Lindungi Hak Keluarga Korban Lion Air
JAKARTA, KOMPAS – Pasca-kecelakaan pesawat Lion Air Lion Air PK-LQP dengan nomor penerbangan JT-610, sejumlah pengacara asing datang ke Indonesia untuk memberikan bantuan hukum kepada keluarga korban yang ingin mencari keadilan. Namun, kedatangan pengacara asing ini perlu diawasi agar keluarga korban tidak menjadi korban untuk kali kedua.
Ribbeck Law Chartered dan Webster Law Firm datang ke Indonesia untuk memberikan bantuan hukum kepada pihak keluarga korban yang ingin menggugat perusahaan Boeing. Beberapa keluarga korban Lion Air sudah menyerahkan kuasanya kepada dua firma hukum asal Amerika tersebut.
Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia Jamaslin James Purba mengatakan, kedatangan pengacara asal Amerika ke Indonesia untuk memfasilitasi, melakukan edukasi, dan penjelasan tentang tata cara pengajuan gugatan ke pengadilan di Amerika Serikat.
Ia mengatakan, pengacara dari Amerika Serikat sering "menjemput bola" ke klien-klien potensial seperti dalam kasus kecelakaan pesawat. Mereka menerangkan, keluarga korban mempunyai hak dan perlu digugat. Terkait biaya, pengacara tidak memungut biaya, namun jika gugatan berhasil menang, pengacara meminta pembagian hasil 20 persen hingga 30 persen.
“Karena kantor pusat Boeing berlokasi di Amerika Serikat, tentu para pengacara tersebut lebih paham tata dan ketentuan hukum di sana. Proses ini rumit. Karenanya, keluarga korban tetap disarankan memakai jasa hukum lokal untuk membantu memonitor,” kata James, Selasa (4/12/2018).
Sebelumnya, kecelakaan pesawat Malaysia Airline MH370 pada 8 Maret 2014 silam juga menyedot perhatian pengacara asing untuk memberikan bantuan hukum kepada keluarga korban. Salah satu firma hukum asal Amerika Serikat yang mendampingi keluarga korban justru menghilang dan tidak menyelesaikan kewajibannya sebagai pengacara. Berkaca dari hal tersebut, menurut James perlu ada pengawasan agar keluarga korban tidak dirugikan.
Sementara itu, Ketua Komunitas Konsumen Indonesia David Tobing mengatakan, para pengacara asing yang mengajukan bantuan hukum tidak boleh menjanjikan sesuatu terkait kemungkinan keberhasilan gugatan di persidangan. “Dalam upaya hukum, tidak boleh menebar janji kepada klien, apalagi jika janji-janji keberhasilan disebar kepada media,” kata David.
Sumber Kompas yang tidak mau disebutkan namanya menuturkan, ia sudah menerima surat kuasa dari salah satu firma hukum yang menangani kasus gugatan ke perusahaan Boeing. Namun, sampai hari ini ia belum menandatangani surat persetujuan karena masih mempelajari isi surat tersebut. Ia mengaku cukup ragu untuk menandatangani karena latar belakang firma hukum tersebut pernah menangani kasus serupa yaitu kecelakaan pesawat Malaysia Airlines MH370.
Gugatan
Webster Law Firm akan mengajukan gugatan kepada perusahaan Boeing setelah mendapat bukti yang cukup kuat. Jason Webster mengatakan, pihaknya akan mengajukan gugatan atas nama satu keluarga ke perusahaan pesawat Boeing dengan nomor gugatan 2018LO12788 yang diajukan di Pengadilan Sirkuit Cook County, Illinois, AS. Namun, Webster tidak memberi tahu nama keluarga (penggugat) dengan alasan privasi dan kekhawatiran keluarga.
”Kami akan mencari bukti dan fakta untuk diajukan ke meja persidangan. Pesawat Lion Air bermasalah yaitu pada sistem pilot otomatis. Ini pesawat baru tetapi tetap dipasarkan,” kata Webster, Senin (3/12/2018).
Webster menambahkan, tragedi jatuhnya Lion Air karena diduga perusahaan Boeing tidak memberikan peringatan manual penerbangan pesawat serta tidak ada pelatihan kepada pilot. Selain itu, tidak penjelasan kepada penumpang dan publik terkait kerusakan sebelum kecelakaan di perairan Karawang, Jawa Barat.
Menurut Webster, jika Boeing dan Lion Air menginformasikan kerusakan, kecelakaan bisa dicegah.
Ia mengatakan, tujuan gugatan agar para keluarga korban mendapatkan kompensasi atas peristiwa kecelakaan Lion Air dari perusahaan Boeing.
”Tujuannya juga untuk mendapatkan penjelasan secara terinci apa yang terjadi sebenarnya pada Boeing 737 Max 8 dan upaya yang dilakukan untuk membenahi gangguan teknis pada pesawat,” kata Webster.
Webster mengatakan, Badan Penerbangan Federal AS (FAA) menerbitkan arahan perbaikan darurat sistem kontrol penerbangan untuk Boeing 737 Max.
Oleh karena itu, berdasarkan dokumen persidangan, investigasi mengarah pada penyelidikan kendali pesawat Boeing 737 Max 8 yang didesain untuk mencegah terjadinya kehilangan derajat kestabilan pesawat.
