Kehadiran China di Laut China Selatan semakin intensif dan agresif. Konflik terbaru terjadi pekan lalu antara Manila dan Beijing terkait “pengepungan” Pulau Thitu atau Pagasa yang berada dalam teritori Filipina oleh lebih dari 200 kapal nelayan China sejak Januari 2019.
Presiden Filipina Rodrigo Duterte menyiapkan “misi bunuh diri” militernya di Pagasa jika kapal nelayan China tidak mundur dari pulau itu. (Kompas.id, 5/4/2019) Ia meradang karena kapal-kapal itu melanggar kedaulatan Filipina.
Sebelum dengan Manila, Beijing juga bersitegang dengan Hanoi. Pada 22 Maret 2019, Hanoi memprotes Beijing setelah kapal ikan Vietnam ditenggelamkan kapal patroli maritim China di dekat Pulau Da Loi di Paracel pada 6 Maret (Reuters, 22/3/2019). Di Laut China Selatan, Beijing juga bersengketa dengan Malaysia, Brunei, dan Taiwan. Konflik China-Filipina menunjukkan, ketegangan di Laut China Selatan masih jauh dari selesai, bahkan eskalasinya meningkat.
Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengatakan, China "telah menghentikan atau menyelesaikan reklamasi pulau" yang dikuasainya di Laut China Selatan pada 2015. Namun, kenyataannya China terus membangun infrastruktur di tujuh pulau di Kepulauan Spratly. Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang berbasis di Washington DC mengatakan, China juga mereklamasi pulau di Paracel, utara Spratly. Klaim Wang “tak benar” dan reklamasi China “tidak berakhir pada pertengahan 2015,” kata laporan itu.
Langkah paling agresif ialah rencana China membangun “kota pulau” demi mengawasi pulau-pulau yang diklaimnya di Laut China Selatan. Tampaknya, untuk mewujudkan “kota pulau” itulah reklamasi besar-besaran atol yang disengketakan dimulai dengan serius pada akhir 2013.
Terkait rencana ini, Pulau Woody dan dua pulau kecil yang dikenal sebagai Tree dan Drummond bakal disulap menjadi “basis strategis dan logistik nasional,” kata Zhang Jun, Sekretaris Partai Komunis Unit Administrasi Sansha di Paracel (Asia Times, 26/3/2019).
Langkah paling agresif ialah rencana China membangun “kota pulau” demi mengawasi pulau-pulau yang diklaimnya di Laut China Selatan.
Belum jelas apakah “kota pulau” akan mencakup fasilitas militer terbuka. Namun, rencana “kota pulau” itu menandai fase ekspansi baru dalam mengisi fitur jarak jauh China. Skema ini diyakini sebagai langkah lanjutan rencana multi-fase China untuk mendeklarasikan zona pengecualian Laut China Selatan, termasuk Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ), yang akan secara efektif mengubah perairan internasional menjadi perairan internal China.
Sengketa teritorial antara China dan negara-negara tetangganya itu juga merupakan salah satu masalah paling rumit dalam hubungan China-AS. Namun, Beijing terus menggelar serangkaian kampanye, strategi, dan taktik untuk mewujudkan ambisinya mengendalikan Laut China Selatan.
Di tengah meningkatnya kecaman terhadap militerisasi China di kawasan, Beijing menegaskan, China akan bertindak lebih keras terhadap kapal-kapal angkatan laut asing yang melintasi Laut China Selatan.
Di sisi lain, negara-negara yang berkonflik berusaha mengadopsi pendekatan non-konfrontasi dengan harapan bisa mendapatkan dana infrastruktur, perdagangan, dan investasi China, seperti dilakukan Filipina. Namun, ini justru jadi celah China memperkuat klaimnya lewat kombinasi diplomasi dan intimidasi.