Pramono Menyelamatkan Naskah Kuno Minangkabau
Bagi seorang Pramono (39), menjadi filolog atau peneliti naskah kuno bukanlah hal mudah. Proses panjang harus ia lewati dari sejak mencari, mendapatkan akses, hingga menyelamatkan naskah kuno Minangkabau yang ditemukannya. Meski demikian, rasa cinta dan pemikiran bahwa manuskrip adalah jembatan penghubung antara kehidupan saat ini dengan masa lalu, membuatnya terus maju.
Perkenalan Pramono dengan manuskrip dimulai ketika ia menjadi mahasiswa di Jurusan Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat pada tahun 2000. Kala itu, ia diajak oleh dosennya yang juga filolog, Muhammad Yusuf (Sosok Kompas, 3 Desember 2007) ke tempat-tempat yang “dicurigai” memiliki naskah kuno.
“Pertama saya diajak ke Indrapura, Kabupaten Pesisir Selatan. Jaraknya sekitar 4,5 jam perjalanan dari Padang. Rupanya, Pak Yusuf melihat semangat saya pada manuskrip dan pada bulan-bulan berikutnya diajak lagi ke daerah-daerah lain yang lebih dekat dengan Padang. Selain belajar pendekatan ke masyarakat, saya juga belajar digitalisasi dan konservasi awal,” kata Pramono saat ditemui di Minangkabau Corner di Lantai 3 Perpustakaan Universitas Andalas, Limau Manis, Pauh, Padang, Sumatera Barat, Rabu (23/1/2019).
Ketertarikan dan rasa cinta Pramono terhadap naskah kuno Minangkabau semakin kuat ketika pada 2002, Pramono mendapat beasiswa penulisan skripsi yang menggunakan naskah kuno sebagai sumber utama dari Yayasan Penaskahan Nusantara (Yanasa) sebesar Rp 3 juta. “Itu membuat saya semangat dan menyadari bahwa manuskrip atau naskah kuno punya banyak tempat, tetapi tidak banyak peminatnya,” kata Pramono.
Setelah lulus sarjana pada 2003, pengalaman beberapa tahun menggeluti manuskrip Minangkabau juga membuat Pramono diterima sebagai pegawai negeri sipil untuk dosen di almamaternya yakni Jurusan Sastra Minangkabau Universitas Andalas.
Selanjutnya, selain menjadi pengajar, dia juga tetap meneliti bersama Muhammad Yusuf. Termasuk terlihat dalam riset bersama dengan peneliti dari Tokyo University Foreign Studies pada 2005. Sejak saat itu, Pramono juga belajar digitalisasi manuskrip menggunakan standar British Library lengkap dengan pengelolaan koleksi digital manuskrip.
“Sejak tahun 2008, Pak Yusuf melepaskan saya sendiri. Saya sendiri yang menentukan daerah tempat mencari, hingga proses lain dalam penyelamatan naskah kuno,” kata Pramono yang pada 2015 meraih gelar doktor bidang Kesusasteraan Melayu (Filologi) dari Akademi Pengajian Melayu Universiti Malaya Malaysia.
Sejak awal hingga saat ini, Pramono telah menemukan dan mendigitalkan sekitar 1000 naskah kuno yang merupakan koleksi pribadi masyarakat. Dari 1000 naskah itu, baru sekitar 200 yang bisa diselamatkan secara fisik. Artinya, naskah telah diperlakukan sesuai standar yang membuatnya bisa bertahan untuk waktu yang lama.
Pendekatan ke pemilik
Pramono menuturkan, penyelamatan naskah tidak serta merta dilakukan. Pertama dibutuhkan keahlian untuk melakukan pendekatan kebudayaan agar mendapat izin akses dari pemilik naskah.
“Setelah mendapatkan akses dari pemiliknya, saya baru melihat kondisi naskah. Sebagian besar naskah disimpan dalam kondisi menyedihkan. Ada di bawah tempat tidur, di loteng, di keranjang, di lemari bertumpuk dengan benda lain, bercampur dengan padi. Ada juga yang dibungkus dengan kain yang dikeramatkan. Saat dibuka, banyak yang sudah hancur,” kata Pramono yang sekarang menjabat Ketua Jurusan Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas.
