Jangan Lagi Mengulang Kegagalan Blok G
Sore itu, Efendi (53) menggelar lapaknya di trotoar Jalan Kebon Jati, seberang Blok G Pasar Tanah Abang. Dia berjualan kaos dan pakaian perempuan. “Lumayanlah hari ini,” kata pedagang kaki lima itu, Jumat (21/12/2018).
Efendi dulunya termasuk pedagang yang direlokasi ke Blok G. Tempat tersebut diresmikan pada 2 September 2013 oleh Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta kala itu. Sebanyak 968 kios di lantai 2 dan lantai 3 pasar terisi penuh oleh pedagang (Kompas, 2/9/2013).
Mulanya, lokasi tersebut menjanjikan keuntungan bagi pedagang. Berbagai kegiatan, seperti acara musik, diadakan oleh pengelola untuk menarik pengunjung. Penjualan para pedagang pun bagus. Namun, itu hanya berlangsung dua bulan.
Bulan-bulan berikutnya dijalani dengan getir oleh pedagang. Jangankan untuk balik modal, untuk makan dan bayar sewa tempat saja mereka kesulitan. Banyak di antara mereka yang rontok dan terlilit utang.
“Ada yang gulung tikar dan pulang kampung. Adapula yang melarikan diri untuk menghindari utang. Saya juga terkena utang, tetapi tidak sebesar mereka, Rp 10 juta,” ujar Efendi.
Setelah dua bulan pertama itu, Efendi mulai memutar otak. Untuk menutupi kerugian dari dagangan di Blok G, dia menggelar dagangan di pasar malam-pasar malam. Namun, tidak lama karena kondisi fisiknya yang menua. Genap setahun dia akhirnya turun, menggelar lapak di trotoar.
“Meskipun hanya di trotoar, tetapi lebih mendingan daripada di atas. Lima bulan pertama turun, saya bisa melunasi hutang,” ujarnya.
Efendi merupakan salah satu PKL yang ditawarkan kios di lantai 7 Blok F. Tawaran itu ditolak olehnya. Dia khawatir pilihan itu hanya akan mengulang luka lama, semasa berjualan di Blok G. “Takutnya nasib saya beradik kakak saja dengan semasa berjualan di Blok G,” ujarnya.
Kisah tak jauh berbeda juga diungkapkan oleh Aciak, PKL lainnya yang juga direlokasi ke Blok G. Sekarang dia berjualan di trotoar Jalan Kebon Jati, setelah sebelumnya sempat berjualan di pasar malam-pasar malam untuk menutupi rugi. Kios di Blok G hanya jadi gudang dagangan atau sesekali dibuka istrinya berjualan di akhir pekan.
Aciak lebih memilih diuber-uber Satuan Polisi Pamong Praja daripada harus merugi tetap berdagang di Blok G. “Di trotoar saya bisa dapat bersih Rp 500.000 sampai Rp 1 juta sehari. Lebih baik begitu daripada merugi karena tidak ada penjualan di Blok G,” ujarnya.
Sepi
Pantauan di lantai 3 Blok G, kemarin siang, semua kios tutup. Kondisi kios tidak terawat. Karat, debu, dan jaring laba-laba menempel di dinding ataupun pintu gulung (rolling door) kios. Di beberapa sudut, tercium bau pesing.
Di lantai 2 Blok G, sebagian besar kios juga tutup. Kondisinya fisiknya tidak jauh berbeda dibandingkan kios di lantai 3, kecuali beberapa kios yang masih dipakai pedagang.
Menurut pedagang yang masih bertahan di sana, tinggal sekitar 20-25 pedagang yang masih membuka kios, yakni di dua deret paling depan. Sisanya hanya dijadikan gudang dagangan ataupun ditinggalkan pemiliknya.
“Hari Jumat sebagian pedagang yang masih bertahan memang tidak buka,” kata Aisyah (49), pedagang yang masih bertahan di lantai 2 Blok G.
Menurut Aisyah, kondisi seperti ini sudah berlangsung tidak lama setelah pasar diresmikan. Dia tidak tahu penyebab pasti pasar kembali sepi, tetapi menurutnya, karena pengunjung sudah tidak lagi penasaran. Tidak ada lagi acara-acara untuk menarik pengunjung.
