Harga Sawit Meningkat, Margin Petani Tergerus Buruknya Infrastruktur
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
INDRALAYA, KOMPAS — Penghapusan bea ekspor minyak kelapa sawit mentah mulai mendongkrak harga kelapa sawit di Sumsel. Harga sawit meningkat sejak Januari 2019. Selain penghapusan bea ekspor, kenaikan juga disebabkan menurunnya pasokan minyak sawit mentah dari Malaysia sehingga pasar mengalihkan pembelian ke Indonesia.
Meski demikian, petani masih dipusingkan oleh buruknya kondisi infrastruktur yang membuat biaya operasional bertambah.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumsel Harry Hartanto, Kamis ( 14/2/2019), di Palembang menjelaskan, saat ini harga tandan buah segar (TBS) di pabrik sekitar Rp 1.300 per kilogram. Harga ini naik sejak awal 2019 dari sebelumnya kurang dari Rp 1.000 per kg.
Kenaikan disebabkan menurunnya ekspor minyak sawit mentah (CPO) Malaysia. Pertengahan tahun lalu Malaysia melakukan ekspor besar-besaran setelah pemerintahnya terlebih dahulu memberlakukan pembebasan bea keluar.
Sementara itu, Januari ini, ujar Harry, Pemerintah Indonesia juga menghapus penetapan bea keluar setelah diberlakukan tahun lalu. Bea keluar (CPO fund) ditetapkan 50 dollar AS per ton minyak sawit mentah yang diekspor.
”Tahun lalu, harga kelapa sawit rendah karena ekspor berkurang, bahkan oversupply,” ujar Harry.
Penyebabnya, pengusaha sawit tidak mampu bersaing dengan pengusaha sawit negara lain akibat beban CPO fund. Sekarang, pemerintah menunda penerapan CPO fund sehingga ekspor pun meningkat.
Peningkatan ekspor itu berpengaruh terhadap kenaikan harga sawit. Bagi Sumsel, kenaikan harga itu sangat berarti karena produksi CPO di Sumsel mencapai 3,5 juta ton pada 2018 dari luas lahan sawit sekitar 1,1 juta hektar.
Kapasitas 73 pabrik CPO di Sumsel mencapai 4 juta ton per tahun. Itu berarti kontribusi Sumsel terhadap produksi sawit nasional bisa mencapai 10 persen. Harry optimistis produksi CPO di Sumsel bisa meningkat.
Alex (40), petani sawit di Desa Sukarami, Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel, cukup senang dengan kenaikan harga kelapa sawit. Kondisi ini jauh lebih baik dibandingkan pertengahan tahun lalu. Harga di pabrik saat itu sekitar Rp 700 per kg. Itu berarti pendapatan bersih hanya Rp 300 per kg.
Infrastruktur buruk
Meski demikian, kata Alex, infrastruktur masih menjadi masalah. ”Jalan yang kami lewati masih tanah merah, bahkan beberapa anggota kelompok tani yang lain harus menggunakan perahu untuk mengangkut sawit karena memang tidak ada jalan,” ucapnya.
Hal ini membuat pendapatannya tidak optimal karena harus membayar biaya transportasi yang tinggi, belum lagi upah pekerja. ”Kemungkinan saya hanya memperoleh Rp 900 per kilogram walaupun harga di pabrik bisa mencapai Rp 1.300 per kg.”
Selain itu, pada bulan tertentu pengiriman sawit juga terkendala karena, saat musim hujan, akses jalan tertutup karena terendam banjir. Sebaliknya, pada musim kemarau, petani di wilayahnya dihantui ketakutan karena adanya risiko kebakaran lahan.
”Tahun lalu, ada petani yang harus menanggung kerugian karena lahan sawitnya seluas sekitar 5 hektar terbakar,” katanya. Padahal, usia lahan sawitnya masih 8 tahun.
Harry mengatakan, belum optimalnya infrastruktur, terutama jalan, membuat biaya operasional petani cukup tinggi. Dari Rp 1.300 per kg TBS, petani rata-rata memperoleh pendapatan Rp 1.000 per kg. ”Bisa kurang dari itu apabila kebun petani jauh dari pabrik,” katanya.
Selain itu, produktivitas tanaman di Sumsel juga belum maksimal. Satu hektar lahan sawit rakyat di Sumsel baru bisa menghasilkan CPO berkisar 3-4 ton per tahun. Padahal, standar perusahaan mencapai 7-8 ton CPO per tahun. Jika dikelola secara optimal, produksi CPO per hektar bisa mencapai 10 ton per tahun. ”Inilah yang harus disosialisasikan kepada masyarakat dan perusahaan,” kata Harry.
Menggalakkan hilirisasi
Harry mengatakan, untuk mempertahankan harga kelapa sawit tetap baik, langkah hilirisasi perlu digalakkan mulai saat ini. Salah satunya dengan mengembangkan bahan bakar dari CPO untuk energi terbarukan.
Saat ini sudah ditemukan bahan bakar B20, yakni bahan bakar minyak yang dicampur dengan 20 persen CPO. Kalau kandungan CPO bisa ditingkatkan, tentu penyerapan untuk kebutuhan domestik juga bertambah.
Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin mengatakan, saat ini Pemkab Musi Banyuasin sedang menuju pembuatan biofuel yang berbasis sawit. Musi Banyuasin memiliki kebun kelapa sawit yang cukup luas sehingga mencoba bertransformasi dari perkebunan menjadi industri kelapa sawit yang diharapkan mendongkrak harga jual TBS petani.Baca juga: Setelah Plaju, Bahan Bakar Nabati Diproduksi di Kilang Lain
”Kami juga berencana membangun mini refinery untuk penampungan sementara. Sebagai langkah awal, produksi turunan TBS akan dikirim ke kilang minyak milik PT Pertamina di Plaju, Palembang,” ungkapnya.
PT Pertamina Plaju saat ini tengah mengembangkan energi hijau berupa bahan bakar biofuel berbasis kelapa sawit.
”Dalam waktu dekat, nota kesepahaman akan segera kami lakukan bersama Institut Teknologi Bandung untuk segera merealisasikan visi ini,” kata Dodi.
Setelah berjalan, pihaknya akan mewajibkan semua kendaraan dinas di lingkungan Pemkab Musi Banyasin menggunakan bahan bakar biofuel.