Meskipun tren kecelakaan pesawat udara terus menurun, secara "kualitas" kecelakaan moda transportasi ini belum bisa dikatakan membaik. Pesawat dengan teknologi termutakhir juga belum tentu menjamin penerbangan sipil bebas dari kecelakaan. Insiden berisiko tinggi yang terjadi pada pesawat berteknologi baru, pada akhirnya juga menimbulkan kerugian tinggi bagi bisnis maskapai dan konsumen.
Sebelum tahun 2015, jumlah korban tewas akibat kecelakaan fatal rata-rata lebih dari 300 jiwa setahun dengan jumlah kejadian kecelakaan bervariasi mulai dari kisaran 90 kali hingga lebih dari 100 kali. Namun, pada tahun 2016 dan 2017 intesitas kecelakaan turun menjadi kurang dari 90 kali per tahun dengan jumlah korban tewas tidak lebih dari 200 jiwa per tahun.
Bahkan, pada tahun 2017 korban meninggal akibat kecelakaan pesawat hanya berkisar 50 orang. Oleh sebab itu, lembaga organisasi penerbangan sipil dunia, International Civil Aviation Organization (ICAO), menobatkan tahun 2017, sebagai tahun paling aman dalam sejarah penerbangan sipil.
Namun, pada 10 Maret 2019, terjadi kecelakaan pesawat Ethiopian Airlines ET 302 jurusan Ethiopia-Kenya, tidak lama setelah pesawat lepas landas dari bandara. Pesawat menghujam ke bumi hanya sekitar 6 menit setelah take off dari Bandara Bole, Addis Ababa, Ethiopia. Seluruh penumpang pesawat sebanyak 157 orang dinyatakan tewas.
Menariknya, musibah itu juga melibatkan pesawat Boeing jenis terbaru, yakni B 737 Max 8 yang sama persis jatuh di Indonesia. Selain usia pesawat yang tergolong masih baru, jatuhnya kedua pesawat itu juga dalam fase mengudara setelah lepas landas dari bandara.
Khusus kecelakaan di Indonesia yang terjadi pada Oktober 2018 yang melibatkan pesawat Lion Air PK-LQP JT 610 Jurusan Jakarta-Pangkal Pinang sangat menyita perhatian dunia aviasi baik nasional ataupun internasional.
Pasalnya, musibah pesawat jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat itu melibatkan Boeing tipe terbaru yang usia pengoperasiannya kurang dari satu tahun. Boeing 737 Max 8 merupakan pesawat versi mutakhir dari varian Max yang merupakan pengembangan lebih lanjut dari Boeing 737 seri 800 dan 900.
Max 8 ini menurut situs boeing.com merupakan pesawat komersil yang fitur-fiturnya lebih cangging serta diklaim mampu terbang 7,5 jam nonstop tanpa isi bahan bakar. Selain irit bahan bakar, pesawat ini juga di klaim antistall, atau jatuh karena sudut kemiringan terlalu ekstrim saat lepas landas sehingga pesawat kehilangan daya dorong.
Insiden Berisiko Tinggi
Teknologi mutakhir itu nyatanya tidak menutup peluang terjadinya kecelakaan. Kasus jatuhnya Lion Air itu saat pesawat sedang menanjak pascalepas landas dalam kondisi cuaca yang cerah. Sekitar 13 menit mengudara meninggalkan Soekarno Hatta, pesawat hilang kontak di sekitaran perairan Karawang. Hasil penyelidikan Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), salah satunya menyatakan pilot Lion Air kesulitan mengendalikan pesawat yang menukik beberapa kali.
Terdapat kerusakan pada sensor angle of attact (AOA) dan sistem otomatisasi Boeing 737 Max yang tidak diketahui oleh pilot dan kopilot. Dari data penerbangan tampak ketinggian pesawat sebelum jatuh naik-turun tidak stabil saat menanjak setelah take off.
