Mencintai Indonesia Melalui Pemilu...
Penyelenggaraan Pemilu 2019 di luar negeri penuh tantangan. Namun, bagi sebagian petugas PPLN, hal itu jadi ajang menjaga kecintaan pada Indonesia.
Kelegaan dari wajah semringah Bernard Tampubolon (47) tak bisa disembunyikan. Setelah melalui sesi tanya jawab serta keberatan dari para saksi, akhirnya tugasnya selesai juga. Hampir lima bulan mempersiapkan pemilu di Perth, Australia, rekapitulasi perolehan suara yang diselenggarakan pada Rabu (8/5/2019) di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, menjadi puncak tanggung jawabnya.
Di dalam ruang rapat pleno rekapitulasi, Bernard harus bersusah payah menjelaskan perbedaan data dalam daftar pemilih tetap (DPT) yang dilaporkannya di awal kepada KPU, 12 Desember 2018, dengan DPT hasil revisi. DPT hasil revisi itu muncul setelah Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Perth yang dipimpinnya melakukan pencocokan data di lapangan. Para saksi parpol yang kritis mempertanyakan ketidaksinkronan data DPT tersebut.
”Pada kenyataannya ada perbedaan jumlah DPT karena waktu kami melaporkan ke KPU, Desember 2018, jumlahnya tidak seperti pada kenyataan di lapangan. Ketika PPLN kami mengontak kembali para pemilih, ternyata ditemukan ada pemilih yang telah meninggal atau keluar dari Perth sehingga DPT-nya berkurang,” kata Bernard.
Sejak Sabtu (4/5/2019), KPU menyelenggarakan rapat pleno rekapitulasi perolehan suara nasional dari luar negeri. Sebanyak 130 PPLN menyelenggarakan pemilu, dan tiap PPLN di daerah tersebut memberikan laporan.
Oleh karena itu, Bernard akhirnya mengambil cuti demi bisa pulang ke Tanah Air. Awalnya ia hanya mengajukan cuti dua hari dari perusahaan tempatnya bekerja. Tetapi, pembenahan dokumen dan data pemilu memerlukan waktu cukup lama sehingga ia harus menambah sehari waktu cutinya. ”Sekarang saya benar-benar lega karena laporan telah tuntas saya sampaikan. Besok (Kamis), saya pulang ke Perth,” ujarnya tersenyum.
Sebagian besar anggota PPLN Perth, termasuk Bernard, telah menjadi penduduk tetap Perth. Mereka adalah kelompok profesional yang bekerja di kota yang berada di pesisir barat Australia itu. Sekalipun memiliki kesibukan masing-masing, para anggota PPLN itu tergerak untuk ikut serta dalam pesta demokrasi lima tahunan.
Pengalaman menjadi petugas pemilu bukan pertama kalinya bagi Bernard. Pada tahun 2014, Bernard juga terlibat sebagai petugas pemilu di Perth. Dia ingin mengekspresikan cintanya kepada Indonesia dengan berpartisipasi melalui pemilu.
”Saya memang penduduk tetap Perth, tetapi sudah pasti mencintai Tanah Air. Saya WNI, dan makanya saya ikut menjadi petugas pemilu karena ingin melihat pemilu kita sukses,” ungkapnya.
Bernard mengaku selalu mengikuti kabar dan perkembangan Indonesia melalui media massa. Segala hal menyangkut Indonesia selalu menarik perhatiannya, tak terkecuali Pemilu 2019 yang merupakan pemilu serentak pertama Indonesia. Kendati menguras tenaga, dan membuat deg-degan karena kredibilitasnya dipertaruhkan, Bernard bersyukur bisa intens terlibat dalam Pemilu 2019.
Menjelajah perbatasan
Intensitas pikiran dan mental itu pula yang dirasakan Ade Dewanto, Ketua PPLN Kuching, Sarawak, Malaysia. Pengalaman sebagai petugas kotak suara keliling (KSK) membuatnya menyaksikan sendiri besarnya antusiasme WNI menyalurkan hak pilih.
Dengan menjadi Petugas Pemilu Luar Negeri, Ade juga memahami realitas buruh migran di Malaysia yang sebagian besar merupakan pekerja ilegal. Mereka pada umumnya adalah buruh di wilayah perkebunan di Malaysia.
Posisi Kuching ada di ujung utara Pulau Borneo. Adapun wilayah Sarawak merupakan negara bagian terbesar di Malaysia, dan setara dengan luas Pulau Jawa. ”Jarak antara Kuching dan daerah layanan kami yang terjauh itu harus ditempuh dalam 22 jam melalui darat. Itu pun kalau lancar. Sebab, kami harus dua kali melewati perbatasan dengan Brunei Darussalam sebelum masuk kembali ke wilayah Sarawak,” ujarnya.
Para pemilih juga kerap berpindah lokasi sehingga membuat petugas kesulitan mendata dengan mengikuti pergerakan mereka. Terlebih lagi, ada pula sebagian pemilih yang tidak memiliki izin bekerja sehingga kerap kali keberadaan mereka disembunyikan.
”Akibatnya, ketika kami mengantar KSK ke sana, ternyata jumlah WNI banyak sekali, dan melebihi yang dicatat. Banyak majikan yang tidak mau secara terus terang menunjukkan keberadaan mereka karena berstatus pekerja ilegal,” kata Ade.
Dengan kondisi itu, petugas KSK mau tidak mau melayani WNI yang ada di lokasi dengan sisa surat suara yang ada. Melihat banyaknya pemilih, petugas secara tidak langsung juga terintimidasi. ”Kalau tidak dilayani, saya juga tidak berani menjamin petugas KSK itu bisa keluar dengan selamat. Sebab, mereka yang mengaku WNI sangat ingin haknya dilayani,” ungkapnya.
Ketegangan yang dirasakan Ade di satu sisi dipandang sebagai pengalaman berharga.
Wakil Menteri Luar Negeri Abdurrahman Mohammad Fachir mengapresiasi kerja petugas PPLN. ”Saya membayangkan mereka itu bekerjanya luar biasa, dan kita harus memberikan dukungan semangat kepada mereka,” katanya saat mengunjungi KPU.