Memajukan Kebudayaan di Era Industri 4.0 (II)
Selama kongres berlangsung, animo masyarakat mengikuti kongres kebudayaan sangat tinggi. Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Kebudayaan, selama kongres, tidak kurang dari 3.000 orang hadir setiap hari. Kongres sendiri berlangsung selama lima hari sehingga tak kurang dari 15.000 orang mengikuti puluhan mata acara yang diadakan selama kongres.
Peserta yang hadir sangat beragam, mulai dari budayawan, musisi, penari, muralis, perupa, aktivis, akademisi, peneliti budaya, birokrat, ekonomi, politisi, anggota komunitas, hingga mahasiswa dan pelajar. Jumlah dan ragam serta animo tinggi peserta kongres menunjukkan sudut pandang baru melihat kebudayaan.
Negara tak lagi melihat kebudayaan sebagai sesuatu yang statis atau bahkan bisa diformalisasi. Karena sesungguhnya kebudayaan itu hidup dan dikembangkan oleh masyarakat sehingga sangat dinamis. Kebudayaan itu milik masyarakat, bukan pemerintah, sehingga masyarakatlah yang harus merayakan dan menentukan pemajuan kebudayaannya sendiri.
Negara tak lagi melihat kebudayaan sebagai sesuatu yang statis atau bahkan bisa diformalisasi.
Pemerintah sendiri mengambil posisi sebagai pelaksana tata kelola, seperti roh dari UU Pemajuan Kebudayaan. Kongres kebudayaan menyediakan forum bagi masyarakat sebagai pemilik kebudayaan untuk merayakan dan membicarakan pemajuannya.
Baca: Resolusi Kongres Kebudayaan
Dalam subkultur musik, misalnya, di masyarakat Indonesia hidup dan berkembang berbagai genre musik. Kongres Kebudayaan X ini menyediakan panggung bagi berbagai genre musik, mulai dari pop, jazz, klasik, etnik kontemporer, tradisional, world music, dangdut, hingga kasidah. Peserta tak hanya menikmati, tetapi juga diajak untuk belajar sekaligus memikirkan bagaimana agar berbagai genre musik ini tetap hidup dan berkembang.
Rangkaian kongres sendiri telah dimulai beberapa bulan sebelumnya, yaitu melalui penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD). PPKD merupakan dokumen yang berisi kondisi dan persoalan faktual kebudayaan yang terjadi di daerah-daerah dalam upaya pemajuan kebudayaan beserta usulan penyelesaiannya. Penyusunan PPKD merupakan amanat Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Dalam laporan saat penutupan kongres, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbud Hilmar Farid menuturkan bahwa sudah ada 306 daerah yang menyelesaikan PPKD tingkat kabupaten/kota dan 31 provinsi. Proses penyusunan PPKD tersebut melalui ratusan pertemuan.
Jika penyusunan satu PPKD membutuhkan 3-4 pertemuan, proses pembuatan PPKD seluruhnya tersebut telah melalui 900-1.200 rapat-rapat di tingkat daerah yang dikoordinasi oleh Ditjen Kebudayaan.
Baca: Optimalisasi Aset untuk Ruang Budaya
Melalui PPKD tersebut saat ini bisa diketahui jumlah berbagai obyek pemajuan kebudayaan lengkap dengan sarana dan prasarananya di seluruh Indonesia. Catatan di PPKD menyebutkan, saat ini di seluruh Indonesia terdapat 2.886 bahasa, 2.395 manuskrip, 4.407 adat istiadat, 3.886 ritus, 4.521 tradisi lisan, 7.444 pengetahuan tradisional, 4.652 teknologi tradisional, 3.800 permainan rakyat, dan 1.378 olahraga tradisional.
PPKD juga menghimpun data tentang sarana prasarana serta lembaga kebudayaan yang ada di Indonesia. Saat ini sudah ada 2.217 sarana dan prasarana kebudayaan milik pemerintah. Bahkan dari aspek lembaga pun, tak kurang banyak jumlah lembaga yang mengurusi kebudayaan, yaitu 4.469 lembaga.
