Pemilu yang Memilukan
Sukaesih (58) masih meneteskan air mata saat menceritakan akhir hidup dari Rudi Mulia Prabowo (57), suaminya, Rabu (24/4/2019) di Jakarta. Rudi merupakan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara pada Tempat Pemungutan Suara 009 Kelurahan Pisangan Baru, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur, yang meninggal pada Senin (22/4/2019).
Keluarga tidak menyangka kepergian Rudi begitu cepat. Keluarga mengantar kepergiannya ke tempat peristirahatan terakhir di TPU Prumpung, Jatinegara, Jakarta Timur, pada Selasa (23/4/2019). Salah satu anggota keluarga tidak kuat menahan kesedihan, lalu pingsan setelah pemakaman.
Sukaesih menuturkan, sebelum meninggal, suaminya mengeluhkan kelelahan dan muntah-muntah dua kali. Napasnya tersengal-sengal dan setelah itu jatuh pingsan.
Menurut Ines (22), anak Rudi, ayahnya mengeluh pusing kepada Sukaesih dan kepada dirinya. Ines menyarankan ayahnya untuk istirahat. Saat hendak istirahat, kondisi Rudi justru semakin buruk. Rudi jatuh pingsan dan menimpa kursi kayu sampai patah.
Rudi segera dibawa ke rumah sakit terdekat. Namun, saat diperiksa dokter, Rudi sudah tidak bernyawa lagi.
”Bapak sudah meninggal, kemungkinan Bapak sudah dipanggil Yang Maha Kuasa saat di rumah,” kata Nunik, adik ipar Rudi, menirukan pernyataan dokter.
Saat dinyatakan meninggal, Sukaesih melihat dada suaminya sudah membiru. “Mungkin karena angin atau jantung,” katanya.
Rudi sudah dua kali menjadi petugas KPPS. Dia mengemban tugas serupa pada Pemilu 2014. Tugas kali ini lebih berat dibanding tugas sebelumnya.
Sehari sebelum pemilu, mantan petugas keamanan di kawasan kuningan tersebut masih mencari tenda untuk membangun dan mempersiapkan TPS 009. Tidak ada waktu tidur yang cukup bagi Rudi hingga ajal menjemputnya.
Sukaesih mengatakan, suaminya sudah mulai terlihat letih saat pemilu berlangsung. Ia hampir pingsan saat bertugas. Tanggung jawabnya sebagai ketua KPPS membuatnya berkeras hati untuk bertahan hingga penghitugan suara yang berakhir dinihari. Pada pukul 08.00, Rudi mengantar kotak suara ke GOR Kecamatan Matraman.
“Ketika hari pemilu, bapak bangun pukul 05.00 untuk mengambil logistik di kantor RW. Proses pemungutan suara baru selesai pukul 14.00. Itu masih berlanjut hingga esok hari,” kata Sukaesih, yang juga pernah menjadi anggota KPPS saat pilkada 2017.
Sukaesih mendapat kabar jika kondisi suaminya tidak sehat. Pada pukul 02.00, ia pergi ke TPS dan mengajak suaminya yang sudah pucat pulang untuk istirahat. Wakil ketua KPPS juga meminta Rudi untuk pulang dan memastikan bahwa kotak suara akan diantar ke GOR olehnya. Namun, Rudi tetap ingin menyelesaikan tugas dan pekerjaan sampai tuntas.
Ubah sistem pemilu 2019
Empat hari setelah pemungutan suara berakhir, kondisi fisik Rudi tidak lagi prima seperti beberapa hari sebelum pemilu 2019 berlangsung, ia lemas dan tidak nafsu makan hingga akhirnya meninggal dunia.
Bagi keluarga, kepergian Rudi menyisahkan kesedihan. “Bahkan kata ikhlas pun berat saya ucapkan, di hati ini seperti tidak menerima. Namun, semua kehendak Allah, kami hanya bisa berdoa. Kepergian bapak memiliki makna karena dia sudah menunaikan tugasnya,” ujar Sukaesih, yang merasa bangga dengan komitmen Rudi untuk terus bekerja agar pemilu 2019 berjalan lancar.
Sukaesih dan keluarga hanya berharap, pemilu 2019 membuka mata semua orang, terutama pemerintah dan penyelenggara pemilu, agar sistem pemilu ke depannya jauh lebih baik.
