Menjelajah Phuket dengan Motor Bergaya Klasik
Mengendarai sepeda motor Royal Enfield di Phuket, Thailand, menjadi pengalaman istimewa sekaligus menantang. Senang karena dapat ke luar negeri dan mencoba motor seharga seratusan juta rupiah dengan gratis. Namun, sebagai jurnalis, saya sebisa mungkin harus mewakili mata hingga perasaan pembaca yang boleh jadi lebih hatam tentang otomotif.
Mengendarai sepeda motor Royal Enfield di Phuket, Thailand, menjadi pengalaman istimewa sekaligus menantang. Kesempatan menjajal motor seharga seratusan juta rupiah ini datang saat dinas luar negeri. Senang, namun harus tetap sebisa mungkin obyektif mewakili mata dan perasaan pembaca.
Untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di negeri orang, tepatnya di Phuket, Thailand, 22-24 Maret 2019. Kompas menugaskan saya memenuhi undangan Media Ride Asia Royal Enfield (RE), perusahaan sepeda motor yang berdiri sejak 1901. Kami–dua jurnalis Indonesia dan sejumlah wartawan asal Korea Selatan, Jepang, dan Thailand–mencoba produk baru RE, yakni Continental GT 650 dan Interceptor 650.
Senang, namun harus tetap sebisa mungkin obyektif mewakili mata dan perasaan pembaca.
Sejak diluncurkan 2017, sepeda motor bergaya retro yang kerap disapa “si kembar" itu telah mengaspal di Amerika Serikat, Eropa, dan di India sebagai pusat produksinya. Kali ini, pihak RE ingin menjangkau pasar di Asia Pasifik. Sebelum itu, mereka meminta saran dan kritik kepada jurnalis otomotif.
Padahal, sebagai brand motor kelas menengah (350 cc – 500 cc) dunia, RE sudah terkenal di berbagai negara. Namun, RE tetap melakukan riset dengan biaya yang tidak sedikit tentunya.
Andai hal serupa (riset) dilakukan dalam setiap kebijakan pemerintah kita, kemungkinan muncul keluhan terkait kebijakan yang tidak dibutuhkan akan minim. Misalnya, pemberian bantuan mesin pompa untuk sawah irigasi yang airnya berlimpah.
Pikiran itu sempat terlintas di benak saya sebelum pilot pesawat mengumumkan gangguan cuaca di Malaysia. Getaran terasa saat pesawat menembus awan.
Setelah lebih dari empat jam perjalanan, kami akhirnya tiba di Phuket. Bandaranya tidak sebagus dan sebesar Terminal 3 Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Namun, cukup tertib.
Para penjemput, misalnya disediakan tempat khusus berpagar. Puluhan kertas dan karton berisi nama penumpang berjejer di sana. Ada pula ruang terbuka hijau dengan aneka bunganya.
Kami dijemput taksi lalu menuju Marriott Resort Phuket, sekitar 10 menit dari bandara. Setiba di hotel, petugas langsung menyuguhkan minuman dingin dengan sapu tangan. Perempuan-perempuan tersebut fasih berbahasa Inggris meskipun dengan dialek khas Thailand.
Mereka lalu menyapa kami dalam bahasa setempat “Sawadikap” (selamat datang) sambil tersenyum dan mengatupkan kedua tangan. Kami terdiam karena semula tidak paham apa yang mereka katakan. “Sorry, are you Thai?” tanya petugas tersebut.
Sambil balas tersenyum, kami katakan bahwa kami dari Indonesia. Sebagai sesama orang Asia Tenggara, wajah kami mungkin tidak jauh beda dengan mereka sehingga disapa dalam bahasa setempat.
Gugup
Pagi itu, Sabtu (23/3/2019) sekitar pukul 08.00, si kembar bersilinder ganda dengan mesin 648 cc itu telah berbaris rapi di Marriott Resort Phuket. Saya memandang lekat motor dengan knalpot ganda itu.
Di AS, Interceptor mulai dijual seharga 5.799 dollar AS dan Continental GT 5.999 dollar AS. Jika diubah ke kurs rupiah, harga si kembar mulai dari Rp 80 jutaan, belum pajak. Jika masuk ke Indonesia, harganya sekitar Rp 120 juta!
Untuk perjalanan pertama, kami mencoba Continental GT 650. Motor ini terinspirasi dari Continental GT 250 produksi RE tahun 1960-an dan model motor café racer khas Inggris lainnya. Ketika dinyalakan, ternyata mesinnya tidak begitu berisik. Malah terdengar seperti suara robot.
Tempat duduk setinggi 793 milimeter tidak sulit dicapai. Tangki putih dengan garis hitam di tengahnya terlihat cukup mencolok dari kejauhan. Kami lalu mengenakan perlengkapan berkendara yang dibawa dari negara masing-masing.
Pihak RE tidak menyediakan perlengkapan tersebut dengan alasan agar jurnalis merasa nyaman dengan kostumnya masing-masing saat berkendara. Itu sebabnya, kami menenteng-nenteng helm ke pesawat.
Saya sendiri membawa jaket berlogo “Kompas” dan helm bergaya retro half face yang dibeli di Cirebon, Jawa Barat, tempat saya bertugas. Meski demikian, saya masih tetap merasa gugup. Telapak tangan mulai berkeringat. Apalagi, Januari lalu saya baru aktif kembali liputan dan "mengaspal" setelah sakit selama tiga bulan.
Selain pengalaman perdana dan belum mengenal medan jalanan, saya juga belum pernah menulis tentang otomotif. Mungkinkah wartawan mampu menghasilkan tulisan yang bagus pada bidang yang tidak dikuasainya?
