Kegagalan Sensor Jadi Pemicu Kecelakaan Ethiopian Airlines
Oleh
Kris Razianto Mada
·3 menit baca
ADDIS ABABA, JUMAT — Kegagalan sensor membaca keadaan sekitar diduga menjadi penyebar Boeing 737 MAX 8 yang dioperasikan Ethiopian Airlines jatuh dan menewaskan semua orang di dalamnya. Boeing mengakui kegagalan itu.
Informasi itu bagian dari hasil awal penyelidikan tentang kecelakaan pada 10 Maret 2019 itu. Kementerian Transportasi Etiopia mengumumkan hasil awal penyelidikan, Kamis (4/4/2019) sore waktu Addis Ababa atau Jumat dini hari WIB.
Laporan awal yang diumumkan Etiopia berdasarkan data penerbangan dan rekaman suara kokpit dalam pesawat tersebut. Dalam laporan itu disebut kegagalan sensor memicu serangkaian kejadian yang mengakibatkan pilot kehilangan kendali pada pesawat. Laporan oleh Biro Penyelidik Kecelakaan Pesawat Etiopia menyatakan, masalah sensor dimulai semenit setelah pesawat lepas landas.
Sensor kiri dan kanan pesawat membaca kecepatan dan ketinggian secara berbeda. Hal itu memicu masalah kendali penerbangan. Akhirnya, pilot tidak bisa mencegah pesawat menukik sehingga kecelakaan yang menewaskan 157 orang itu terjadi.
Sejumlah pihak menyebut pola serupa terjadi pada Boeing 737 MAX 8 yang dioperasikan Lion Air dan jatuh pada Oktober 2018. Seperti dalam kecelakaan Ethiopian Airlines, semua orang dalam penerbangan dari Jakarta tujuan Pangkal Pinang itu tewas.
Menteri Transportasi Etiopia Dagmawit Moges mengatakan, pilot sudah melakukan semua prosedur yang disarankan Boeing sebelum kecelakaan itu. Bahkan, prosedur dilakukan berulang kali. Namun, tetap saja pilot tidak bisa mengendalikan pesawat dan akhirnya kecelakaan terjadi.
Pilot dilaporkan mematikan perangkat lunak pembaca sensor, dikenal sebagai MCAS, untuk menstabilkan pesawat. Akan tetapi, mereka mengaktifkan lagi MCAS 32 detik sebelum pesawat menabrak tanah dan mereka gagal menaikkan hidung pesawat. Dalam prosedur standar yang dibagikan Boeing, pilot diinstruksikan mematikan MCAS dan terbang secara manual.
Dalam laporan itu disebutkan, alarm mati saat pilot berusaha mengendalikan pesawat. Hal itu mengindikasikan, masalah lebih serius dibandingkan kecelakaan Lion Air. ”Mungkin (kecelakaan Lion Air dan Ethiopian Airlines) mirip, tetapi bisa lagi (kecelakaan Ethiopian Airlines) lebih mengerikan. Sepertinya mereka mendapat lebih banyak masalah dalam waktu lebih singkat,” kata pakar keselamatan di Universitas Dirgantara Embry Riddle, William Waldock.
Pilot Ethiopian Airlines dalam penerbangan itu punya 159 jam terbang dengan 737 MAX. Di luar itu, pilot punya lebih dari 8.000 jam terbang dengan aneka pesawat, termasuk 1.400 jam terbang dengan seri 737 lainnya.
Dalam pernyataan terpisah, CEO Boeing Dennis Muilenburg mengakui kesalahan fungsi sensor itu. Boeing sedang mengupayakan perbaikan perangkat lunak untuk mencegah insiden serupa pada masa mendatang. ”Tanggung jawab kami untuk mengurangi risiko. Kami punya itu dan tahu bagaimana melakukannya,” ujarnya.
Penyelidik Etiopia meminta Boeing mengkaji ulang sistem kendali penerbangan. Mereka juga merekomendasikan kepada otoritas penerbangan agar semua masalah terkait itu dibereskan sebelum Boeing 737 MAX diizinkan terbang lagi. Kini, semua pesawat seri itu dilarang terbang di sejumlah negara. Bahkan, sejumlah negara melarang pesawat seri itu melewati wilayah udaranya. (AP/REUTERS)