Ke Mana Tubuh Utama Lion Air PK LQP?
Misi search and rescue pesawat Lion Air PK-LQP memasuki hari kedelapan, Senin (5/11/2018). Sementara kotak hitam perekam data penerbangan telah ditemukan, keberadaan badan utama pesawat masih menjadi misteri.
Jumat (2/11/2018), KRI Rigel 933 milik Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI Angkatan Laut (Pushidrosal) berhasil menemukan lokasi puing-puing badan pesawat. Dari area itu, diangkatlah sepasang roda (landing gear) yang sedianya tersimpan di dalam sayap pesawat selagi mengudara. Hari berikutnya, tim SAR berhasil mengangkat turbin pesawat yang sudah tidak dalam keadaan semestinya.
Di dermaga Jakarta International Container Terminal (JICT) 2, Tanjung Priok, Jakarta Utara, kapal-kapal silih berganti datang untuk mendaratkan puing-puing lain yang ditemukan mengambang di permukaan maupun hanyut hingga ke dasar. Termasuk di antaranya kursi penumpang, dinding pesawat yang rompal, serta pintu. Semuanya tampak seperti rongsokan yang semula utuh, namun dibanting hingga pecah berkeping-keping. Lalu, ke mana badan utama (main body) pesawat ini?
Pesawat Boeing 737 MAX 8 dengan panjang 39,52 meter dan bentangan sayap selebar 35,9 meter ini lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, Senin (29/10/2018), pada 06.20 WIB dan terbang selama 11 menit. Data Flight Radar 24 mencatat, ketinggian pesawat pada 06.30 WIB melampaui 4.000 kaki. Dalam tempo satu menit, ketinggian menurun ke 3.650 kaki.
Dalam rentang waktu yang sama, kecepatan pesawat meningkat dari 300 knot (555 kilometer per jam) menjadi 345 knot (669 km per jam). Setelah itu, kontak pesawat dengan menara air traffic control putus. Diperkirakan, pesawat jatuh ke perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat, dalam kecepatan tersebut hingga pecah berkeping-keping.
“Saya yakin, pesawat hancur saat impact (menabrak) dengan permukaan air,” kata pengamat industri penerbangan Indonesia sekaligus anggota Ombudsman RI Alvin Lie yang memiliki lisensi pilot dengan ratusan jam terbang. “Jika kecepatan pesawat masih dapat dikendalikan, pasti masih bisa mendarat mulus. Kemungkinan kecepatan (pesawat Lion Air) tidak terkendali lagi saat jatuh,” lanjutnya.
Hal senada dikatakan Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Soerjanto Tjahjono. Dalam konferensi pers di Hotel Ibis, Cawang, Jakarta Timur, Senin (5/11/2018), ia mengungkapkan keyakinannya bahwa pesawat tidak meledak di udara. "Kemungkinan pesawat baru hancur ketika menyentuh permukaan air," tutur Soerjanto.
Gaya gravitasi bumi, menurut Alvin, ikut memperparah hancurnya pesawat. Dalam asumsi kecepatan pesawat tak lagi terkendali, gravitasi mempercepat jatuhnya pesawat. Semakin tinggi posisi awal jatuhnya pesawat, semakin besar percepatannya.
Ketua Sub-Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo mengatakan, benda apapun yang bergerak dalam kecepatan tinggi dan menabrak perairan akan mengalami dampak yang sama seperti menabrak beton. Hukum Newton ketiga yang umum sebagai hukum aksi-reaksi bekerja dalam kejadian ini.
Dalam Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica (1687), Isaac Newton menyatakan, gaya (force) benda A terhadap terhadap B akan dikembalikan kepada A dalam arah yang berkebalikan. Jadi, saat pesawat jatuh ke perairan, air akan mengembalikan gaya (force) yang diberikan pesawat, yaitu berat pesawat dalam satuan Newton.