Saya mengambil napas dalam-dalam kemudian berdoa agar perjalanan berjarak tempuh lebih dari 200 kilometer ini berjalan lancar dan aman. Lagi pula, saya sempat mengikuti “kursus singkat” cara menulis otomotif dari Riza Fathoni, pewarta foto Kompas yang kerap meliput tur RE. Ia bahkan meminjamkan sarung tangan kulit.
Ketika masih duduk di bangku sekolah menengah atas di Makassar, Sulawesi Selatan, saya juga mengendarai motor besar. Beberapa hal ini menjadi alasan saya untuk tetap tenang mengendarai motor dengan berat kosong 198 kilogram tersebut.
Diperlukan waktu adaptasi bagi saya, pengendara motor matic. Setelah beberapa ratus meter, kenyamanan perlahan menghampiri. Pengendara leluasa untuk mundur karena desain jok tunggal dengan gundukan di bagian belakang.
Posisi tubuh pun seakan terdorong ke depan. Kaki kiri “disibukkan” mengganti enam persneling, baik menggunakan telapak maupun punggung kaki. Sementara kaki kanan menginjak pedal rem. Rasanya seperti pebalap beneran!
Jalan raya Phuket yang sepi menjelang pemilihan umum setempat pada Minggu (24/3), memicu kami memuntir gas dengan kecepatan sekitar 100 kilometer per jam. Karakter torsi maksimum sebesar 52 Nm pada 5.250 rpm pun terasa. Getaran mesin juga tidak “gaduh” meskipun waktu ganti gigi telah tiba.
Sepanjang 115 kilometer perjalanan, bising klakson nyaris tak terdengar. Sesuatu yang jarang ditemukan di Jakarta dan kota besar lainnya di Indonesia.
Selebihnya, tidak jauh beda. Aspal terkelupas di beberapa titik atau pemandangan pataka calon legislatif di pinggir jalan. Suhu udara pun sama dengan di Tanah Air: panas. Wajah jurnalis asal Jepang dan Korsel tampak memerah dengan keringat mengucur.
Namun, perjalanan ini seperti mengonfirmasi “kemenangan” Thailand atas Indonesia dalam sektor pariwisata. Minibus yang mengantar wisatawan, berderet terparkir di pinggir jalan raya Phuket. Turis-turis berjalan santai di trotoar. Tidak terlihat dampak dari terjadinya ledakan bom pada Agustus 2016.
Bersama Kota Hua Hin dan Surat Thani, Phuket menjadi lokasi serangkaian ledakan bom saat itu. Empat orang tewas dan puluhan cedera, termasuk 11 warga asing (Kompas, 13/8/2016). Bagaimana Phuket bangkit, saya belum menemukan jawabannya.
Ketika singgah di bukit karst Somdech PHRA Srinagarindra Parks, Phang-Nga, tidak tampak tukang parkir atau orang yang menyeberangkan kendaraan lalu meminta uang, seperti ditemukan di sejumlah kota di Indonesia.
Setelah meneguk air kelapa, kami mengitari bukit yang dilengkapi dengan gua dan stalaktit tersebut. Di perjalanan, saya kembali dibuat penasaran dengan papan penunjuk lokasi pariwisata. Tidak hanya nama tempat, papan itu juga memuat jenis atraksi wisata di tempat itu, seperti tarian. Jadi, pengendara tahu apa yang mereka akan dapatkan jika ke destinasi itu.
Di jalan protokol Phuket, yang kami jumpai adalah papan reklame besar berisi foto-foto tempat wisata. Sementara di sejumlah kota di Indonesia, reklame iklan dan politisi lah yang memadati jalan protokol. Entah mana yang lebih menguntungkan masyarakat, reklame destinasi wisata atau iklan produk dan politisi.
Mungkin pemandangan itu hanya secuil dari buah pengembangan pariwisata Thailand, yang pada 2017 didatangi 35,59 juta wisatawan mancanegara dengan pengeluaran total 62,158 miliar dollar AS. Pada saat yang sama, Indonesia baru mampu mendatangkan sekitar 14 juta wisman.
Baca juga: Menginap di Kandang Gajah demi Menggali Fakta
Berbagai tanya tentang kemajuan Thailand dalam sektor pariwisata, terpaksa harus saya abaikan pada separuh perjalanan terakhir. Ini karena rutenya lebih menantang, menanjak di perbukitan. Bahkan, pada 20 kilometer terakhir, rutenya meliuk-liuk. Tidak jauh beda dengan rute Cadas Pangeran, Sumedang.
Sebelum pukul 12.00, kami tiba di titik istirahat Katathong Golf Resort untuk makan siang. Selanjutnya, kami bertukar kendaraan dengan rombongan lainnya. Kali ini, giliran menjajal Interceptor 650.
Motor ini terinspirasi dari produk RE Interceptor tahun 1960-an dengan lampu depan yang bulat dan klasik. Dulunya, motor ini banyak digemari di pantai barat Amerika. Itu sebabnya, beberapa potret Interceptor lekat dengan pantai. Apalagi, tangkinya yang oranye seakan mengingatkan sunset di pantai.
Baca juga: Dengkul Bersua Dagu Saat Mendaki Sibela
Mata kami kemudian dimanjakan oleh pemandangan pasir putih di Pantai Natai, Phang Nga dan sederet pantai di Phuket. Setelah menempuh 120 kilometer, kami kembali ke hotel sebelum matahari terbenam.
Rasanya lega, tiba dengan selamat. Jujur, saya sangat khawatir jika terjadi kecelakaan selama tur. Apalagi, ini motor mahal. Belakangan, saya baru tahu kalau motor itu sudah diasuransikan selama tur, termasuk pengemudinya. Bagaimana pun, keselamatan adalah yang paling utama.