SERANG, KOMPAS - Koperasi dilibatkan dalam penyaluran pembiayaan ultramikro untuk mempercepat terwujudnya keuangan inklusif. Skema pembiayaan ini diyakini mampu meningkatkan produktivitas pelaku usaha mikro sebagai penopang ekonomi nasional.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, program pembiayaan ultramikro kini melibatkan koperasi sehingga daya jangkau penyaluran bisa lebih luas. Koperasi bisa bekerjasama dengan lembaga atau penyedia jasa yang ditunjuk Kementerian Keuangan untuk menyalurkan pembiayaan ultramikro.
Pembiayaan ultramikro ini berbeda dengan kredit usaha rakyat (KUR) karena tidak ada agunan untuk kelompok tertentu. Seluruh pembiayaan ultramikro berasal dari APBN, sedangkan KUR dari subsidi bunga. Untuk itu, prosedur pinjaman melalui Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang bisa berkolaborasi dengan koperasi.
"Mereka (LKBB) bisa berkoordinasi dan berkolaborasi dengan koperasi-koperasi yang bergerak langsung ke masyarakat. Di sini lah, biasanya koperasi langsung menyalurkan dengan skemanya sendiri," kata Sri Mulyani dalam kunjungan kerja ke kampung pojok, Desa Sindangsari, Serang, Banten, Jumat (15/3/2019).
Pembiayaan ultramikro berbeda dengan kredit usaha rakyat (KUR) karena tidak ada agunan untuk kelompok tertentu. Seluruh pembiayaan ultramikro berasal dari APBN, sedangkan KUR dari subsidi bunga.
Sri Mulyani berharap, LKBB sebagai penyalur pembiayaan ultramikro ikut mendukung koperasi. Mereka bisa memberi pendampingan teknis bagi koperasi yang belum mapan atau baru didirikan. Keterlibatan koperasi akan membuat penyaluran lebih efektif karena mereka berinteraksi langsung dengan masyarakat.
Pemerintah menargetkan Rp 1,4 triliun untuk pembiayaan usaha ultramikro pada 2019. Sejak diluncurkan pertengahan 2017, pembiayaan ultramikro yang sudah tersalurkan Rp 2,1 triliun kepada 846.572 pelaku usaha sampai tahun 2018.
Sasaran pembiayaan ultramikro ini adalah masyarakat yang baru memulai usaha atau membutuhkan modal usaha maksimal Rp 10 juta, serta belum terafiliasi dengan fasilitas perbankan. Jangka waktu cicilan kurang dari 52 minggu.
Sri Mulyani menuturkan, bunga pinjaman yang ditanggung pelaku usaha mikro cukup rendah, berkisar 6-7 persen, tergantung kebijakan koperasi. Adapun bunga pinjaman yang ditetapkan Kemenkeu untuk LKBB berkisar 2-4 persen.
"Perbedaan itu (cicilan bunga) akan dipakai koperasi untuk kembali ke anggotanya lagi, atau untuk memperkuat keuangan internal," kata Sri Mulyani.
Contoh Koperasi
Dari data Kemenkeu, saat ini LKBB yang bekerja sama dengan pemerintah adalah PT Pegadaian (Persero), PT Permodalan Nasional Madani (Persero), PT Bahana Artha Ventura, dan 18 koperasi yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.
Salah satu koperasi yang menyalurkan pembiayaan ultramikro adalah Koperasi Abdi Kerta Raharja di Kabupaten Serang, Banten. Anggota koperasi yang memanfaatkan pembiayaan ultramikro berjumlah 7.606 pelaku usaha.
Tuti Alawiyah, manajer Koperasi Abdi Kerta Raharja, menuturkan, pembiayaan ultramikro banyak diminati karena cicilan terjangkau. Pinjaman pun diberikan berjangka mulai dari Rp 2 juta sampai Rp 10 juta sesuai kepatuhan anggota. Pada 2018, koperasi menyalurkan pembiayaan ultramikro sebesar Rp 15 miliar.
"Pembiayaan ultramikro tanpa agunan dan bisa dibilang tanpa risiko. Itu tercermin dari rasio kredit macet koperasi yang hanya 0,3 persen," ujar Tuti.
Sri Sulastri (40), salah satu pedagang jamu, yang mendapat pembiayaan ultramikro merasa terbantu. Pinjaman yang dia ajukan sebesar Rp 2 juta dan dicicil selama 25 minggu. Cicilan per minggu sebesar Rp 92.100 termasuk biaya koperasi. Selain jualan jamu, pinjaman digunakan untuk biaya sekolah.
"Dulu bingung pinjam uang kemana karena harus pakai jaminan, suami saya sudah meninggal," kata Sri yang baru menjadi anggota koperasi tujuh bulan.
Kemenkeu menyebutkan, dana yang disalurkan untuk pembiayaan ultramikro di Provinsi Banten mencapai Rp 90,5 miliar kepada 32.538 usaha mikro. Kabupaten Serang menempati peringkat kedua, setelah Kabupaten Tengerang, yang paling banyak menerima pembiayaan ultramikro.