JAKARTA, KOMPAS — Pencarian perekam suara di kokpit(CVR) pesawat Lion Air JT-610 dengan nomor registrasi PK-LQP kembali dilanjutkan setidaknya hingga tujuh hari ke depan. Sejumlah 88 anggota tim pencari gabungan yang diangkut menggunakan KRI Spica berkejaran dengan waktu maksimum CVR memancarkan sinyal ping yang tersisa 15 hari lagi.
Kepala Komite Nasional Keselamatan Transportasi Soerjanto Tjahjono mengatakan, lokasi CVR diperkirakan berada di area seluas 25 meter persegi yang terletak sejauh 50 meter dari lokasi penemuan perekam data penerbangan(FDR).
”Pencarian kali ini akan dilakukan dengan sangat teliti di area yang telah dipetakan sebelumnya,” kata Soerjanto, Selasa (8/1/2019).
Pesawat Boeing 737-MAX 8 itu jatuh di Tanjung Pakis, perairan Karawang, Jawa Barat, Senin (29/10/2018), 12 menit setelah lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta. Dari FDR yang ditemukan pada 1 November, diketahui pesawat itu telah terbang 385 kali dengan 6 penerbangan mengalami kerusakan.
Pada penerbangan tujuan Pangkal Pinang, 29 Oktober, pesawat mengalami trimming aircraft nose down (AND). Pesawat itu secara otomatis mengarahkan ”hidungnya” ke bawah. Masalah serupa terjadi sehari sebelumnya saat pesawat terbang dari Denpasar ke Bandara Soekarno-Hatta, Banten (Kompas, 29/11/2018).
Kepala Pusat Hidro-Oseanografi TNI AL Laksamana Muda Harjo Susmoro mengatakan, pencarian CVR diperlukan untuk mengetahui kondisi terakhir di ruang kokpit dan ruang penumpang sebelum pesawat itu jatuh. Pencarian dijadwalkan berlangsung selama tujuh hari, tetapi tidak tertutup kemungkinan akan diperpanjang hingga 15 hari jika diperlukan.
Harjo menyebutkan, dari total 88 orang yang ada di KRI Spica, sebanyak 18 orang merupakan penyelam TNI AL. Selain itu, dalam tim itu juga terdapat enam peneliti yang bertugas mengoperasikan alat pencari dan menganalisis data yang diperoleh alat pencari.
Kapal dengan nomor lambung 934 itu dibekali sejumlah alat pencari canggih, yaitu remotely operated underwater vehicle, multibeam echosounder, magnetometer, dan sub-buttom profiler. Kelima alat itu akan digunakan secara bergiliran untuk memetakan serpihan pesawat di dasar laut dan mendeteksi CRV yang kemungkinan tertimbun serpihan ataupun lumpur.
Harjo menjelaskan, magnetometer atau alat deteksi magnetik yang berada di KRI Spica mampu mendeteksi logam yang tertimbun hingga 60 meter di bawah tanah. ”Kelima alat itu digunakan secara bergantian untuk mempertajam data yang diperoleh antara satu alat dan yang lainnya,” ujarnya.
Memastikan penyebab
Mengutip berita yang dilansir The New York Times pada 13 November, Boeing diduga lalai melatih pilot 737-MAX 8 memahami cara kerja sistem darurat otomatis di pesawat itu. Sistem baru itu dirancang menurunkan pesawat secara otomatis jika pesawat dirasa terlalu cepat menanjak ke atas.
Sistem itu sebenarnya bisa dinonaktifkan secara manual oleh pilot jika dirasa ”hidung” pesawat terlalu menghujam. Hanya saja, Boeing belum melatih pilot untuk memahami sistem baru itu. Kesalahan operasi pada sistem itu bisa membuat pesawat meluncur ke bawah tanpa mampu dikendalikan.
Kecelakaan pesawat rute Jakarta-Pangkal Pinang itu mengakibatkan semua penumpang, 181 orang dengan 8 awak, tewas. Berdasarkan data Litbang Kompas, sejumlah 125 korban dapat diidentifikasi tim Disaster Victim Identification Polri.
Harjo menegaskan, misi pencarian yang diemban KRI Spica tidak menggunakan dana dari pihak Lion Air. Menurut dia, pencarian sepenuhnya menggunakan uang negara. ”Kerja keras ini dilakukan untuk memastikan penyebab kecelakaan agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di Indonesia,” ujarnya.