Pendamping Andal Kebutuhan Penerima Perhutanan Sosial
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendamping andal menjadi pekerjaan rumah berikutnya bagi program perhutanan sosial agar mendatangkan manfaat secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Pendampingan akan proses produksi, administrasi, akses modal, dan jangkauan pasar dibutuhkan kelompok usaha perhutanan sosial agar izin pengelolaan kawasan hutan tersebut menghasilkan keuntungan dan menjembatani ketimpangan ekonomi masyarakat sekitar hutan.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan, dari jumlah 5.572 izin perhutanan sosial, sejumlah 5.245 izin yang penerimanya membentuk kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS). Dari jumlah ini baru empat persen (188 unit) yang memiliki unit usaha, memasarkan produk, dan memiliki pasar nasional hingga internasional. Mereka dikelompokkan pada kategori emas dan platinum.
Setingkat di bawahnya adalah kategori perak, yaitu telah menyusun rencana kerja usaha (RKU) dan menjalankan kegiatan usaha mencapai 33 persen (1.712 unit). Sebagian besar atau 63 persen di antaranya belum menyusun RKU.
“Melihat data ini maka tugas pengembangan usaha pasca izin untuk meningkatkan kelas KUPS perlu terus menerus didorong dengan melibatkan para pihak,” kata Bambang Supriyanto, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jumat (5/4/2019) di Jakarta, dalam acara "Ngobrolin Hutan Sosial".
Ia mengatakan, RKU ini bisa digunakan penerima izin perhutanan sosial untuk mengakses permodalan keuangan melalui kredit usaha rakyat (KUR) maupun badan layanan umum (BLU). Selain itu, dokumen ini pun bisa ditawarkan kepada perusahaan untuk mendapatkan bantuan dalam program tanggungjawab perusahaan (CSR).
RKU ini bisa digunakan penerima izin perhutanan sosial untuk mengakses permodalan keuangan melalui kredit usaha rakyat (KUR) maupun badan layanan umum (BLU).
“Ketika rencana bisnis atau RKU dibuat dengan pengembangan komoditas perkebunan atau perikanan bisa digunakan untuk mengakses dana,” kata dia.
Namun untuk menyusun RKU, diakui Bambang, masyarakat desa di sekitar hutan masih memiliki keterbatasan sumber daya manusia. Mereka membutuhkan tenaga pendamping yang andal serta bisa mempertemukan kepada akses pasar.
Pendamping andal itu tampak dari kinerja KUPS yang bisa mengakses permodalan dan meraih pasar. Mengingat pentingnya peran pendamping, ia membuka kesempatan bagi elemen masyarakat mana pun untuk mendampingi masyarakat.
“Orang dari pemerintah daerah, akademisi, peneliti, organisasi masyarakat (NGO), boleh jadi pendamping. Nanti ada modulnya,” kata dia.
Tosca Santoso, penulis buku Lima Hutan, Satu Cerita yang juga mendampingi masyarakat Sarongge di Cianjur, mengatakan, pendamping masyarakat memerlukan passion (panggilan hati). Ini karena pendampingan ke masyarakat membutuhkan kesabaran dan komunikasi yang baik.
Pemberian insentif untuk operasional pendamping ke lapangan, kata dia, apabila bisa difasilitasi pemerintah akan lebih baik. Selain itu, lanjutnya, pemerintah bisa mengerahkan pendamping dari para penyuluh kehutanan maupun pendamping desa untuk mendampingi masyarakat penerima izin perhutanan sosial. Apalagi, menurut Dirjen Bambang Supriyanto, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi telah merestui penggunaan dana desa untuk pengelolaan perhutanan sosial.
Passion itu pun dibutuhkan agar negosiasi berorientasi pada keuntungan masyarakat maupun keseimbangan alam. Ia mencontohkan pada penerima izin perhutanan sosial di daerah dampingannya di Desa Pakuwon, Cianjur, Jawa Barat, menggunakan model Kulinkaka atau Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan.
Di situ, kelompok masyarakat bekerjasama dengan Perhutani untuk mengakses kawasan hutan tanpa membayar pajak tanah. Tetapi masyarakat dan Perhutani membagi hasil pengelolaan area tersebut.
Komposisi pembagian keuntungan minimal 70 persen untuk warga. Tetapi di Pakuwon, “Dengan Perhutani 80:20 untuk keuntungan kopinya. Untuk wisata malah 100 persen untuk masyarakat”.
Saat ini, kawasan hutan seluas 2.613.408,84 ha telah diakses 656.569 kepala keluarga dalam berbagai model perhutanan sosial. Lokasi-lokasi hutan sosial ini diharapkan dapat menjadi pusat-pusat pertumbuhan perekonomian lokal berbasis pengelolaan sumberdaya hutan dan menjaga hutan tetap lestari.
Valuasi ekonomi
Bambang Supriyanto mengatakan, valuasi ekonomi yang dilakukan pakar telah dilakukan untuk melihat dampak perhutanan sosial bagi masyarakat. Meski laporan valuasi tersebut akan diluncurkan pekan depan, ia menyebutkan perhutanan sosial di Lampung menghasilkan pendapatan rata-rata Rp 28 juta per tahun atau sekitar Rp 2,3 juta per keluarga atau Rp 583.000 per kapita (dengan asumsi satu keluarga terdiri empat jiwa).
Perhutanan sosial di Lampung menghasilkan pendapatan rata-rata Rp 28 juta per tahun atau sekitar Rp 2,3 juta per keluarga atau Rp 583.000 per kapita.
“Kalau dibandingkan data statistik kan kemiskinan Rp 400.000 per kapita, maka perhutanan sosial sudah mengentaskan kemiskinan,” kata dia.
Ia mengatakan pada tahun 2019 ini pihaknya optimistis luas perhutanan sosial mencapai lebih dari 4,3 juta hektar seperti yang dijanjikan Menteri LHK Siti Nurbaya. Target 4,3 juta hektar ini diturunkan beberapa waktu lalu dari target awal 12,7 juta hektar.
Dari upaya direktoratnya melalui APBN, ia yakin seluas 1 juta hektar perhutanan sosial akan terhimpun pada tahun ini. Selain itu, pada 2019, terdapat sekitar 472.000 hektar hutan adat yang diluncurkan Menteri Siti Nurbaya.
Jumlah ini ditambah dari taman-taman nasional yang memiliki zona pemanfaatan tradisional berupa kemitraan konservasi. “Dari Pak Wiratno (Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK) seluas 1,1 juta hektar. Sudah ada dari (TN Danau) Sentarum dan nanti Leuser serta daerah lain,” kata dia.
Totalnya, pada akhir 2019, capaian perhutanan sosial bisa mencapai 5,2 juta hektar. Rinciannya, jumlah eksisting tahun ini 2,6 juta hektar ditambah perolehan direktoratnya seluas satu juta hektar, ditambah hutan adat 472.000 hektar, dan kemitraan konserasi seluas 1,1 juta hektar.