuk menarik investasi berorientasi ekspor. Pemerintah juga mesti jemput bola agar investor tidak lagi-lagi ditarik oleh Vietnam dan Thailand. Indonesia memiliki Batam sebagai daya tarik investasi.
“Kontak langsung dengan investor potensial yang mau pindah dari China. Apa yang mereka butuhkan? Pemerintah harus gerak cepat,” kata Febrio.