Mana (64) sedang berpikir keras. Di tengah lahan Kampung Apung yang terendam genangan air, ia berusaha mencari cara agar bangunan musala di lingkungannya dapat diperluas.
Tidak ada pilihan bagi Mana selain memanfaatkan halaman belakang musala. Walau tergenang air, dipenuhi sampah serta puing bangunan, ia pikir kondisi itu bisa diakali dengan membangun semacam rumah panggung.
"Ya, sepertinya bagian belakang (musala) masih bisa dibangun. Mungkin nanti kita coba tancapkan pasak untuk fondasi bangunannya," kata Mana, dengan setengah yakin.
Musala Nurul Hikmah itu hanyalah satu dari puluhan bangunan yang berdiri di lahan genangan Kampung Apung sejak puluhan tahun lalu. Lebih dari dua dekade, puluhan rumah di kawasan Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat itu terendam genangan air hingga menyisakan bangunan pada lantai dua saja.
Kondisi genangan tersebut seakan sudah menjadi bagian dari kehidupan warga. Pada Minggu (31/3/2019) sore, misalnya, sekumpulan anak dengan asyiknya bermain di jalan setapak penghubung kampung menuju Jalan Raya Kapuk.
Orang tua yang melihat anak-anak bermain di jalan setapak itu tidak tampak khawatir sama sekali. Padahal, Ketua RT 010 RW 001 Kapuk, Rudi Suwandi, mengatakan, beberapa tahun lalu sudah ada dua anak yang tenggelam karena luput pengawasan orang tua.
"Saking sudah menjadi rutinitas, warga jadi seperti sudah biasa. Anak-anak pun sudah selalu diingatkan," ucap Rudi.
Rudi masih ingat betul bagaimana kawasan itu mulai digenangi air pada pergantian tahun 1995 menuju 1996. Saat itu, Kampung Apung sudah mulai \'menabung\' genangan sedikit demi sedikit.
"Dulu mulai ada genangan sekitar 20 centimeter, tetapi empat bulan sampai lima bulan kemudian surut. Tiap tahun terjadi pola yang sama, sehingga tinggi genangan meningkat dan tidak sempat surut," kata Rudi.
Kini, Rudi memperkirakan genangan itu dalamnya sekitar dua hingga tiga meter, mungkin lebih. Kali ini, genangan itu tampak lebih kotor karena seluruh saluran pembuangan rumah mengendap di genangan Kampung Apung.
Sengaja diciptakan
Djurih (61), tokoh masyarakat yang tinggal di sana sejak 1958, merasa bahwa kondisi Kampung Apung saat ini seperti sengaja diciptakan. Pabrik yang mengapit kampung tersebut, seluruhnya meninggikan permukaan lantai.
"Daerah sekitar kampung ini, seluruhnya diuruk jadi lebih tinggi. Kampung ini jadi seperti mangkuk yang diisi air," tuturnya.
Genangan yang mengendap, menurut Djurih, juga disebabkan oleh adanya urukan yang menutupi saluran besar di kawasan Kampung Apung. Protes ke pemerintah pun ia rasa percuma, karena beberapa kali rencana penataan tak kunjung terlaksana.
Tahun 2011, Pemerintah provinsi DKI Jakarta mengucurkan dana Rp 14,75 miliar untuk membangun rumah pompa dan jaringan saluran air. Tahun 2013, dikucurkan lagi dana sebesar Rp 12,5 miliar untuk mengeruk, membersihkan, dan memperbaiki jaringan saluran. (Kompas, 25 November 2014)
Kepala Suku Dinas Perumahan Rakyat dan Permukiman Kota Jakarta Barat Suharyanti, mengatakan, sulit untuk mencari solusi bagi Kampung Apung. Sebab, mereka ingin kawasannya dibenahi, tetapi di satu sisi mereka tidak ingin direlokasi.
"Saya pikir, jalan terbaik untuk pembenahan itu adalah relokasi. Lagipula, kawasan itu sulit dibenahi karena bentuk cekungan yang menampung genangan air," kata Suharyanti.
Enggan direlokasi
Djurih yang juga mewakili warga, menyampaikan bahwa relokasi adalah keputusan yang janggal. Sebab, warga merasa menempati hak tanah yang sah secara kepemilikan. Tidak ada alasan bagi mereka untuk pindah dari rumah tersebut.
"Keputusan relokasi rasanya terdengar aneh sekali. Kami, kan, bukan warga yang tinggal di bantaran kali sehingga harus digusur," tutur Djurih.
Tahun demi tahun, rencana pembenahan dari pemerintah semakin tidak terdengar. Rumah warga di Kampung Apung pun kian tergenang. Sementara itu, Djurih bersama warga berusaha menguruk sendiri lahan mereka di tengah genangan.