Melihat angka-angka tersebut, maka untuk memajukan kebudayaan barangkali tak terlalu mendesak membangun gedung baru karena pemerintah dan komunitas budaya bisa mengoptimalkan yang sudah tersedia. Fokus bisa diarahkan kepada menyediakan forum-forum interaksi antarbudaya.
Metode menyusun PPKD juga memperlihatkan sebuah perspektif baru mengelola kebudayaan, yakni masyarakat yang mengarahkan pemerintah tentang apa saja yang harus difasilitasi dan diregulasi. Arahan diberikan melalui rangkaian dokumen PPKD yang berisi berbagai persoalan kebudayaan yang dihadapi masyarakat dan strategi apa yang harus dibuat untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Strategi kebudayaan tersebut dihasilkan dalam Kongres Kebudayaan 2018.
Strategi kebudayaan
Kongres Kebudayaan X ditutup dengan penyerahan dokumen Strategi Kebudayaan Indonesia kepada Presiden Joko Widodo. Rumusan Strategi Kebudayaan disusun berdasarkan tujuh persoalan yang diidentifikasi selama proses penyusunan PPKD.
Pengerasan identitas primordian dan sektarian merupakan masalah pertama yang banyak ditemukan di daerah. Oleh karena itu, kongres merumuskan langkah strategis untuk mengatasinya, yaitu menyediakan ruang keragaman ekspresi budaya serta mendorong interaksi antarbudaya untuk menciptakan budaya inklusif melalui Pekan Kebudayaan Nasional.
Pengerasan identitas primordian dan sektarian merupakan masalah pertama yang banyak ditemukan di daerah.
Persoalan penting kedua menyangkut isu modernitas dan tradisi di mana tradisi sering kali dihadap-hadapkan pada modernitas, seolah-olah tradisi menghambat modernitas. Untuk itu, kongres merekomendasikan strategi melindungi dan mengembangkan nilai, ekspresi dan praktik kebudayaan tradisional untuk memperkaya kebudayaan nasional.
Beberapa hal yang bisa dilakukan adalah melindungi dan mengembangkan praktik budaya bahari yang menjadi watak kebudayaan bangsa Indonesia, memperkuat kedudukan dan memberdayakan lembaga, komunitas, dan masyarakat tradisional, serta mempromosikan nilai, ekspresi dan praktik kebudayaan tradisional yang berkontribusi bagi pengayaan kebudayaan nasional.
Ketimpangan relasi budaya dalam konteks globalisasi merupakan persoalan ketiga yang menjadi keprihatinan bersama. Selama ini masyarakat Indonesia hampir dominan mengonsumsi budaya dari luar. McDonalisasi, penetrasi film-film Hollywood, serta gelombang K-Pop telah merasuk ke kesadaran masyarakat.
Untuk itu, strategi yang ditempuh adalah pemerintah dan masyarakat perlu mengembangkan dan memanfaatkan kekayaan budaya untuk memperkuat kedudukan Indonesia di dunia internasional. Di antaranya dengan memfasilitasi pemanfaatan obyek pemajuan kebudayaan untuk memperkuat promosi Indonesia di dunia internasional.
Persoalan berikutnya adalah kecenderungan pembangunan yang mengorbankan ekosistem alam dan budaya. Laporan di dalam PPKD menunjukkan bagaimana kebijakan pembangunan di daerah menggeser pengaruh keutuhan dan ketahanan budaya.
Merespons masalah tersebut, kongres merumuskan strategi memajukan kebudayaan yang melindungi keanekaragaman hayati dan memperkuat ekosistem. Hal ini bisa diwujudkan melalui pengembangan tata ruang yang mengindahkan ketersambungan antara agenda pelestarian alam, cagar budaya, kebencanaan, dan agenda pemajuan kebudayaan.
