JAKARTA, KOMPAS - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia belum menemukan solusi yang efektif untuk mengatasi jumlah penghuni yang melebih daya tampung lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan. Fasilitas yang tidak memadai, keterbatasan anggaran, dan minimnya jumlah serta kualitas sumber daya manusia jadi pekerjaan rumah yang mendesak untuk segera diatasi.
Persoalan di atas telah jadi pekerjaan rumah Kementerian Hukum dan HAM selama bertahun-tahun. Data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham pada 27 Februari 2019 menunjukkan jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan (LP) dan rumah tahanan (Rutan) kini mencapai 257.656 orang dari daya tampung sesungguhnya 126.407 orang. Kondisi itu menimbulkan banyak masalah termasuk tidak berfungsinya program pembinaan narapidana dan biaya yang membengkak.
Kepala Subdirektorat Bimbingan dan Pengawasan Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Kemenkumham Lenggono Budi di Jakarta, Rabu (27/2/2019). Lenggono berbicara dalam diskusi bertajuk "Mencari Solusi Penjara Penuh" yang digelar Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
"Kelebihan (penghuni) sudah mencapai 203 persen dari kapasitas yang ada. Ada 522 LP dan rutan, tetapi masih kurang. Kami upayakan distribusi tahanan dan narapidana antar-LP dan rutan untuk menekan kelebihan kapasitas," kata Lenggono.
Lenggono mengatakan, dari 33 kantor wilayah Kemenkumham di seluruh Indonesia, hanya 3 kantor wilayah Kemenkumham yang tidak kelebihan penghuni di LP dan rutan. Tiga wilayah itu ialah Daerah Istimewa Yogyakarta, Maluku, dan Maluku Utara.
Jumlah LP dan rutan memang masih jauh dari kebutuhan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. Aturan menyebutkan, LP dan rutan harus ada di setiap kota dan kabupaten sehingga idealnya tersedia 240 LP dan 290 rutan.
Akan tetapi, pembangunan LP dan rutan baru terkendala biaya. Untuk membangun satu LP dengan daya tampung 2.000 narapidana dibutuhkan anggaran sekitar Rp 300 miliar.
Syarat lain untuk membangunnya adalah ketersediaan akses fasilitas umum dan khusus. Padahal berdasarkan proyeksi sejak tahun 2014, jumlah narapidana bertambah 22.000 orang per tahun. Kemenkumham sudah berupaya meningkatkan daya tampung LP dan rutan dengan renovasi, misalnya menaikkan daya tampung dari 100 orang menjadi 200 orang.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham melalui Permenkumham Nomor 35 Tahun 2018 tentang Revitalisasi Pemasyarakatan juga berupaya membina tahanan dan narapidana berbasis perubahan perilaku. Penguatan pembinaan bertujuan agar tahanan dan narapidana tidak lagi melakukan tindak pidana sehingga dapat mengurangi kelebihan jumlah penghuni LP dan rutan.
Selain itu, Kemenkumham juga mengoptimalkan peran Pembimbing Kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan atau PK Bapas. PK Bapas bertugas membuat laporan penelitian kemasyarakatan, pendampingan pembimbingan, dan pengawasan pada tahahan dan narapidana yang tidak dijebloskan ke lapas maupun rutan.
"Baru tersedia 71 Bapas dan tahun ini ada alokasi pembangunan 18 Bapas. Selain jumlah yang terbatas, SDM, pejabat fungsional dan pembimbing harus mencapai 5000 petugas. Saat ini baru ada 1.500 dan akan bertambah 714 petugas yang sedang menjalani pelatihan fungsional," katanya.
Tidak dipenjara
Diskusi yang diprakarsai Institute for Criminal Justice Reform itu juga dihadiri perwakilan Kementerian PPN/Bappenas, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, dan kelompok masyarakat sipil. Salah satu solusi yang dapat ditempuh, ialah memaksimalkan alternatif pemidanaan tanpa pemenjaraan.
Peneliti ICJR, Genoveva Alicia, menjelaskan, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat harus mengambil kebijakan pidana yang tidak hanya berorientasi pada pemenjaraan.
"Ada alternatif lain pemidanaan selain hukuman penjara. Ada pidana pengawasan, kerja sosial, denda, dan lainnya. Sayangnya, pidana penjara lebih dominan di tengah keterbatasan sarana dan prasarana untuk menampung dan menangani tahanan dan narapidana," kata Genoveva.
Genoveva membandingkan, pidana bersyarat atau tanpa pemenjaraan hanya dijatuhkan pada 3.464 terpidana pada 2016. Lalu, naik jadi 3.909 pada 2017, dan 2.252 di tahun 2018 (per Oktober). Jumlah yang sangat kecil dibandingkan dengan terpidana yang dipenjara setiap tahunnya.
Pengajar hukum pidana Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Anugerah Rizki Akbari, mengatakan, setiap lembaga punya aturan masing-masing dan tidak ada lembaga khusus yang mengatur regulasi agar adanya kesepahaman tentang alternatif lain dalam pemidanaan.
"Bangun LP dan rutan, harus diikuti pembenahan aturan. Ada alternatif lain dengan jaminan atau tahanan kota, dan tahanan rumah. RKHUP yang tengah dibahas DPR sudah mengarah ke alternatif lain. Akan tetapi, alternatif lain hanya berlaku kalau hukuman di bawah lima tahun. Faktanya, banyak hukuman di atas lima tahun. Jika ingin serius mengurangi kelebihan kapasitas maka pertama kurangi pidana penjara, fokus rehabilitasi, dan gunakan alternatif pidana lain," ucap Rizki.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Kasubdit Penerapan dan Penegakan Hukum dan HAM Kementerian PPN/Bappenas Reza Faraby menyebutkan, keterbatasan anggaran dapat disiasati dengan kerja sama antar kementerian/lembaga maupun negara. Selain itu, kementerian/lembaga harus punya program prioritas yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
"Banyak regulasi yang tumpang tindih dan inkonsisten sehingga berpengaruh pada implementasi di lapangan, termasuk dalam pidana penjara dan alternatif lain. Setiap kementerian/lembaga terkait perlu duduk bersama dan menyamakan persepsi terkait persoalan kelebihan kapasitas dan cara mengatasinya," ucap Reza. (FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY)