Genap Sebulan, ”Shutdown” Terus Bebani Ekonomi dan Moral AS
Oleh
Pascal S Bin Saju
·5 menit baca
Amerika Serikat memasuki bulan kedua penutupan sebagian layanan pemerintah (shutdown), Selasa (22/1/2019) waktu setempat. Dengan tak ada gambaran jelas kapan berakhir, krisis itu bakal tercatat dalam sejarah sebagai krisis yang membebani ekonomi dan moral bangsa Amerika.
Penghentian sebagian layanan pemerintahan Presiden Donald Trump itu bukan hal yang baru. Kondisi serupa pernah dialami pada masa sebelumnya, tetapi kali ini paling lama. Pada 1996, di masa Presiden Bill Clinton, layanan pemerintah tutup 21 hari. Sebelumnya, di masa Presiden Jimmy Carter pada 1978, hal yang sama berlangsung 18 hari. Pada masa Presiden Barrack Obama di tahun 2013, hanya 16 hari.
Kebuntuan terus berlanjut akibat terkunci oleh anggaran pembangunan tembok perbatasan. Kubu Demokrat menegaskan, diskusi baru akan dimulai setelah Trump setuju memulihkan lagi layanan pemerintahan. Sementara itu, ribuan pegawai Federal harus terus bekerja tanpa gaji.
Kekacauan itu sudah berlangsung sejak 22 Desember 2018. Kantor berita Agence France-Presse, Selasa, melaporkan, seperempat fungsi pemerintahan tidak berjalan alias lumpuh akibat kebuntuan antara oposisi (Demokrat) di Kongres dan Gedung Putih terkait anggaran 5,7 miliar dollar AS untuk pembangunan tembok di perbatasan dengan Meksiko.
Tembok tersebut dimaksudkan untuk memblokade aliran imigran ilegal dari Meksiko. Pembangunan tembok adalah janji kampanye Trump pada Pemilu 2016 yang membawa dia menjadi presiden. Namun, walaupun hanya setara dengan 0,11 persen dari total anggaran federal 2019, dana usulan Trump ditolak Demokrat sehingga memicu tertahannya anggaran tahun fiskal berjalan.
Demokrat menentang pembangunan tembok itu serta menyebutnya ”tidak bermoral”, mahal, dan tidak efektif. Kubu oposisi ini ingin layanan pemerintah dibuka kembali sebelum diskusi mencari titik temu konflik soal tembok perbatasan tersebut dilanjutkan.
Pada Sabtu (19/1), Presiden Trump yang diusung kubu Republik ini telah membuat proposal baru yang diklaim bertujuan untuk mengatasi kebuntuan. Ia menawarkan untuk memperluas perlindungan sementara kepada sekitar satu juta imigran, yang umumnya anak-anak dan remaja, dengan imbalan agar dana pembangun tembok yang diminta Trump disetujui Kongres.
Meskipun tawaran baru Trump itu ditolak oleh Demokrat, bahkan oleh beberapa pihak yang anti-imigran, isu yang ditawarkan itu bisa menjadi dasar untuk diskusi baru.
Shutdown langsung memengaruhi 0,5 persen dari tenaga kerja AS. Menurut survei Universitas Michigan, masalah itu juga secara tidak langsung mengurangi gairah konsumen untuk berbelanja. Para ahli mengatakan, shutdown juga telah menekan ekonomi negara terbesar di dunia ini di tengah pertumbuhan global yang sudah melambat.
Lembaga pemerintah yang paling sensitif, termasuk Departemen Keamanan Dalam Negeri, Departemen Transportasi, dan Departemen Luar Negeri, jumlah pegawai terdampak dijaga agar tetap minimum. Di luar itu, dampaknya jelas. Taman Nasional tidak lagi memiliki penjaga keamanan. Banyak museum dan beberapa pos pemeriksaan keamanan bandara telah ditutup.
Sekitar 800.000 pegawai/karyawan federal, mulai dari agen FBI, ilmuwan, sampai pengawas makanan, terpaksa cuti atau bekerja tanpa bayaran meski mereka harus setiap hari memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada Minggu (20/1), Trump menyebut Ketua DPR Nancy Pelosi sebagai ”radikal” dan mengatakan dia bertindak ”tidak rasional”. Presiden juga berusaha menangkis kritik dari kanan ketika kaum konservatif menuduhnya memberikan ”amnesti” bagi imigran di negara itu secara ilegal.
”Tidak, amnesti bukan bagian dari penawaran saya,” tulis Trump di akun Twitter-nya.
Trump mengatakan, ia menawarkan perpanjangan masa tinggal sementara selama tiga tahun dan itu bukan sebuah bantuan permanen. Namun, dia menambahkan, ”Amnesti hanya akan digunakan untuk kesepakatan yang jauh lebih besar, baik untuk imigrasi atau hal lain.”
Kritik dari kedua belah pihak menggarisbawahi posisi Trump saat ia mencoba memenangkan setidaknya beberapa dukungan Demokrat tanpa mengasingkan basis pendukungnya.
Menurut harian Kompas, penutupan sebagian pemerintahan yang terjadi di AS ini memang khas. Artinya, konsekuensi dari ditahannya anggaran pemerintah tidak terjadi di negara lain. Hal ini dapat dipahami karena sistem pemerintahan AS menganut sistem bikameral, dua majelis dalam satu parlemen, yakni Senat dan DPR (Kompas, 15/1).
Pascapemilu sela November 2018, komposisi di Kongres AS berubah. Partai pengusung pemerintah, Republik, menguasai Senat AS dengan 52 kursi. Adapun Demokrat hanya memiliki 45 kursi, ditambah 2 kursi independen yang mendukung Demokrat.
Sebaliknya, di DPR, Demokrat menjadi mayoritas karena unggul dengan total 235 kursi dibandingkan Republik dengan 199 kursi. Oleh karena itu, Republik memerlukan dukungan dari partai oposisi untuk menyetujui kebijakan pemerintah, termasuk anggaran untuk tahun fiskal 2019.
Karena sistem dua majelis dalam parlemen (bikameral) ini juga dianut oleh negara-negara lain, secara teoretis situasi shutdown juga dapat terjadi di negara-negara tersebut, terutama di negara yang terpengaruh dengan sistem parlemen gaya Westminster Inggris. Akan tetapi, bentuk shutdown di negara-negara lain berarti jatuhnya pemerintahan karena tidak didukung parlemen.
Salah satu tokoh kunci Partai Republik, Senator James Lankford dari Oklahoma, mengatakan, ia dan anggota parlemen lainnya telah mendorong Gedung Putih mengajukan tawaran apa pun untuk membuat kedua belah pihak berbicara.
Di Fox News Sunday, Wakil Presiden Mike Pence mengatakan, ”Trump telah menyiapkan meja (perundingan) untuk (mencapai) kesepakatan yang akan mengatasi krisis di perbatasan, mengamankan perbatasan, dan memberi kita jalan agar layanan pemerintahan pulih lagi.”
Demokrat tetap berkeras tidak akan bernegosiasi dengan Trump sampai dia mengakhiri penutupan pemerintahan yang lama dalam sejarah AS.
”Titik awal negosiasi ini harus membuka kembali pemerintah,” kata Senator Demokrat Mark Warner dari Virginia kepada NBC. (AP/AFP/REUTERS)