Dampak yang ditimbulkan perairan terhadap pesawat jatuh dapat dianalogikan sebagai sakit yang dirasakan perenang saat melompat ke kolam renang. Video berjudul Why Belly Flops Are So Painful di YouTube yang diunggah akun SciShow mengatakan, perenang perlu “memindahkan” air dengan gaya untuk memberikan ruang bagi tubuhnya saat masuk ke air.
Perenang yang melompat ke dalam air dengan jari terlebih dahulu hanya perlu memindahkan air dalam jumlah (massa) yang lebih sedikit. Artinya, reaksi dari air terhadap tubuh relatif kecil sehingga nyaris tiada rasa sakit. Jika perenang gagal melompat sempurna sehingga jatuh dengan permukaan tubuh bagian depan ke permukaan air, jumlah air yang dipindahkan semakin banyak dan gaya reaksi air semakin besar. Sakit yang ditimbulkan juga lebih besar.
Belum diketahui bagaimana posisi maupun kecepatan pesawat Lion Air PK-LQP saat jatuh ke perairan Karawang, tetapi dampak yang ditimbulkan fatal. “Sangat mungkin sayap hancur karena landing gear patah. Mesin juga pecah sampai turbin keluar dan tidak dalam keadaan yang sewajarnya. Dengan kondisi itu, tidak heran kalau belum ditemukan jenazah dalam keadaan utuh,” kata Alvin.
Puing-puing pesawat dan bagian tubuh jenazah yang mengapung maupun hanyut di air terserak dalam area seluas 250 meter kali 250 meter. Nurcahyo yakin, pesawat masih utuh sebelum menyentuh air. Dugaan itu akan terkonfirmasi jika ketinggian kotak hitam perekam data penerbangan (FDR) mencatat ketinggian turun sampai 0 kaki.
Penyebab jatuh
Sehari sebelum jatuh, pesawat Lion Air PK-LQP terbang dari Denpasar menuju Cengkareng dengan masalah pada panel kecepatan dan ketinggian di kokpit. Menurut gambar log book pesawat yang menyebar di media sosial, disebutkan ‘speed and altitude disagree shown after takeoff’. Ini menunjukkan perbedaan ukuran kecepatan dan ketinggian antara panel pilot dengan ko-pilot. Salah satunya inkonsisten.
“Panel pengukur kecepatan dan ketinggian di panel sebelah kiri untuk pilot itu tidak konsisten, sementara panel ko-pilot konsisten. Seharusnya pesawat tidak boleh berangkat dalam keadaan itu. Tapi, tim perawatan Lion Air sudah memperbaiki setibanya di Cengkareng,” kata Alvin.
Dilansir dari New York Times, masalah mungkin terjadi pada sistem statis pitot pesawat. Artinya, pipa pitot pesawat untuk mengukur udara bisa jadi tersumbat. Alvin mencontohkan, Airbus A330-200 milik AirFrance yang jatuh di Brazil pada 2009 juga mengalami masalah pada pipa pitot.
“Kalau pipa pitot tersumbat, display panel juga jadi kacau. Padahal, pilot harus percaya pada instrumen yang digunakannya untuk menerbangkan pesawat. Panel yang menunjukkan inkonsistensi bisa berakibat fatal,” kata Alvin.
Meskipun demikian, belum tentu masalah tersebut yang membawa Lion Air PK-LQP ke nasib naasnya. Diperlukan analisis mendalam data FDR. Penyebab akan semakin mudah diketahui jika kotak hitam perekam suara kokpit (CVR) dapat ditemukan.
Melalui FDR tim investigator bisa mendapatkan gambaran terkait kecepatan pesawat, ketinggian pesawat, putaran mesin, temperatur, posisi kemudi pesawat, dan bidang-bidang kemudi pesawat lainnya. Sementara itu, CVR merekam komunikasi yang terjadi di empat kanal, yaitu pembicaraan di kokpit, pembicaraan pilot dengan petugas menara pengawas, pembicaraan antar pilot, serta pembicaraan antara polit dengan awak kabin.
Sebelum semuanya terungkap, publik masih harus bersabar. (KRISTIAN OKA PRASETYADI/SHARON PATRICIA/KRISTI DWI UTAMI)