JAKARTA, KOMPAS — Tindakan aparat gabungan TNI, Polri, dan Kejaksaan Agung menyita buku yang diduga mengandung ajaran komunisme menuai kecaman. Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang belum tuntas dinilai menjadi penyebab merebaknya kembali sindrom ketakutan berlebihan berkait buku-buku yang diduga mengandung komunisme.
Dalam dua bulan terakhir, aparat gabungan TNI, Polri, dan Kejaksaan Agung telah 3 kali merazia dan menyita buku di tiga kota, yaitu Kediri (Jawa Timur), Padang (Sumatera Barat), dan Tarakan (Kalimantan Utara). Razia dan penyitaan itu dilakukan berlandaskan Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia.
Komisioner Komisi Nasional HAM Choirul Anam di Jakarta, Jumat (25/1/2019), menilai, razia buku mencerminkan ketakutan melihat kebenaran di masa lalu. “Artinya saat ini kita memang belum siap berdamai dengan perbedaan narasi tentang masa lalu,” ujarnya.
Menurut Choirul, perbedaan narasi tentang suatu peristiwa sejarah seharusnya tidak disikapi reaktif dan represif. Sebagai negara demokrasi, aparat penegak hukum wajib memberi ruang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk membicarakan perbedaan secara terbuka dan jernih.
Pustakawan dan penulis asal Venezuela, Fernando Baez, dalam dalam buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa (2013), menyatakan, pertikaian berbasis ideologi justru lebih beringas dalam mengerahkan segala daya menghapus semua jejak dan peninggalan kelompok lawan.
Menurut Choirul, razia buku sebenarnya tak perlu terjadi seandainya pemerintah menuntaskan kasus tahun 1965. “Penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu penting dilakukan sebagai salah satu upaya menyajikan kebenaran dalam peristiwa tersebut,” ujarnya.
Tanpa proses persidangan
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers Ade Wahyudin menduga, penyitaan buku itu dilakukan aparat tanpa lebih dulu melalui proses hukum di persidangan. “Penegakan hukum seharusnya tidak boleh dilakukan berdasarkan pada stigma maupun kebencian semata,” ujarnya.
Secara tegas, Ade menilai tindakan penyitaan buku tanpa didahului proses pengujian di persidangan itu merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Pada akhirnya, tindakan merazia buku itu justru berdampak membatasi akses masyarakat untuk memperoleh informasi dan pengetahuan.
Kejaksaan Agung selama ini menjadikan Undang-Undang Nomor 4/PNPS Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan sebagai dasar tindakan aparat menyita buku tersebut. Padahal, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 secara jelas telah mengabulkan tuntutan uji materiil terhadap undang-undang itu. (PANDU WIYOGA)