“Penghakiman” Massal Media dalam Kasus Prostitusi "Online"
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemberitaan media tentang kasus prostitusi online di Surabaya yang melibatkan artis VA dan rekannya, AS, sudah over ekspose, bahkan cenderung menjurus trial by press atau pengadilan oleh media. Dalam kasus ini, pers bertubi-tubi “menghakimi” secara massal seseorang tanpa mengetahui latar belakang di baliknya.
Beberapa hari terakhir, dunia maya dan jejaring media sosial benar-benar dijejali berita dan informasi seputar kasus prostitusi online (daring) di Surabaya. Hanya dalam waktu 0,70 detik, mesin pencarian google langsung mencatat 196 juta hasil terkait hal ini.
“Bagaimana pun asas praduga tak bersalah mesti diterapkan. VA dan ZA adalah korban dari jaringan prostitusi. Mereka tidak sendirian karena di sana ada mucikari, pengawal, penjemput, dan sebagainya,” ucap Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo atau Stanley, Selasa (8/1/2019), di Jakarta.
Menurut Stanley, sebelum keputusan pengadilan dinyatakan berkekuatan hukum tetap atau inkracht, maka nama-nama terduga pelaku kasus prostitusi semestinya disamarkan, cukup disebut inisialnya, dan wajahnya diblur saat ditampilkan di media. Namun dalam kasus ini, media justru “berlomba-lomba” menguak seputar kehidupan pribadi VA yang kebetulan adalah seorang artis, mulai dari membeberkan masa kecilnya, orangtuanya, hingga pacarnya yang tak ada kaitannya sama sekali.
Membahayakan korban
Dalam kasus prostitusi daring ini, fenomena over ekspose pemberitaan di media massa juga berpotensi mengancam keselamatan VA dan AZ. Karena identitas pribadinya telah terkuak di ruang publik, sebelum memberikan keterangan lebih detail ke penyidik, mereka bisa terancam dibungkam oleh pihak-pihak lain yang terkait dalam sindikat ini. Karena itulah, dalam hal ini, Stanley beranggapan bahwa VA dan AZ adalah pelaku sekaligus korban.
“Mereka bisa menjadi saksi-saksi kunci. Janganlah mereka dipermalukan, dibuat putus asa, apalagi diseret-diseret keluarganya. Beberapa media tampak ingin membuat drama dalam menyampaikan pemberitaan, seperti ketika VA dijemput ayahnya. Apa kesalahan bapaknya sehingga dia harus disebut-sebut?” kata Stanley.
“Penghakiman” terhadap VA dan AZ tidak berhenti di media massa. Di jejaring sosial, betaburan gambar-gambar meme banyolan berisi foto-foto mereka. VA dan ZA yang sudah dipermalukan di media kembali dipermalukan lagi di dunia maya tanpa tahu siapa yang mempermalukannya.
Dalam pernyataan resminya, Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) menyayangkan ekspos yang berlebihan pada perempuan (korban) prostitusi daring, sehingga besarnya pemberitaan melebihi proses pengungkapan kasus yang baru berjalan. Pemberitaan seringkali mengeksploitasi korban, membuka akses informasi korban kepada publik, sampai pemilihan judul yang pada akhirnya membuat masyarakat berpikir bahwa korban “pantas” menjadi korban kekerasan dan layak untuk dihakimi.
Komnas Perempuan telah menganalisa sejumlah media yang melanggar kode etik jurnalisme, serta pemuatan berita yang sengaja mengeksploitasi seseorang secara seksual, terutama korban. Dalam analisa media tersebut, masih banyak media yang saat memberitakan kasus kekerasan terhadap perempuan, utamanya kasus kekerasan seksual, tidak berpihak pada korban.
Stop eksploitasi korban
Tiga komisioner Komnas Perempuan, yaitu Mariana Amiruddin, Budi Wahyuni, dan Indri Suparno menyatakan lima butir sikap terkait kasus ini. Pertama, penegak hukum mesti berhenti mengekspos secara publik penyelidikan prostitusi daring ini.
Kedua, media agar tidak mengeksploitasi perempuan yang dilacurkan, termasuk dalam hal ini artis yang diduga terlibat dalam prostitusi daring. Ketiga, media harus menghentikan pemberitaan yang bernuansa misoginis dan cenderung menyalahkan perempuan.
Keempat, masyarakat diminta tidak menghakimi secara membabi buta kepada perempuan korban ekspoitasi industri hiburan. Kelima, mengimbau semua pihak untuk kritis dan mencari akar persoalan, bahwa kasus prostitusi daring hendaknya dilihat sebagai jeratan kekerasan seksual dimana banyak perempuan ditipu, diperjualbelikan, tidak sesederhana pandangan masyarakat bahwa prostitusi adalah kehendak bebas perempuan yang menjadi "pekerja seks" sehingga mereka rentan dipidana/ dikriminalisasi.
Komnas Perempuan telah melakukan sejumlah pemantauan dan pendokumentasian tentang berbagai konteks kekerasan terhadap perempuan yang berhubungan dengan industri prostitusi atau perempuan yang dilacurkan. Mereka adalah perempuan korban perdagangan orang, perempuan dalam kemiskinan, korban eksploitasi orang-orang dekat, serta perempuan dalam jeratan muncikari, bahkan bagian dari gratifikasi seksual. Sekalipun dalam level artis, kerentanan itu kerap terjadi.
Prostitusi online dikhawatirkan sebagai bentuk perpindahan dan perluasan lokus dari prostitusi offline. Prostitusi online menyangkut soal cyber crime yang berbasis kekerasan terhadap perempuan, terutama kasus revenge porn (balas dendam bernuansa pornografi) yang dapat berupa distribusi gambar/foto atau percakapan tanpa seizin yang bersangkutan. Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2018 pengaduan langsung menyangkut revenge porn ini semakin kompleks.
Menurut Komnas Perempuan, perlu ada kajian mendalam karena tidak sedikit yang menjadi korban femicide (dibunuh karena dia perempuan) atau mengalami kematian gradual karena kerusakan alat reproduksi. Karenanya Komnas Perempuan berkesimpulan bahwa prostitusi adalah kekerasan terhadap perempuan, namun Komnas Perempuan menentang kriminalisasi yang menyasar pada perempuan yang dilacurkan.