Data International Civil Aviation Organization (ICAO) tahun 2017 menunjukkan, separuh lebih dari penyebab kecelakaan pesawat secara keseluruhan disebabkan faktor yang dikategorikan “high risk”. Pada kasus pesawat yang mengalami kecelakaan, delapan dari sepuluh kecelakaan yang terjadi lebih juga disebabkan faktor high risk.
Menurut ICAO, kecelakaan pesawat Max 8 di kedua negara itu termasuk dalam kategori lost control in flight (LOC-I). Kasus insiden ini tergolong kasus berisiko tinggi yang berpotensi menjadi kecelakaan fatal. Kasus kecelakaan berisiko tinggi dalam dunia penerbangan berkaitan dengan tiga hal, yakni di runway, lost control in flight, dan control flight into terrain (CFI-T).
Adapun menurut FAA kecelakaan kedua pesawat jenis Max 8 di Indonesia dan Ethiopia itu diduga memiliki kemiripan. Hidung pesawat tiba-tiba menukik cukup curam ke bawah pada saat posisi kritis (lepas landas) dan pilot tidak mampu mengendalikan pesawatnya sehingga terjatuh.
Sementara, KNKT mengindikasikan insiden Lion Air PK-LQP JT 610 terjadi karena adanya kesalahan sensor Angle of Attact (AOA) yang menyebabkan stabilizer pesawat mendorong hidung pesawat ke arah bawah secara otomatis. Sensor AOA atau Manuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) berfungsi mendeteksi sudut yang dibentuk dari naik-turunnya moncong pesawat dengan arah gerak pesawat. MCAS itu berperan agar pesawat tidak stalling. Sayangnya, sistem canggih ini pula yang diduga sebagai biang keladi kecelakaan Max 8.
Tingginya Kerugian
Menurut situs Boeing.com, pesawat jenis Boeing 737 Max adalah tipe pesawat yang sangat cepat penjualannya dalam sejarah perusahaan Boeing. Akumulasi penjualan saat ini sekitar 5.000 pesanan dari pelanggan di seluruh dunia yang lebih dari 100 perusahaan. Jenis Max ini terbagi dalam beberapa subtipe lagi, yakni Max 7, Max 8, Max 9, dan Max 10. Semakin besar angka serinya semakin besar kapasitas dan dimensi pesawatnya.
Berdasarkan situs tersebut, terlihat ada dua perusahaan dari Indonesia yang turut memesan Max 8, yakni Lion Air dan Garuda Indonesia. Pada November 2012, Lion Air memesan 201 unit B 737 Max berbagai seri dan 29 unit Next Generation B 737 seri 900. Sedangkan untuk Garuda Indonesia memesan 50 unit B 737 Max 8 senilai 4,9 miliar dollar AS pada Oktober 2014. Pemesanan yang dilakukan Lion Air adalah order terbesar bagi Boeing untuk pesawat jenis komersial.
Sebagai pelanggan dengan pembelian terbanyak di dunia dan sebagai maskapai pertama di Asia yang berkomitmen pada pesawat 737 Max, ternyata Lion Air juga menjadi maskapai pertama yang mengalami insiden kecelakaan dengan pesawat baru tersebut.
Jatuhnya Lion Air dan Ethiopian Airline seakan-akan menjadi gejolak yang memicu munculnya keresahan bagi maskapai penerbangan dan otoritas keselamatan penerbangan dunia untuk melakukan investigasi. Selain grounded, pemesanan pesawat Boeing jenis Max juga mengalami penundaan. Sejumlah maskapai dunia melakukan penundaan pengiriman pesawat jenis Max yang dipesan.
Demikian juga dengan Garuda Indonesia dan Lion Air, menurut Kementerian Perhubungan pada 21 Maret 2019, kedua maskapai domestik Indonesia ini bersikap untuk menunda pengiriman Max 8 yang sudah dipesan hingga terdapat kejelasan terkait kecelakaan yang terjadi. Dapat dibayangkan, pesawat yang mengalami insiden dengan kriteria berisiko tinggi akhirnya juga menimbulkan kerugian tinggi bagi bisnis maskapai dan konsumen. (Budiawan Sidik/Litbang Kompas)