Menurut Pramono, setelah itu, naskah dibersihkan. “Itu pun tidak bisa langsung. Kadang ada ritual mulai dari yang paling sederhana seperti wudhu sebelum masuk ruangan hingga yang berat yakni beli dan potong kambing untuk doa bersama,” tutur Pramono.
Setelah mendapat akses, bahkan hingga potong kambing, Pramono dan timnya tidak selalu bisa tersenyum lega. Bahkan sering kecewa karena naskah yang didapatkan tidak begitu banyak, termasuk pemilik naskah tidak tahu isi naskah yang kadang mereka kramatkan. “Mereka mengkramatkan naskah kuno itu padahal isinya hanya syair, pengobatan tradisional, sastra, atau tasawuf,” kata Pramono.
Menurut Pramono, seluruh proses digitalisasi dilakukan di lokasi atau naskah kunonya dipinjam kemudian dikembalikan keesokan harinya. “Di penginapan, kami juga terus bekerja. Selain pertimbangan biaya, kami khawatir pemiliknya tiba-tiba berubah pikiran karena hal-hal tertentu,” kata Pramono.
Setelah itu, mereka melakukan pengelolaan basis data digital mulai dari pemberian nama berkas untuk memudahkan pengelompokan, pemotongan, sampai penyusunan deskripsi lengkap. Setelah itu, dilakukan pembuatan nama file lagi untuk memudahkan pencarian. Basis data itu kemudian diumumkan dan dibuka aksesnya secara gratis bagi para peneliti.
Berbagai karakter
Pramono mengatakan, pada proses itu, dia menemukan empat kategori pemilik naskah. Pertama, orang yang punya naskah tahu tentang pentingnya manuskrip dan memeliharanya dengan kemampuan yang dia punya. “Tetapi kadang-kadang salah. Contohnya, dia ingin melindungi naskah tersebut, tetapi ada yang memasukkannya ke dalam plastik, kemudian menyimpannya di ruang kedap udara. Kategori ini aksesnya mudah,” kata Pramono.
Kategori lain adalah orang yang sangat melindungi naskah miliknya karena percaya memiliki kekuatan magis. “Orang seperti ini susah masuknya. Saya bahkan pernah butuh tiga tahun melakukan pendekatan. Tetapi enaknya, kalau dia tahu apa yang kami kerjakan, akan membuka akses seluas-luasnya,” tutur Pramono.
Selain itu, ada juga yang tahu bahwa naskah kuno miliknya berharga dan bisa dijual. Oleh karena itu, pemilik dengan kategori ini akan sangat ketat menyeleksi orang yang datang. Menurut Pramono, mereka kadang merogoh gocek sendiri untuk membeli naskah ini.
“Kategori terakhir adalah orang yang tidak peduli dengan naskah miliknya. Kalau datang tepat waktu, Alhamdulillah. Tetapi pernah juga terlambat dan pemiliknya bilang ‘wah terlambat. Baru saja kami bakar dua peti naskah kuno. Hahaha,” tutur Pramono seraya tertawa.
Secara terus terang, Pramono mengakui bahwa dana memang menjadi kendala sehingga ia kadang harus merogoh saku sendiri. “Saya tidak harus malu mengakui karena bagaimana pun prioritas negeri ini belum kesana. Padahal, sesuatu yang klasik, penanganannya juga perlu ilmu khusus sehingga butuh pendanaan,” kata Pramono yang belajar konservasi kertas ke Jepang.
Menurut Pramono, setidaknya, ada empat jenis kondisi naskah kuno yang sering ditemukan Pramono. Pertama grade A yakni kertasnya lapuk, jilidan lepas, tidak memiliki sampul, dan banyak lubang di dalamnya. Grade B yakni kertas tidak lapuk, tetapi sampul tidak ada, dan beberapa bagian pinggir berlubang. Dua grade terakhir kondisinya lebih baik, membutuhkan pembersihan dan penampalan lubang-lubang pinggir.
