Semangat Kolektif Membangun Kota
Siapa bisa lupa julukan ”Planet Bekasi” dan segala olok-olok terhadap daerah yang berdiri di atas dua wilayah administratif itu? Hampir lima tahun lalu, sebutan itu muncul, menyebar, dan melekat dalam ingatan masyarakat sebagai lelucon yang menjatuhkan. Namun, siapa sangka pula bagi sebagian orang olok-olok itu justru menjadi pemantik kebangkitan semangat kolektif untuk membangun kebanggaan atas kota yang autentik.
Ratusan lampu gantung masih menyala di halaman samping Kedutaan Besar Bekasi (Kedubes) di Jalan Jatikramat Raya, Jatiasih, Kota Bekasi, Jawa Barat, Minggu (10/3/2019) malam. Cahaya temaram lampu-lampu itu menerangi panggung musik yang dikelilingi deret meja dan kursi yang penuh oleh sekumpulan anak muda. Cahaya itu juga menjadi saksi kemeriahan penampilan grup musik indie dan para penikmatnya yang masih bersemangat hingga waktu menunjukkan pukul 23.00.
Di areal yang luasnya sekitar 1.000 meter persegi itu terdapat aneka pernak-pernik bernuansa Bekasi. Misalnya, di pintu kantin terdapat kampanye soal makanan spesial, ”Gabus Pucung, makanan khas Bekasi yang terancam”. Tidak jauh dari panggung, berdiri lempengan besi hijau tua berukuran sekitar 3 x 4 meter yang bertuliskan ”Paspor”. Pada karya instalasi gigantik itu juga terdapat lambang golok dan padi serta identitas Kedubes.
Dwi Triana Fatma Suri (24), pegiat Kedubes, mengatakan, sudah sejak 2013 komunitas seni dan budaya itu meneguhkan identitas Bekasi sebagai identitas kelompok. Mulanya memang karena markas mereka berada di Kota Bekasi yang berbatasan dengan Jakarta Timur.
Minimnya ruang publik untuk kreativitas anak muda pun mendorong mereka membangun ruang untuk mewadahi aktualisasi pemuda setempat. Namun, motif itu semakin menguat pada pertengahan hingga akhir 2014 ketika kota asal mereka itu menjadi ejekan warganet.
”Olok-olok terhadap Bekasi yang dianggap sebagai planet di luar bumi karena perjalanan yang terasa amat jauh dari Jakarta waktu itu viral,” kata Suri.
Selain itu, pada berbagai pesan gambar berantai atau meme banyak pula yang menyebut bahwa kondisi jalan dan cuaca yang berbeda jauh dengan Ibu Kota menjadikan Bekasi sebagai daerah yang posisinya paling dekat dengan matahari dalam sistem tata surya.
Menurut Suri, olok-olok itu kemudian ditanggapi secara serius oleh pemerintah daerah. Mereka melarang penyebaran meme yang bersifat mem-bully Bekasi. Namun, larangan itu justru membuat ejekan semakin banyak, seperti meledak.
”Akibatnya, citra Bekasi mulai meredup, padahal banyak hal bisa dibanggakan dari kota dan kabupaten ini,” ujar Suri.
Salah satunya peran Bekasi dan semua warganya sebagai garda terdepan pertahanan Republik Indonesia selama masa revolusi fisik 1945-1949. Begitu banyak peristiwa bersejarah terjadi di sana, begitu juga peninggalannya.
Belajar dari kegagalan respons pemerintah, kata Suri, komunitasnya pun mencari cara lain. ”Sebenarnya olok-olok warganet itu kan awalnya bergurau, maka kami juga memutuskan untuk menanggapinya dengan bercanda,” kata Suri.
Komunitas yang diisi sebagian besar warga Kota Bekasi itu mulai merumus cara untuk menertawakan diri sendiri. Rumusan itu ditargetkan bisa menjadi lelucon tandingan bagi isu ”Planet Bekasi”.
”Kami pun mengubah nama komunitas dari PDGD (Pondok Gede) Creative menjadi Kedutaan Besar Bekasi dan meresmikannya pada 2015,” ujar Suri.
Peresmian main-main itu dilaksanakan dengan serius, Kedubes mengundang perwakilan Pemerintah Kota Bekasi untuk menandatangani prasasti pendirian komunitas. Tidak tanggung-tanggung, perwakilan yang menandatanganinya adalah Wakil Wali Kota Bekasi periode 2013-2018, Ahmad Syaiku. Tujuan mereka untuk membangun lelucon tandingan di dunia maya pun tercapai, warganet heboh dengan kemunculan Kedubes.
Bahkan, Kementerian Luar Negeri juga bereaksi. Mereka mengirim surat kepada Kedubes meminta agar nama tersebut diganti. Adapun kedutaan besar digunakan oleh perwakilan negara secara resmi, bukan untuk nama komunitas. Namun, teguran tinggal teguran yang tidak ada tindak lanjutnya, Kedubes pun melanjutkan langkahnya.
Kumpulan anak muda Bekasi itu memang nekat untuk menonjolkan identitasnya. Pada 2016, bersama dengan beberapa pegiat seni lain, Kedubes membuka galeri seni di Gedung Juang Tambun selama enam bulan. Bangunan itu merupakan bekas rumah tuan tanah China pada masa kolonial, pernah digunakan sebagai kantor Pemerintah Kabupaten Bekasi, tetapi bertahun-tahun setelahnya tidak diurus.