Persoalan kelembagaan dan desain kebijakan juga menjadi sorotan para pegiat budaya di daerah-daerah. Reformasi kelembagaan dinilai belum optimal dan desain kebijakan belum memudahkan pemajuan kebudayaan.
Kongres merekomendasikan untuk mempercepat reformasi kelembagaan di bidang kebudayaan dan menyelaraskan kebijakan pusat dan daerah untuk pemajuan kebudayaan. Mengoptimalkan anggaran kebudayaan juga dirasa mendesak dilakukan. Untuk itu dibentuklah Dana Perwalian Kebudayaan, semacam Trust Fund, yang disediakan khusus bagi agenda kebudayaan.
Tak lama setelah kongres berakhir, Presiden Joko Widodo menyetujui Dana Perwalian Kebudayaan sebesar Rp 5 triliun per tahun. Inilah pertama kalinya para budayawan memiliki topangan dana kebudayaan. Dana ini juga bisa digunakan untuk pengembangan ataupun riset-riset kebudayaan.
Presiden Joko Widodo menyetujui Dana Perwalian Kebudayaan sebesar Rp 5 triliun per tahun. Ini pertama kalinya para budayawan memiliki topangan dana kebudayaan.
Disrupsi teknologi informasi menjadi persoalan terakhir yang berhasil diidentifikasi para pegiat budaya. Perubahan dalam penggunaan teknologi informasi tersebut menandai munculnya era industri 4.0 yang telah mengubah aktivitas ekonomi masyarakat ataupun organisasi industri. Dalam menghadapi kondisi tersebut, kongres mengeluarkan rekomendasi untuk menempatkan kebudayaan sebagai investasi jangka panjang.
Caranya dengan mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan obyek pemajuan kebudayaan.
Kongres ini juga memberikan rekomendasi untuk memperkuat mekanisme pelindungan kekayaan intelektual, khususnya yang berkaitan dengan pengetahuan dan teknologi tradisional. Dalam hal ini, pembangunan Sistem Data Kebudayaan Terpadu tak lagi bisa ditunda.
Kemajuan teknologi informasi telah membuka kemungkinan-kemungkinan baru pemajuan kebudayaan. Ketua Umum Inovator 4.0 Budiman Sudjatmiko dalam pidato kebudayaannya di kongres menyebutkan, wajah utama era digital saat ini adalah konektivitas atau jejaring.
”Jejaring merupakan wadah alami bagi kemunculan paradigma baru yang berlandaskan semangat kolaborasi dan partisipasi layaknya gotong royong rakyat desa,” kata Budiman.
Kebudayaan berbasis pada masyarakat yang tersebar hingga ke desa-desa. Sudah banyak contoh kebudayaan gotong royong atau kolaborasi masyarakat desa menciptakan peluang-peluang maju di era industri 4.0.
Kisah sukses Desa Ponggok di Klaten, Jawa Tengah, memperlihatkan pemanfaatan teknologi informasi bisa mengubah desa miskin yang semula berpendapatan hanya Rp 14 juta tahun 2006 menjadi makmur dengan pemasukan Rp 15 miliar pada 2017.
Meskipun demikian, Budiman menyerukan agar jejaring antardesa, desa-kota, ataupun jejaring kampung-kampus segera dibangun. ”Desa dengan segala modal ekonomi dan sosialnya harus segera dihubungkan dengan pelaku ekonomi, penggerak sosial, dan inovator teknologi di kota ataupun dunia untuk bekerja sama mengeksplorasi peluang yang terbuka oleh perkembangan teknologi.”
Menurut dia, kreativitas kota, kebajikan desa, dan peluang dunia harus bertemu untuk membangun dan berbagi solusi digital yang inovatif dengan dilandasi semangat kolaboratif. Revolusi industri 4.0 hanya bisa dimenangkan dengan cara-cara tersebut. (LITBANG KOMPAS)