Kompensasi harus segera diberikan
Sementara itu, Komunitas Konsumen Indonesia mendesak Lion Air untuk segera melakukan pembayaran ganti kerugian kepada korban kecelakaan pesawat Lion Air JT 610.
Hal ini sebagaimana juga instruksi dari Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi yang meminta pihak Lion Air berinisiatif menghubungi keluarga korban kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 terkait hak-hak keluarga korban yang salah satunya adalah pembayaran ganti kerugian.
Ketua Komunitas Konsumen Indonesia David Tobing mengatakan, ahli waris korban jangan dipersulit dalam proses pencairan ganti rugi termasuk persyaratan harus menandatangani surat pernyataan yang membebaskan Lion Air maupun pihak-pihak lainnya yang terkait dari segala tuntutan apapun.
"Selain itu maskapai tidak boleh melarang jika ahli waris ingin menggunakan Kuasa Hukum atau advokat dalam proses pendampingan ahli waris dalam menuntut hak-haknya," katanya.
Menurut David, meskipun maskapai Lion Air telah memenuhi Pasal 3 huruf a Permenhub 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (Peraturan Menteri) yaitu memberikan ganti rugi Rp 1,25 miliar, namun berdasarkan Pasal 23 Permen tersebut, besaran ganti kerugian yang diatur dalam Permen tidak menutup kesempatan kepada ahli waris untuk menuntut ganti rugi pengangkut ke pengadilan.
David menyarankan kepada Kementerian Perhubungan agar mengawasi dan melarang pihak Lion Air menerapkan syarat apapun dalam proses pemberian ganti rugi kepada keluarga korban kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 termasuk syarat untuk membebaskan Lion Air maupun pihak-pihak lainnya yang terkait dari segala tuntutan apapun setelah para ahli waris menerima ganti rugi sebesar Rp 1,25 miliar.
Sebelumnya, Managing Director Lion Air Group Daniel Putut Kuncoro Adi menegaskan, pihaknya sama sekali tidak pernah menulis atau mengedarkan surat kepada keluarga korban. ”Jika ada suratnya, tolong tunjukkan kepada saya. Selain itu, kami merasa tidak memerintahkan untuk memberikan kabar terkait gugatan,” kata Daniel.
David menambahkan, larangan menggunakan advokat merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia karena hak untuk didampingi penasihat hukum/mendapat bantuan hukum merupakan bagian terpenting dari perwujudan hak untuk diperlakukan sama di muka hukum (equality before the law) termasuk kesempatan untuk medapatkan keadilan (access to justice) yang berlaku secara universal.
“Hak ahli waris untuk mendapatkan kompensasi sebesar Rp 1,25 miliar dan itu harus diterima tanpa ada syarat apapun juga. Pilihan untuk menggugat atau tidak adalah hak para ahli waris dan menurut David belum tentu semua ahli waris mau menggugat,” katanya.
Ketentuan Peraturan Menteri
Menteri Perhubungan mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (Permen 77). Dalam pasal 2 a Permen 77 disebutkan bahwa pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggungjawab atas kerugian terhadap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka.
Dalam pasal 3 ayat 2 diatur besaran ganti kerugian penumpang yang meninggal dunia sebesar Rp 1,25 miliar. Permen 77 mempunyai kriteria tersendiri tentang ganti rugi. Kriteria disebutkan dalam pasal 15 yaitu, tingkat hidup yang layak rakyat Indonesia, kelangsungan hidup Badan Usaha Angkutan Udara, tingkat inflasi kumulatif, pendapat per kapita, perkiraan usia harapan hidup dan perkembangan nilai mata uang.
David menjelaskan, Menteri Perhubungan dalam membuat Permen 77 sepakat bahwa nilai ganti rugi yang ditetapkan belum tentu sepadan dengan kerugian yang dialami oleh ahli waris.
Ahli waris yang kehilangan seorang suami sekaligus anak yang masih kecil pasti merasa kurang adil jika hanya menerima sebagaimana yang ditetapkan pasal 3 Permen 77 karena ahli waris juga mungkin mempunyai kriteria sendiri antara lain usia produktivitas kerja korban, masa sekolah anak-anak korban hingga perguruan tinggi, hidup mandiri yang memerlukan biaya yang besar, dan kerugian immateril lain dari para ahli waris terutama kehilangan kasih sayang dan pelukan hangat dari suami dan ayahnya.
“Tentunya kerugian materiil maupun immateriil dari para ahli waris akan berbeda karena kriterianya pun berbeda,” kata David.
Pasal 23 Permen 77 antara lain menyebutkan, besaran ganti kerugian yang diatur dalam peraturan ini tidak menutup kesempatan kepada ahli waris untuk menuntut pengangkut ke pengadilan negeri di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 23 tersebut memberikan hak kepada ahli waris untuk menggugat dan menuntut ganti rugi selain yang sudah ditetapkan. Mengingat para ahli waris mempunyai kriteria kerugian materiil dan immateriil maka sesuai dengan keberlakuan suatu putusan yang berlaku kasuistik dan individualistik maka gugatan ganti rugi yang diajukanpun akan berbeda beda
Di lain pihak, dalam memberikan ganti rugi yang diatur dalam Permen 77, pengangkut sepatutnya tidak mensyaratkan bahwa ahli waris tidak boleh mengajukan gugatan lagi di kemudian hari. (AGUIDO ADRI)