Melawan Hoaks dengan Bukti Sejarah
Pemandu wisata pada Museum Sejarah Jakarta, Lulu Azizah (depan), dan anggota staf pendamping Tim Ahli Cagar Budaya atau TACB DKI Jakarta, Galih Abi, menyeberangi Kali Ciliwung di Kampung Tongkol, Kelurahan Ancol, Jakarta Utara, Jumat (29/3/2019).
Jika bukti hilang, kita kehilangan bukti sejarah sehingga semua informasi yang akan datang adalah hoaks.
(Candrian Attahiyat)
Secara kasatmata, sempadan Kali Ciliwung mulai dari utara Jalan Kunir, Jakarta, tidaklah menarik. Akses yang tersedia cuma jalan selebar 3,5 meter dari tanah yang penuh debu, tanpa aspal dan beton. Namun, benda dan material peninggalan era kolonial rupanya tersembunyi di sana. Berjalan kaki menyusurinya seperti menziarahi sepenggal riwayat Ibu Kota RI.
Galih dan Lulu menuruni tangga rapuh setinggi lebih kurang 3 meter menuju tanah lumpur di pinggir Kali Ciliwung, di sekitar Kelurahan Ancol, Jakarta Utara, Jumat (29/3/2019). Setelah kaki menapak tanah, mereka gamang untuk lanjut berjalan karena sebagian titik lumpur amat lembek. Jika terpeleset, air Kali Ciliwung siap ”menerkam”.
”Ayo, teruskan berjalan,” desak arkeolog Candrian Attahiyyat dari jalan inspeksi kali di atas mereka. Agar tidak dikira mengerjai, Candrian yang pada 4 September tahun lalu berusia 61 tahun ikut turun menggunakan tangga lain yang sama rapuhnya.
Ia merelakan lumpur kehitaman merendam sepatu kets hitamnya, padahal ia sudah sangat hati-hati memilih titik berpijak. Mau bagaimana lagi. Itu jalan satu-satunya untuk mencapai sebatang kayu berdiameter 40 sentimeter yang menancap di tanah pinggir kali.
Tonggak kayu besar itu peninggalan sejarah masa penjajahan bangsa Belanda yang secara mengejutkan berada di pinggir kali tanpa penanda ataupun perlindungan. Bahkan, mohon maaf, popok bekas pakai ”bertengger” di atas batang itu.
Tonggak kayu tersebut menjadi penanda bekas dermaga perahu bongkar muat material tertentu dari sebuah pabrik. Namun, Candrian belum mengetahui jenis bisnis dari pabrik tersebut. ”Foto udara tahun 1930 menunjukkan aktivitas (bongkar muat) itu,” ucapnya.
Galih yang merupakan anggota staf pendamping TACB DKI Jakarta serta Lulu, pemandu wisata pada Museum Sejarah Jakarta, dibuat kagum oleh beragam penjelasan Candrian. Mereka seakan berziarah di Ciliwung pada masa lalu, membayangkan era yang belum serba digital seperti sekarang.
Candrian memotori penziarahan tersebut, dan tonggak kayu tersebut bukan satu-satunya jejak sejarah yang mereka temui. Ini adalah artefak terakhir dari total empat benda serta struktur peninggalan masa penjajahan yang dijumpai pada hari Jumat itu setelah berjalan kaki sekitar 2 kilometer.
Perjalanan dimulai dari titik kumpul di dekat Museum Sejarah Jakarta, Jakarta Barat. Dari sana, Candrian mengajak Galih dan Lulu ke arah utara dan masuk ke Jalan Kunir, lalu berbelok ke timur.
Baru saja turun ke sempadan kali, arah utara dari Jalan Kunir, Candrian meminta Galih dan Lulu menengok ke bawah jembatan penghubung Jalan Kunir dan Jalan Kampung Bandan. Di sana, rupanya terdapat peninggalan berupa struktur fondasi jembatan lama dari era penjajahan. Inilah jejak sejarah pertama yang mereka jumpai dalam perjalanan.
Fondasi itu terbuat dari batu bata-batu bata, tetapi tidak terhubung dengan jembatan yang saat ini berfungsi. Menurut Candrian, jembatan kuno diperkirakan mulai dibangun pada awal abad ke-19 setelah Kota Batavia dibongkar.
Jembatan kuno itu diperkirakan mulai dibangun pada awal abad ke-19 setelah Kota Batavia dibongkar.
”Dulu wilayah VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda) hanya batas tembok kota. Begitu dibongkar, dia (penjajah) memperluas wilayah sehingga membutuhkan koneksi antara kawasan dalam tembok dengan luar tembok,” ujar Candrian.
Bangunan-bangunan di Kota Batavia dibongkar pada awal abad ke-19, semasa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels memerintah Hindia Belanda, sewaktu Belanda diduduki Prancis.
Pembongkaran bangunan itu lantaran Batavia terbukti menjadi kota yang gagal. Epidemi penyakit muncul di kota tersebut. Berkisar 2.000-3.000 orang mati pada tahun 1733, dan aliran air yang tersendat menjadi sarang nyamuk penular malaria. Material bekas pembongkaran digunakan Daendels untuk membangun pusat pemerintahan baru di Weltevreden (di masa sekarang, kawasan Lapangan Banteng dan sekitarnya).
Jalan kaki berlanjut ke arah utara. Mereka mendapati bangunan bedeng serta tumpukan sampah. Di balik tumpukan plastik dan karung teronggok balok kayu besar dengan simbol huruf ”S” pada ujungnya.
