Prostitusi Daring dan “Kemabukan” Ekspose Media
Lebih dari sepekan, pemberitaan seputar kasus prostitusi online di Surabaya masih tetap bertengger di papan atas berita paling populer media-media daring. Bahkan, gegap gempitanya nyaris menenggelamkan isu-isu strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti pemulihan korban tsunami Banten dan Lampung, longsor di Cisolok, Sukabumi, atau temuan terbaru patahan aktif yang membelah kota-kota besar di Jawa.
Belum selesai membahas VA, pemain sinetron, dan rekannya, AS, yang terjerat kasus prostitusi daring, Kepolisian Daerah Jawa Timur kembali merilis enam nama baru pesohor yang terlibat dalam kasus sama, Jumat (11/1/2019). Tak tanggung-tanggung, Kepala Polda Jatim Inspektur Jenderal (Pol) Luki Hermawan turut merilis temuan ini ke media secara langsung.
Tak hanya di laman-laman media massa daring, pergunjingan dan penyebaran informasi isu-isu “seksi” ini juga bertebaran di jejaring media sosial. Selama masih tetap ramai diperbincangkan publik, maka media akan terus mengupasnya.
Situasi darurat
Hangatnya pemberitaan seputar prostitusi bebarengan dengan pengungkapan hasil-hasil penelitian penting yang mesti segera disampaikan kepada publik. Bisa dibayangkan bersama bagaimana saat ini jutaan warga di Pulau Jawa tidak menyadari bahwa mereka tinggal di atas patahan aktif seperti disampaikan Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Kompas, Kamis, 10/1/2019). Jalur patahan Lembang misalnya, dipastikan alurnya melalui pemukiman warga, sekolah, puskesmas, dan instansi militer.
Informasi-informasi seperti ini mungkin tidak terlalu menarik bagi sebagian media, namun tingkat kepentingan dan kemendesakannya tak bisa ditawar-tawar lagi. Sesuai dengan elemen dasar jurnalisme, media wajib segera menyajikan berita-berita penting dan mendesak karena loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga masyarakat.
Faktanya, jika kita menilik berita-berita utama media beberapa hari terakhir atau bahkan beberapa jam dan menit terakhir, pemberitaan tentang prostitusi masih mendominasi. Pertanyaannya, lalu di manakah loyalitas kewajiban media kepada publik?
Pengajar Etika Universitas Sanata Dharma Yogyakarta J Haryatmoko SJ mengatakan, di era pasca kebenaran saat ini, prinsip-prinsip deontologi (ilmu mengenai kewajiban etis) jurnalisme semakin diabaikan. Beberapa prinsip etika jurnalisme yang diabaikan, antara lain hormat dan perlindungan atas hak warna negara akan informasi yang terpercaya, tepat, serta jujur berikut sarana-sarana untuk mendapatkannya. Prinsip etika jurnalisme lain yang juga diabaikan adalah hak dan perlindungan atas hak individu warga negara, seperti hak bersuara, hak berekspresi, jaminan atas privasi, dan asas praduga tak bersalah.
Di era pasca kebenaran saat ini, prinsip-prinsip deontologi (ilmu mengenai kewajiban etis) jurnalisme semakin diabaikan.
Ekspose berlebihan
Dalam konteks pemberitaan prostitusi daring di Surabaya, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo atau biasa disapa Stanley menilai pemberitaan media terlampau over ekspose, bahkan cenderung menjurus pada trial by press atau pengadilan oleh media. Pers bertubi-tubi “menghakimi” secara massal seseorang tanpa mengetahui latar belakang di baliknya.
“Bagaimanapun asas praduga tak bersalah mesti diterapkan. Sebelum keputusan pengadilan dinyatakan berkekuatan hukum tetap atau inkracht, maka nama-nama terduga pelaku kasus prostitusi semestinya disamarkan namanya, cukup disebut inisialnya, dan wajahnya harus di-blur saat ditampilkan di media” ucap Stanley.
Sebaliknya, dalam kasus ini, media justru “berlomba-lomba” menguak seputar kehidupan para perempuan yang diduga terlibat dalam kasus prostitusi daring yang kebetulan beberapa di antaranya adalah artis. Sisi apapun yang terkait dengan diri mereka dikupas habis, mulai dari masa kecilnya, orang tuanya, pacarnya, media sosialnya, hingga apapun yang sebenarnya tak ada kaitannya sama sekali dengan kasus yang sedang dialaminya.
