SIDOARJO, KOMPAS — Bupati Mojokerto (nonaktif) Mustofa Kamal Pasa (45) dituntut hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 750 juta atau subsider 6 bulan kurungan. Terdakwa korupsi perizinan menara telekomunikasi ini juga dituntut pidana tambahan membayar uang pengganti Rp 2,7 miliar subsider 2 tahun penjara.
Tuntutan terhadap Bupati Mojokerto dua periode itu disampaikan oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi, Eva Yustisiana dan Joko Hermawan, dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Surabaya, Jumat (28/12/2018). Sidang dipimpin majelis hakim yang diketuai I Wayan Sosiawan.
”Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan pertama melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,” ujar Eva.
Dalam materi tuntutannya, jaksa KPK juga meminta majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa Mustofa Kamal Pasa berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik yang diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan selama lima tahun terhitung sejak selesai menjalani pidana penjara pokok.
Terdakwa Mustofa didakwa menerima suap izin pendirian 22 menara telekomunikasi dengan nilai total Rp 2,7 miliar. Suap itu diterima dari Ockyanto pihak dari PT TBG (Tower Bersama Group) sebesar Rp 2,2 miliar dan Rp 550 juta dari Direktur Operasi PT Protelindo Onggo Wijaya.
Sebelumnya pembangunan menara telekomunikasi itu mangkrak sejak 2014 bahkan ada yang sejak 2013 karena izin dari pemerintah daerah tidak segera terbit. Terdakwa meminta Rp 300 juta per menara untuk memberikan izin. Nilai itu tidak termasuk biaya retribusi resmi pengurusan izin baik izin prinsip pemanfaatan ruang (IPPR) maupun izin mendirikan bangunan (IMB).
Setelah negosiasi, terdakwa bersedia menurunkan permintaannya menjadi Rp 200 juta per menara sehingga total uang yang disetorkan seharusnya Rp 4,4 miliar. Namun, dalam perjalanannya baru PT TGB yang membayar lunas Rp 2,2 miliar, sedangkan PT Protelindo baru menyerahkan Rp 550 juta.
Dalam materi tuntutannya, jaksa KPK mengatakan hal yang memberatkan terdakwa tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi. Terdakwa tidak mengakui perbuatannya dan membantah alat bukti yang disampaikan di persidangan, termasuk rekaman percakapan. Adapun keadaan yang meringankan terdakwa belum pernah dihukum dan berlaku sopan selama persidangan.
Menanggapi tuntutan itu, terdakwa Mustofa berdiskusi dengan kuasa hukumnya, Maria Fatimah. Mereka sepakat mengajukan nota pembelaan yang akan disampaikan pada sidang berikutnya. Menurut Maria, tuntutan merupakan hak jaksa dan pihaknya juga memiliki hak untuk menyampaikan pembelaan. Pada akhirnya majelis hakim yang akan menentukan putusannya.
Delapan tahun
Wali Kota Blitar Samanhudi Anwar dituntut 8 tahun penjara oleh jaksa KPK, Dody Sukmono, pada sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya, Kamis (27/12/2018). Selain itu, terdakwa dituntut pidana denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Dalam sidang yang dipimpin majelis hakim yang diketuai Agus Hamzah itu, jaksa juga menuntut agar terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp 5,1 miliar atau diganti dengan hukuman penjara selama 2 tahun.
Menurut jaksa, Samanhudi terbukti korupsi menerima suap dari pengusaha rekanan Pemerintah Kota Blitar, Susilo Prabowo, senilai Rp 6,6 miliar. Nilai itu merupakan akumulasi suap yang diterima terdakwa sejak 2014 hingga 2018.
Terdakwa ditangkap dalam operasi tangkap tangan karena menerima suap terkait proyek penyediaan barang atau jasa fasilitas pendukung stadion olahraga serta pembangunan tahap kedua gedung SMP Negeri 3 Kota Blitar. Proyek itu didanai APBD Kota Blitar tahun anggaran 2016 dan 2017.