JAKARTA, KOMPAS — Penemuan perekam suara di kokpit(CVR) Lion Air dengan registrasi PK-LQP diyakini karena bantuan teknologi kapal survei. Teknologi itu memudahkan tim penyelam mengangkat CVR yang terpendam di dalam lumpur di dasar perairan Karawang, Jawa Barat.
Kepala Pusat Hidrografi dan Oseanografi (Pushidrosal) Laksamana Muda Harjo Susmoro mengatakan, penemuan itu karena dukungan teknologi di KRI Spica-934. Kapal milik Pushidrosal diturunkan guna memetakan lokasi pencarian hingga kemudian tim penyelam berhasil menemukan CVR pada hari ketujuh pencarian.
Tidak hanya SRI Spica, TNI AL juga memiliki KRI Rigel 933 yang merupakan dua kapal survei paling modern di Asia Tenggara buatan Perancis. Selain kedua kapal itu, Pushidrosal juga mengoperasikan KRI Leuser 974, KRI Dewa Kembar 932, KRI Pulau Rote 721, KRI Pulau Romang 723, dan KRI Pulau Rempang 723.
Harjo menyatakan, dengan tantangan persoalan saat ini, TNI AL perlu ada penambahan kapal survei baru. Sebab, saat ini hanya ada tiga kapal yang memiliki teknologi mumpuni, yaitu KRI Rigel, KRI Spica, dan KRI Dewa Kembar. ”KRI Dewa Kembar juga sudah mendekati waktu pensiun karena usianya sudah termasuk tua,” kata Harjo, Selasa (15/1/2019) di Jakarta.
Padahal, menurut Harjo, pemenuhan data hidrografi sangat penting untuk mendukung gagasan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Kapal dagang asing hanya bersedia memasuki wilayah perairan Indonesia jika tersedia peta yang menjamin jalur itu aman dilewati kapal besar dengan muatan berharga. ”Saat ini, tuntutan pembuatan peta laut semakin tinggi. Peta dua dimensi atau yang sering disebut paperchart sudah tidak lagi digunakan,” kata Harjo.
Karena itu, Pushidrosal perlu mengikuti perkembangan zaman dengan menyediakan peta multilayer. Peta multilayer merupakan peta elektronik yang menyajikan sejumlah informasi, misalnya kekuatan arus, perubahan cuaca, dan siklus pasang surut, yang dapat diakses lewat satu aplikasi elektronik.
”Tentu dengan anggaran dan alutsista yang kita punya saat ini, pasti butuh waktu yang sangat lama untuk menyelesaikan pembuatan peta multilayer yang mencakup wilayah seluruh Indonesia,” ucap Harjo. Melalui perkiraan kasar, pembuatan peta multilayer dengan tiga kapal survei yang dimiliki Pushidrosal saat ini akan membutuhkan waktu lebih dari 20 tahun.
Harjo menegaskan, anggaran pengadaan kapal survei tambahan perlu ditambah agar misi tersebut dapat lebih cepat diselesaikan. Ia meyakini, manfaat yang didapat dari pembuatan peta itu akan jauh lebih besar daripada biaya yang harus dikeluarkan
Harjo mengapresiasi prajurit TNI AL yang bekerja keras mencari CVR Lion Air PK-LQP di perairan Karawang, Senin (14/1/2019). Keberhasilan itu, katanya, merupakan bukti kegigihan prajurit menyelesaikan tugas. ”Itu membuktikan prajurit TNI AL mampu menyelesaikan tugas yang diberikan dengan baik,” kata Harjo.
Sebelumnya, CVR ditemukan pada Senin (14/1/2019) pukul 09.18 di perairan Karawang. Temuan CVR akan melengkapi analisis dari temuan kotak hitam sebelumnya, yakni perekam data penerbangan (FDR) pada 1 November 2018. CVR dan FDR merupakan dua kotak hitam yang diwajibkan ada dalam pengoperasian pesawat.
FDR memonitor beberapa parameter, seperti ketinggian, kecepatan pesawat, dan arah angin. Adapun CVR merekam percakapan di kokpit pesawat antara pilot dan kopilot serta transmisi radio dan suara mesin (Kompas, 14/1/2019).
Pada sumber yang sama, Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Soerjanto Tjahjono mengatakan, proses analisis CVR bergantung pada kompleksitas. Hal itu mencakup percakapan, situasi, dan hal-hal terkait yang terjadi di kokpit pesawat.
”Mudah-mudahan analisis tidak terlalu lama. Jika sudah selesai dianalisis dan ada laporan akhir, temuan akan dirilis. Semoga tidak sampai satu tahun dapat diumumkan penyebab kecelakaan pesawat Lion Air PK-LQP,” kata Soerjanto.(PANDU WIYOGA)