Dalam kasus prostitusi online, fenomena over ekspose pemberitaan di media massa juga berpotensi mengancam keselamatan para perempuan yang terlibat. Karena identitas pribadinya telah terkuak di ruang publik, maka sebelum memberikan keterangan lebih detail ke penyidik, mereka bisa dibungkam oleh pihak-pihak lain yang terkait dalam sindikat ini.
“Mereka bisa menjadi saksi-saksi kunci. Janganlah mereka dipermalukan, dibuat putus asa, apalagi diseret-diseret keluarganya. Beberapa media tampak ingin membuat drama dalam menyampaikan pemberitaan, seperti ketika VA dijemput ayahnya. Apa kesalahan bapaknya sehingga dia harus disebut-sebut?” papar Stanley.
“Penghakiman” terhadap VA dan AS tidak berhenti di media massa. Di jejaring sosial, betaburan gambar-gambar meme banyolan berisi foto-foto mereka. VA dan AS yang sudah dipermalukan di media kembali dipermalukan lagi di dunia maya tanpa tahu siapa yang mempermalukannya.
Dalam pernyataan resminya, Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) juga menyayangkan ekspos yang berlebihan dalam kasus prostitusi daring karena besarnya pemberitaan melebihi proses pengungkapan kasus yang baru berjalan. Pemberitaan seringkali mengeksploitasi korban, membuka akses informasi korban kepada publik, sampai pemilihan judul yang pada akhirnya membuat masyarakat berpikir bahwa mereka “pantas” menjadi korban kekerasan dan layak untuk dihakimi.
Pemberitaan seringkali mengeksploitasi korban, membuka akses informasi korban kepada publik, sampai pemilihan judul yang pada akhirnya membuat masyarakat berpikir bahwa mereka “pantas” menjadi korban kekerasan dan layak untuk dihakimi.
Komnas Perempuan telah melakukan analisa pada sejumlah media yang telah melanggar kode etik jurnalisme, serta pemuatan berita yang sengaja mengeksploitasi seseorang secara seksual. Tiga komisioner Komnas Perempuan, yaitu Mariana Amiruddin, Budi Wahyuni, dan Indri Suparno sepakat menyatakan lima butir sikap terkait kasus ini.
Pertama, penegak hukum mesti berhenti mengekspos secara publik penyelidikan prostitusi daring yang dilakukan. Kedua, media semestinya tidak mengeksploitasi perempuan yang dilacurkan, termasuk dalam hal ini pesohor yang diduga terlibat dalam prostitusi daring. Ketiga, media harus menghentikan pemberitaan yang bernuansa misoginis dan cenderung menyalahkan perempuan.
Keempat, meminta masyarakat tidak menghakimi secara membabi buta kepada perempuan korban eksploitasi industri hiburan. Kelima, mengimbau semua pihak untuk kritis dan mencari akar persoalan, bahwa kasus prostitusi daring hendaknya dilihat sebagai jeratan kekerasan seksual di mana banyak perempuan ditipu, diperjualbelikan, tidak sesederhana pandangan masyarakat bahwa prostitusi adalah kehendak bebas perempuan yang menjadi "pekerja seks" sehingga mereka rentan dipidana atau dikriminalisasi.
Di tengah hiruk-pikuk media memberitakan kasus prostitusi daring, Stanley kembali mengingatkan agar pers menghentikan aksi “perundungan” secara massif terhadap para perempuan yang disebut-sebut penyidik dalam kasus ini. Seperti peristiwa-peristiwa sebelumnya, begitu polisi menangkap tersangka figur publik dalam kasus seperti ini, maka media langsung memberitakannya tanpa melakukan cek silang, verifikasi, konfirmasi dan klarifikasi yang berimbang.
“Butuh kedewasaan teman-teman media, khususnya para jurnalis senior untuk mengembalikan tanggungjawab utama mereka di newsroom. Jika pemberitaan sudah terlampau keterlaluan dan berlebihan sebaiknya segera dihentikan. Pemberitaan tentang prostitusi daring sudah terlampau over ekspose dan cenderung mengarah ke trial by press,” tambahnya.