JAKARTA, KOMPAS — Isu komunisme kembali merasuki kehidupan politik di Indonesia melalui penyitaan buku berisi ajaran komunis. Alih-alih menjaga persatuan, beberapa pihak menilai razia itu hanya menimbulkan keresahan. Masyarakat pun akan meninggalkannya.
Belakangan ini media memberitakan razia pada sebuah toko buku di Padang, Sumatera Barat, yang dilakukan aparat gabungan TNI, Polri, dan kejaksaan negeri setempat. Razia itu dilaksanakan dengan mengumpulkan buku-buku yang diduga berisi ajaran tentang paham komunis. Dalam aksi tersebut, aparat menyita enam eksemplar buku, tiga diantaranya disinyalir memiliki muatan komunisme.
Terkait razia di Padang, Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan, kejaksaan memang memiliki tugas, kewajiban, dan wewenang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Pasal 30 Ayat 2 Huruf b menyatakan, salah satu tugas kejaksaan adalah mengawasi peredaran barang cetakan.
Saat ini, Kejaksaan Negeri Padang dan unsur-unsurnya mulai mengkaji isi-isi buku tersebut. Penelitian konten karya tulis melibatkan sejumlah ahli dari berbagai bidang, seperti bahasa, sejarah, dan agama. Kejaksaan juga bekerja sama dengan kepolisian dan TNI.
”Kami belum bisa menentukan apakah nanti akan dipidana atau tidak. Harus ada hasil putusan dari tim pengkaji terlebih dahulu agar pasti,” kata Prasetyo saat ditemui pada Rabu (9/1/2019).
Sungguh pun satu buku terbukti melanggar dan mesti disita, penyitaan tetap wewenang petugas pengadilan. Bukan kerjaan tentara.
Aksi razia bukan yang pertama kali terjadi. Akhir Desember 2018, TNI juga mengamankan beberapa buku yang diduga berisi ajaran paham komunis pada tiga toko buku di Jalan Brawijaya, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Buku yang dibawa dari ketiga toko buku itu adalah Gerwani Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan sebanyak 10 buku, Bayang-bayang PKI sejumlah 6 buku, Benturan NU-PKI 1948-1965 10 buku, Menempuh Jalan Rakyat DN Aidit, dan Negara Madiun? Kesaksian Sumarsono Pelaku Perjuangan.
Kepala Komando Distrik Militer (Kodim) Kediri Letnan Kolonel (Kav) Dwi Agung Sutrisno mengatakan, kejaksaan, kepolisian, dan beberapa pihak terkait lain akan mengkaji apakah buku-buku itu mengandung unsur komunisme (kompas.id, 27/12/2018).
Pemberitaan terkait razia buku yang dianggap mengandung ajaran komunisme itu pun ramai dibicarakan warga di media sosial. Ada yang mendukung razia tersebut, tetapi tak sedikit yang menentangnya. Apalagi razia itu dilakukan di tengah kondisi literasi masyarakat yang masih rendah.
”Sungguh pun satu buku terbukti melanggar dan mesti disita, penyitaan tetap wewenang petugas pengadilan. Bukan kerjaan tentara,” salah satu cuitan pengguna Twitter, menanggapi keterlibatan tentara dalam razia buku.
Pantauan di Twitter pada Kamis pagi, kata kunci ”razia buku” memiliki 560 cuitan dari warganet, sementara kata ”komunisme” digunakan pada 110 unggahan status pengguna. Di Instagram, tagar komunisme memiliki sekitar 7.000 unggahan dan tagar komunis sekitar 21.000.
Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo saat dihubungi di Jakarta mengatakan, isu komunisme di Indonesia adalah ”mainan” lama yang selalu muncul saat tahun politik. Masalah ini digunakan sejumlah pihak untuk menimbulkan keresahan dan memecah persatuan di tengah masyarakat. Isu ini juga dimanfaatkan untuk mencoba meraih suara dari lawan politiknya dan juga pemilih yang belum menentukan pilihannya (undecided voters).
Ari melanjutkan, penggunaan isu komunisme secara terus-menerus akan menimbulkan pemahaman di tengah warga. Mereka akan mengerti bahwa masalah lama, seperti komunisme, agama, dan kesukuan, hanya muncul pada waktu tertentu. Dari pola yang dipelajari masyarakat, mereka akan semakin cerdas dalam menyikapi permasalahan, seperti komunisme.
Ia juga berpendapat, isu-isu lama, seperti komunisme, akan ditinggalkan. Seiring dengan perkembangan zaman, masalah yang dihadapi negara dan rakyatnya di masa depan bukanlah soal pemahaman ideologi. Kebijakan imigrasi, populasi, dan pengembangan teknologi adalah hal penting yang perlu mendapat perhatian khusus agar Indonesia tidak tertinggal dalam kancah internasional.
”Masih ada kemungkinan untuk isu ini kembali digulirkan di masa depan, tetapi kemungkinannya kecil,” katanya. (Lorenzo Anugrah Mahardhika)