Aisyah bukannya tidak terdampak oleh sepinya pengunjung. Akan tetapi, dia memilih bersabar. Beberapa pengunjung masih datang berbelanja karena kiosnya tepat di depan pintu utama pasar. Namun, jumlah tersebut tidak banyak. Omzet rata-rata Rp 150.000 sehari saja.
“Akhir-akhir ini, saya lebih mengandalin pesanan dari WA (Whatsapp). Kalau ada rezeki, kadang-kadang masuk pesanan menyablon kaos dari langganan jauh. Bisa 50 helai kaos, kira-kira Rp 1 juta, tetapi tidak tiap hari,” ujarnya.
Tidak strategis
Rika (35), PKL di Jalan Jati Baru Raya, mengatakan, dirinya ditawari untuk pindah ke lantai 7 Blok F. Dia pun sudah meninjau tempat relokasi. Akan tetapi, dia kecewa karena lokasinya yang tidak strategis, terutama bagi PKL.
“Pemerintah ini kadang tidak berpikir pula memberikan tempat. Memang sih, katanya, mau digratiskan tiga bulan pertama. Tapi digratiskan pun, kalau gak ada jual beli, uang keluar saja. Apa kita tidak makan? Tidak perlu ongkos?” ujarnya.
Pantauan di lantai 7 Blok F, Jumat siang, sebanyak 70 kios dari 150 kios yang disediakan, sudah mulai dipasangi pintu gulung. Sebagian besar kios tersebut sudah selesai dipasangi.
Jembatan Penyeberangan Multiguna (JPM) Tanah Abang tidak terhubung langsung dengan lantai 7 Blok F. Untuk bisa ke sana, pengguna JPM mesti melewati lantai 1 Central Tanah Abang dan lantai 2 blok F. Dari lantai 2 blok F, pengunjung bisa naik lift atau tangga menuju lantai 7.
Berdasarkan pantauan di lantai 7 Blok F, lokasi tempat penempatan PKL memiliki dinding terbuka. Meski demikian, tempatnya agak gelap karena tidak ada penerangan.
Lokasi itu berdekatan dengan tempat parkir lantai 7 A Blok F dan persis satu tingkat di atas areal parkir lantai 6 Blok F. Tempat itu lengang dari pengunjung.
Perlu konsep jelas
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Tutum Rahanta berpendapat, penataan PKL di Tanah Abang membutuhkan konsep yang jelas. Jika tidak, persoalan ini tidak akan pernah selesai.
Menurut Tutum, tidak masalah merelokasi PKL ke lantai 7 Blok F, asalkan pengelola pasar bisa menjawab tantangan untuk menciptakan keramaian pengunjung. Selain itu, pemerintah dalam mengambil kebijakan juga perlu mempelajari kemampuan pedagangnya, jenis barang dagangannya, karakteristik pengunjungnya, dan sebagainya.
"Jadi tidak bisa dipaksakan. Itu kalau hanya basa-basi, sekadar dipindah-pindahkan tanpa bisa menciptakan keramaian, mereka akan turun ke jalan lagi. Bagi PKL, tidak penting tempatnya mewah atau tidak, yang penting mereka bisa jualan atau tidak dan laku. Dulu Blok G relokasi ke sana. Bikin banyak, tetapi akhirnya tidak ada yang datang. Perlu konsep. Tidak boleh sembarangan," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Utama PD Pasar Jaya Arief Nasrudin mengatakan, tempat PKL di Blok F cukup bagus. Apalagi arus pengunjung ke Blok F bertambah semenjak dioperasikannya JPM Tanah Abang.
Arief meminta semua pihak tidak berandai-andai ataupun berpikiran negatif terkait sepi atau ramainya lantai 7 Blok F. Ia meminta agar semua pihak menjalankan rencana ini dulu, baru kemudian terlihat apakah tempat itu jadi destinasi konsumen atau tidak.
"Kalau tidak, kita bisa berusaha lagi. Sekarang belum buka, sudah mikirin bakalan sepi. Mau kapan bukanya? Pasti akan dievaluasi nanti di mana kurangnya. Dengan adanya JPM, arus ke Blok F ramai. Ada efek dominonya. Sekarang jualan dulu di atas, jangan di bawah," ujarnya. (YOLA SASTRA)