“Saya tidak harus malu mengakui karena bagaimana pun prioritas negeri ini belum kesana. Padahal, sesuatu yang klasik, penanganannya juga perlu ilmu khusus sehingga butuh pendanaan,” kata Pramono.
Naskah kuno dengan grade A membutuhkan biaya sekitar Rp 1,2 juta termasuk kotak penyimpanan, sementara grade lain masing-masing Rp 800 ribu, dan Rp 400 ribu. Penambalan juga menggunakan kertas khusus yang didatangkan dari Jepang.
Persoalan dana ini yang kadang membuat penyelamatan tidak bisa dilakukan pada seluruh naskah kuno yang dia temukan. Akibatnya, naskah kuno yang semula masih bagus atau berada di grade D atau C, bisa ke grade A. Selain makin rusak, konsekuensi lainnya adalah Pramono kadang tidak menemukan naskah itu lagi saat kembali.
“Kami juga pernah menemukan dua peti naskah pada 2009. Tetapi pemiliknya minta dibayar dengan harga dua orang naik haji. Akhirnya, dibuat kesepakatan yang tujuannya agar naskah bisa tetap di Indonesia. Akhirnya, kami usahakan pendanaan dari lembaga. Setelah beberapa bulan, ketika dana ada, naskah itu sudah tidak bisa kami akses lagi,” kata Pramono.
Kondisi itu, menurut Pramono yang juga menjadi Sekretaris Umum Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) itu, karena pada saat yang sama penyelamatan naskah kuno juga berhadapan dengan praktek jual beli naskah yang telah terjadi sejak 1970.
“Penjual yang saya temui mengaku menjual ke museum-museum. Bagi saya itu tidak masalah karena tetap di Indonesia. Dari penelusuran yang saya lakukan ke museum-museum yang dia sebutkan, memang naskahnya ada. Tetapi kalau sudah ke kolektor luar negeri, sudah tidak bisa ditelusuri lagi,” kata Pramono.
Meski terkendala dana dan menghadapi jual beli naskah, Putra Jawa Kelahiran Sumatera ini mengaku tetap menikmati dan akan terus menekuni penelitian naskah kuno Minangkabau. Apalagi jika melihat banyak peneliti yang melahirkan karya-karya baru berdasarkan naskah kuno yang dia temukan.
“Penjual yang saya temui mengaku menjual ke museum-museum. Bagi saya itu tidak masalah karena tetap di Indonesia. Dari penelusuran yang saya lakukan ke museum-museum yang dia sebutkan, memang naskahnya ada. Tetapi kalau sudah ke kolektor luar negeri, sudah tidak bisa ditelusuri lagi,” kata Pramono.
Oleh karena itu, untuk mensiasati persoalan dana, Pramono sejak 2015 mulai mendorong penggunaan iluminasi (gambar dalam manuskrip) sebagai desain motif batik. Hingga saat ini, setidaknya sudah ada 38 desain motif batik dari iluminasi dan seluruhnya sudah mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual untuk hak cipta.
“Saya juga beruntung karena pihak Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Universitas Andalas juga menyambut positif dan membantu pendaftaran hak kekayaan intelektualnya sehingga mendapatkan hak cipta. Selain itu, kami juga menerima insentif dari mereka yang bisa digunakan untuk meneliti naskah lainnya,” kata Pramono.
Pramono
Lahir : Medan, 12 Desember 1979
Pendidikan:
S3 Kesusasteraan Melayu (Filologi) Akademi Pengajian Melayu Universiti Malaya Malaysia (2015)
Nama Istri : Rima Novalia (36)
Nama Anak : Muhammad Miftahul Fikri (12) Puan Qahira Haque (7)
Buku :
- Sufi Saints of sumatera
- Naskah Riwayat Hidup Abdul Manaf : Pengantar dan Suntingan Teks
- Bibliografi Beranotasi Minangkabau
- Khazanah Naskah Minangkabau