Setelah menyeberang dengan perahu eretan ke sempadan sisi barat, mereka menemukan kayu yang dijadikan landasan pot-pot tanaman juga punya penanda sama. Padahal, kayu-kayu ini bukan sembarang kayu, melainkan bantalan rel kereta yang diperkirakan dari akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Inilah peninggalan sejarah kedua.
Simbol S menunjukkan kayu itu warisan perusahaan kereta api pemerintah Hindia Belanda, Staatsspoorwegen atau SS, yang beroperasi dalam kurun waktu 1875-1925. Candrian menjelaskan, balok kayu itu merupakan bantalan khusus rel pada jembatan. SS menandai bantalan rel jembatan karena menggunakan kayu kualitas prima dibandingkan dengan bantalan rel nonjembatan.
”Kalau yang bertanda S hilang dan ada orang yang diketahui mengambil, itu dianggap subversi. Sebab, kayu itu paling kuat dan vital,” ujar Candrian.
Kalau yang bertanda S hilang dan ada orang yang diketahui mengambil, itu dianggap subversi. Sebab, kayu itu paling kuat dan vital.
Jembatan jalur kereta di sana masih digunakan untuk kereta rel listrik (KRL) jurusan Jatinegara-Kampung Bandan melintas. Sejumlah bantalan era kolonial pun masih difungsikan, terbukti dari adanya simbol S pada kayu bantalan di rel.
Jalan kaki diteruskan. Mereka melewati reruntuhan tembok Kota Batavia beserta sisa bangunan Graanpakhuizen atau kamar gandum VOC dekat Kampung Tongkol, Jakarta Utara. Namun, bukan itu yang mereka cari. Ketiganya lanjut menyeberang ke sisi timur kali dengan eretan.
Pada sudut Kali Ciliwung yang membelok 90 derajat ke arah barat, Candrian mengajak berhenti sejenak. Ia lantas menunjuk ke bangunan-bangunan di seberang kali. Di sana, sebelum menjadi bangunan seperti saat ini, terdapat benteng berbentuk segi empat bernama Kastil Batavia. Di setiap sudut benteng ada bastion (kubu pertahanan). Yang sedang mereka lihat adalah bekas bastion bernama Parel.
Namun, di area itu rupanya ada peninggalan yang tersisa di bantaran kali, di depan dinding turap yang menjorok ke arah air. Wujudnya berupa dinding turap kali yang terbuat dari susunan batu bata. Jaraknya sekitar 2 meter dari posisi dinding turap terbaru. Saat menelusuri Ciliwung lagi ke arah barat, struktur serupa ditemukan di sejumlah titik, pada kedua sisi kali.
Struktur dinding turap kali ini merupakan ”harta karun” ketiga yang ditemui Candrian, Galih, dan Lulu. Candrian mengatakan, penggunaan batu bata untuk dinding turap kemungkinan dimulai pada awal abad ke-19. Sebelumnya, agar sempadan kali tidak mudah longsor, penjajah menggunakan metode pemasangan cerucuk-cerucuk kayu di pinggir kali.
Perjalanan mereka kemudian berakhir setelah mencapai tonggak kayu dermaga perahu lama. Jejak peninggalan yang keempat inilah yang membutuhkan perjuangan lebih dari sekadar berjalan kaki. Tidak ada hadiah yang mereka temukan setelah turun dengan tangga rapuh, melewati lumpur yang becek, dan merelakan sepatu terendam, selain kisah sejarah yang atraktif karena jarang diungkap.
Lulu begitu antusias diajak Candrian blusukan mencari jejak sejarah yang tersembunyi di pinggir Ciliwung. Mahasiswi jurusan hubungan internasional di salah satu kampus swasta di Jakarta ini disegarkan lagi dengan berbagai pengetahuan baru yang didapat dari perjalanan selama sekitar 2,5 jam.
Contohnya, kayu-kayu yang oleh penduduk sekitar diperlakukan secara tidak berharga, ternyata dulunya merupakan material vital bagi pemerintah kolonial. ”Waktu kami di bawah rel kereta, saya baru tahu, kami berada di bawah jalur kereta rel listrik pertama di Jakarta, bahkan di Indonesia,” ujar Lulu.
Waktu kami di bawah rel kereta, saya baru tahu, kami berada di bawah jalur kereta rel listrik pertama di Jakarta, bahkan di Indonesia.
Bukan hanya bagi Lulu. Galih yang menekuni studi arkeologi di universitas sekalipun juga mendapatkan kebaruan-kebaruan dari penziarahan di pinggir Ciliwung. Sebelumnya, ia skeptis Jakarta punya banyak peninggalan sejarah yang berharga dan belum terungkap, layaknya di Jawa Tengah, Jawa Timur, ataupun Jambi.
”Ternyata, peninggalan mulai dari abad ke-17 sampai ke-20 ada semua di Jakarta. Tersimpan, tetapi terbengkalai,” ucapnya.
Informasi dari Candrian serta kunjungan ke lapangan bermanfaat bagi Galih yang dalam pekerjaannya saat ini fokus pada kajian penetapan cagar budaya DKI. Ia bakal memetakan lagi dan mendokumentasikan sebanyak mungkin peninggalan-peninggalan yang selama ini tersembunyi.
Bagi Candrian, merawat peninggalan-peninggalan para penjajah bukan berarti pro kolonialisme. Peninggalan tersebut memang menunjukkan Indonesia pernah dijajah, tetapi juga menunjukkan Indonesia pernah melawan penjajah dan berusaha merdeka.
”Jika bukti hilang, kita kehilangan bukti sejarah sehingga semua informasi yang akan datang adalah hoaks,” kata Candrian.
Penziarahan akan berlanjut ke sudut-sudut lain di Jakarta untuk mengungkap penggalan-penggalan riwayat Sang Ibu Kota yang belum tersingkap.