Hal ini juga disampaikan oleh Rio Isbat Vaicel (24), anggota KPPS TPS 108, Kelurahan Cijantung, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur. Ia menuturkan, Pemilu 2019 adalah kegiatan yang memilukan bagi bangsa Indonesia.
Menurutnya, sistem pemilu serentak dengan 5 surat suara dalam satu hari memaksa petugas bekerja sangat berat dan keras. Banyak petugas jatuh sakit bahkan meninggal dunia. Rio pun merasakan betapa letih menjadi petugas KPPS, sehingga ia harus terbaring sakit lima hari.
“Saya tidak pernah bangga menjadi menjadi petugas karena ini pemilu yang pilu Tidak ada nyawa yang harus hilang seperti ini. Sistem pemilu harus diubah. Pilunya lagi, orang sibuk berkelahi terkait kecurangan, menyebar berita hoaks, dan saling tuding hanya demi kekuasaaan. Jika seperti ini saya kapok jadi petugas pemilu lagi,” kata Rio.
Kata kapok yang ia lontarkan hanya bentuk kekesalannya. Ia sebenarnya masih ingin menjadi anggota TPS jika sistem pemilu berubah pada masa depan.
Dukungan pemerintah
Sementara itu, Ketua KPPS TPS 0127, Kelurahan Kebon Pala, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur, Ngadiman mengatakan, terkait banyaknya petugas KPPS yang meninggal dan sakit selama penyelenggaraan Pemilu, negara harus hadir baik secara moral dan material.
Ia mengatakan, santunan Rp 2 juta kepada keluarga dari petugas yang meninggal tidak sebanding dengan dedikasi dan kerja keras mereka.
“Di sinilah peran pemerintah harus hadir karena para petugas bekerja untuk negara. Harus pula memikirkan anak dan istri yang ditinggalkan,” kata Ngadiman.
Keprihatinan Ngadiman tidak hanya kepada yang meninggal, petugas yang jatuh sakit pun membuatnya sedih. Seperti, Sartono salah satu anggota KPPS-nya yang harus dirawat di rumah sakit karena muntah darah akibat keletihan.
Ngadiman menuturkan, Sartono tetap bekerja saat pemilu meskipun ia sangat keletihan. Ia dan anggota lainnya sudah mempersiapkan segala kebutuhan pemilu dan TPS sejak 15 April hingga selesai menyerahkan kotak suara ke kecamatan pada 18 April pukul 06.00.
“Kami yang masih sehat tidak perlu mendapatkan santunan. Kami bekerja ikhlas agar pemilu berlangsung lancar. Namun, tolong perhatikan keluarga yang ditinggal, beri perhatian kepada mereka,” tegasnya.
Sementara itu, Yanuar (40), Ketua RT 09 sekaligus anggota KPPS TPS 009, Kelurahan Pisangan Baru, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur, mengatakan, honor yang diterima di pemilu tidak sebesar saat Pilkada 2017.
Pemilu 2019, Ketua KPPS menerima Rp 550.000 dan anggota Rp 500.000. Sedangkan, saat Pilkada 2017, petugas mendapat Rp 800.000.
Meski upah yang diterima lebih kecil dan harus bekerja keras, Rio, Ngadiman, dan Yanuar, tidak pernah memikirkan hal tersebut. Yang terpenting bagi mereka adalah bekerja untuk menyukseskan gelaran pesta demokrasi. Mereka pun tidak jera untuk kembali menjadi petugas saat pemilu yang akan datang. Mereka hanya berharap, tidak ada lagi petugas yang harus meninggal dan jatuh sakit. Oleh karena itu, sistem pemilu perlu diperbaharui.
Sementara itu, Ketua KPU Jakarta Timur Wage Wardana mengatakan turut berdukacita atas meninggalnya Rudi dan berterima kasih atas dedikasi yang luar biasa dari kinerja Rudi.
Wage mengatakan, banyaknya petugas yang meninggal dan sakit membuat pihaknya akan menyiapkan tenaga medis di setiap PPK. Selain itu, Pemilu 2019 menjadi evaluasi. Ia pun berharap kejadian ini tidak terjadi lagi pada pemilu ke depan. ”Harapannya, pemilu ke depan tidak digabung seperti ini,” ujarnya.