Srikandi Hebat untuk Masa Depan Mitigasi Bencana
Jumat (4/1/2019) malam, Ny Vera (45), asal Kuta, Kabupaten Badung, Bali, mengantar anak lelaki bungsunya berusia 19 tahun ke sebuah klinik yang tak begitu jauh dari rumahnya. Wajah Vera panik. Namun, ia tetap mencoba tenang dan tegar di depan anak serta beberapa orang yang ada di ruang tunggu klinik itu.
”Tiyang (saya) susah kalau panak (anak) sakit. Tapi, namanya ibu nggih... apa pun situasinya harus tetap tenang pang enggal mutusin kel kije lakune niki (biar segera dapat memutuskan akan ke mana ini dibawa),” kata Vera sambil menunggu panggilan pemeriksaan anaknya.
Vera mengatakan, anaknya merasakan perutnya melilit. Gejalanya terjadi mulai sehari sebelumnya. Untuk meringankan sakit, ia memberi anaknya minuman dan mengompres dengan kain hangat hingga membalurkan minyak penghangat. Namun, karena anaknya terus kesakitan, ia memutuskan pergi ke klinik.
Begitulah ibu-ibu. Nalurinya melindungi. Usaha memastikan semuanya tetap sehat dan selamat menjadi prioritas utama. Hal itu juga yang mendorong Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memilih mereka dilatih menjadi Srikandi Siap untuk Selamat.
Deputi Penanggulangan dan Kesiapsiagaan BNPB B Wisnu Widjaja mengatakan, ibu-ibu punya peran besar dalam kesiapsiagaan bencana. Hanya saja, kekuatan itu masih perlu sentuhan manajemen dan latihan agar mereka bisa menjadi agen kebencanaan yang ideal kelak.
”Sayang sekali jika potensi itu tidak dilatih. Ujungnya terus menjadi korban. Oleh karena itu, kami merasa perlu dan harus berperan aktif melatih kesiapsiagaan terhadap kelompok paling rentan, perempuan dan anak, khususnya agar siap menghadapi bencana” ujarnya.
Ryan A Syakur dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia dalam artikelnya, ”Kerentanan Berbasis Gender pada Situasi Bencana” (2018), mengutip makalah ”Gender Equality, Work, and Disaster Reduction: Making the Connection” oleh Elaine Enarson, terkait dengan hal itu.
Elaine menyatakan, konsep kerentanan merupakan sesuatu yang sangat kompleks. Kerentanan individu ketika berhadapan dengan bencana dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya perbedaan akses dan kontrol terhadap sumber daya.
Oleh karena itu, akses dan kontrol terhadap sumber daya dibutuhkan oleh individu untuk bertahan hidup dan memulihkan diri dari kondisi pasca-bencana. Menurut Elaine, kelompok individu atau masyarakat yang memiliki kerentanan sangat tinggi adalah kelompok perempuan dan anak.
Argumen Elaine didukung data UN Office of the Special Envoy for Tsunami Recovery (UNSETR) tentang bencana tsunami tahun 2004. Data menunjukkan korban meninggal dengan jumlah terbesar adalah perempuan dan anak perempuan.
Analisis lain dalam artikel Ryan berasal dari London School of Economics di 141 negara pada 2008. Hasilnya menunjukan, ketika terjadi bencana, jumlah korban perempuan relatif lebih besar hingga empat kali lipat dibandingkan dengan jumlah korban laki-laki. Korban perempuan umumnya terperangkap di rumah saat bencana datang karena aktivitas domestiknya. Sementara itu, pada saat yang sama lelaki umumnya tengah melakukan aktivitas di luar rumah. Kondisi itu membuat laki-laki punya peluang menyelamatkan diri relatif lebih besar.
Wisnu juga menjelaskan beberapa referensi lainnya. Salah satunya badai siklon di Bangladesh tahun 1991. Saat itu, korban mencapai 140.000 jiwa. Sebanyak 90 persen di antaranya adalah perempuan. Dampak badai Katrina di Amerika Serikat juga demikian. Sebagian besar korban adalah ibu-ibu beserta anak-anaknya. Pun korban tsunami Aceh tahun 2004. Perempuan, anak-anak, dan orang lanjut usia lagi-lagi menjadi korban tertinggi.
Tidak berhenti sampai di sana, merujuk survei masyarakat yang selamat dari gempa bumi Great Hanshin Awaji di Kobe, Jepang, tahun 1995, dari 95 persen korban selamat, mereka yang mampu menyelamatkan diri sendiri sebanyak 34,9 persen, diselamatkan keluarga 31,9 persen, diselamatkan tetangga 28 persen, regu penolong 1,7 persen, dan lain-lain 0,9 persen.
”Kekuatan Emak-emak”
Berdasarkan survei-survei itu, Wisnu mengatakan menjadi pertimbangan betapa pentingnya menggaungkan kesiapsiagaan menghadapi bencana meskipun, lanjutnya, bencana itu bukan hanya berasal dari adanya siklus alam.
”Setidaknya masyarakat dilatih tidak panik dan dapat segera mengambil keputusan dalam kondisi bencana apa pun. Alasannya, kepanikan justru berpotensi menimbulkan bencana baru,” ujar Wisnu.
Oleh karena itu, tahun ini, BNPB memilih menjadikan ”kekuatan emak-emak” ini sebagai ”Srikandi Siap untuk Selamat” dalam gerakan Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB) 2019. Sebelumnya, BNPB mencatat telah menggerakkan 30 juta orang untuk latihan kesiapsiagaan bencana bersama se-Indonesia pada HKB tahun lalu, 26 April. Tanggal itu dipilih sekaligus memperingati kelahiran Undang-Undang 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang ini merupakan perangkat hukum pertama yang mengubah paradigma penanggulangan bencana dari responsif ke preventif.
Ke depannya, BNPB berharap kegiatan yang dilakukan serentak itu bisa meningkatkan pemahaman masyarakat tentang karakteristik bencana hingga memperbaiki minimnya kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi ancaman di sekitarnya. Pelatihan secara teratur diharapkan bisa memunculkan budaya kewaspadaan dan kesiapsiagaan di Indonesia.
”Dengan menyasar para srikandi ini, harapannya mampu menembus angka 50 juta orang pada HKB 26 April 2019. Kami memulainya dari ibu-ibu darma wanita internal BNPB serta akan mengajak darma wanita lembaga lainnya. Semoga kekuatan srikandi Indonesia mampu semakin menjadikan bangsa ini makin tangguh menghadapi bencana,” kata Wisnu.