Puncaknya, mereka membuat Paspor Bekasi yang dipamerkan dalam gelaran Popcon Asia 2016. Karya berbasis lelucon itu pun kembali merebut perhatian dan menjadi perbincangan masyarakat.
”Paspor itu menjadi penanda bully-an terhadap Bekasi telah berakhir, setidaknya itu yang kami yakini. Kini saatnya bergerak, membuka lembaran baru, membuat karya yang otentik,” kata Fithor Faris, inisiator Kedubes, dalam buku Samping Jakarta.
Menurut dia, refleksi atas kondisi kota dimulai setelah puas menertawakan diri sendiri. Kedubes pun mulai serius berupaya ikut berdinamika, mencari jati diri, dan mengangkat kearifan lokal Bekasi. Mulai dari membuat galeri seni, panggung musik, hingga pendidikan kesenian untuk anak-anak di sekitar Jatikramat. Mereka juga menerbitkan buku dan album kompilasi grup musik indie berjudul Samping Jakarta.
Menurut Suri, hal itu penting karena selama ini semua kegiatan masyarakat terpusat di Jakarta. Sebagian besar warga Kota Bekasi pun lebih banyak menghabiskan waktu dan mencurahkan kreativitasnya di Ibu Kota. Untuk itu, Kedubes tetap ada dan berkegiatan secara rutin untuk membuktikan bahwa skema seni dan budaya juga bisa dibangun di Kota Bekasi.
Kini, Kedubes telah menjelma sebagai ruang publik baru. Tidak hanya sebagai galeri seni, tetapi juga membangun jaringan dan menjadi wadah aktualisasi anak muda.
Kajian akademis
Selain memantik semangat kreatif, olok-olok terhadap Bekasi rupanya juga menantang Abi Sutanrai Abdilah (25) untuk menelitinya secara akademis. Pada 2016, mahasiswa Arsitektur Universitas Indonesia itu membuat skripsi berjudul Citra Kota Bekasi Pasca Bullying. Dalam studinya, warga Kota Bekasi itu mencari tahu penyebab kemunculan ejekan yang berlangsung berbulan-bulan tersebut.
”Dari studi itu, saya menyimpulkan bahwa fenomena bullying itu bukan hanya guyonan di media sosial semata, melainkan juga merepresentasikan hal-hal yang dirasakan masyarakat,” ujar Abi. Hal tersebut tampak dari ejekan yang terjadi terus-menerus di keseharian masyarakat meskipun olok-olok di dunia maya sudah berakhir.
Abi menambahkan, dalam pandangan para ahli, citra kota tersebut seperti refleksi di hadapan sebuah cermin. Oleh karena itu, Bekasi jelas memiliki sejumlah pekerjaan rumah terkait dengan infrastruktur dan fasilitas yang dihadirkan di ruang-ruang kota.
Tak berhenti pada penelitian, Abi bersama beberapa pemuda juga menginisiasi pembentukan ekosistem komunitas se-Kota Bekasi, yaitu Bekasi Community Connection (BCC) pada 2018. Sampai saat ini sudah ada sekitar 60 komunitas dari berbagai bidang yang kerap berbagi pengetahuan dan pengalaman.
Melalui BCC, kata Abi yang juga menjabat sebagai ketua ekosistem tersebut, mereka ingin menunjukkan bahwa banyak hal positif dan prestasi yang bisa dihasilkan oleh warga Kota Bekasi.
Selain itu, kata Abi, bekal pengetahuan dan pengalaman pegiat komunitas sebenarnya bisa menjadi bahan masukan bagi pemerintah. Itu karena pendekatan pemerintah dalam mengatasi persoalan kerap tidak kontekstual dengan kondisi riil.
Bermanfaat
Belum habis ingatan mengenai ejekan ”Planet Bekasi”, hal serupa kembali datang dari Wali Kota Cilegon. Kondisi lalu lintas Kota Bekasi yang amat macet karena terimbas pembangunan Tol Becakayu membuatnya berharap kotanya tak menjadi seperti itu. Keinginan yang disampaikan di sejumlah media massa itu pun mengundang beragam respons, hingga akhirnya ia meminta maaf kepada masyarakat.
Adi (30), warga Kecamatan Rawalumbu, Kota Bekasi, mengatakan, olok-olok terhadap Bekasi tak sepenuhnya menyebalkan, tetapi juga bermanfaat. Menurut dia, pemerintah memang membutuhkan perspektif lain dalam membangun kota agar semakin baik.
Wakil Wali Kota Bekasi Tri Adhianto Tjahyono mengatakan, berbagai ejekan yang muncul sejak beberapa tahun lalu memang memotivasi untuk terus membangun kota yang tahun ini memasuki usia ke-22.
Tahun ini pihaknya tengah membangun creative center di Lapangan Multiguna, Bekasi Timur. Menurut rencana, pusat kreativitas yang dibangun dengan dana sebesar Rp 35 miliar itu akan menjadi wadah kreativitas, olahraga, dan juga pengembangan ekonomi kreatif. Selain itu, dalam beberapa tahun ke depan pemerintah juga akan membangun stadion di setiap kecamatan.
Tri menambahkan, peningkatan citra juga dilakukan dengan memproduksi film berlatar tempat Kota Bekasi. Selain itu, penguatan identitas sebagai Kota Patriot juga akan dilakukan. ”Kami akan membangun museum yang menjelaskan peran penting Bekasi dan warganya dalam sejarah Indonesia,” ujarnya.