Data Kotak Hitam Mulai Dianalisis
JAKARTA, KOMPAS - Penyebab jatuhnya pesawat Lion Air PK-LQP mulai dianalisis berdasar informasi rekaman data kotak hitam atau flight data recorder/FDR. Komite Nasional Keselamatan Transportasi, Minggu (4/11/2018) pukul 00.00, mulai mengunduh data.
"Data total yang kami peroleh dari black box FDR adalah 69 jam. Terdiri atas 19 penerbangan, termasuk yang kecelakaan. Jumlah parameter lebih kurang ada 1.800," kata Ketua Sub Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan Nurcahyo Utomo, Minggu kemarin.
Data memperlihatkan pergerakan pesawat mulai parkir menuju landasan 25. Pesawat lalu terbang, belok kiri ke tenggara. Penerbangan berakhir Senin (29/10) pukul 06.31.54 WIB.
Hasil itu sesuai perkembangan berita di media, yaitu penerbangan di radar 24 yang datanya serupa dengan FDR. "Ini meyakinkan kami bahwa yang kami peroleh dari FDR adalah data penerbangan pesawat Lion Air PK-LQP. Namun, gambar ini baru menunjukkan dua dari 1.800 parameter, yaitu latitude dan longitude atau lintang dan bujurnya," kata Nurcahyo.
Tim mulai menganalisis hari Senin ini.
Investigator penerbangan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Ony Soerjo Wibowo mengatakan, proses analisis 1.800 parameter melibatkan enam orang tim black box. Satu dari Indonesia, Amerika Serikat (2), Australia (2), dan Singapura (1). Tim mulai menganalisis hari Senin ini.
Keterlibatan internasional
Ony menyebutkan, ada pihak National Transportation Safety Board (NTSB) dari Amerika yang dibantu oleh Boeing sebagai pembuat pesawat dan Federal Aviation Administration (FAA) sebagai badan sertifikasi. Ada juga General Electric sebagai pembuat mesin. Total perbantuan dari Amerika ada 17 orang.
Tak hanya itu, Singapura juga terlibat. Ada tiga orang yang membantu pencarian black box yang masih berada di kapal dan satu orang membantu proses unduh FDR. Sementara dari Australia, ada 2 orang untuk membantu proses unduh FDR. Saudi Arabia juga mengirimkan 2 orang. Namun, statusnya hanya sebagai observer.
"Mereka datang untuk belajar bagaimana melakukan investigasi, sama sekali tidak terlibat dalam proses investigasi," papar Ony. Lebih lanjut, dia menjelaskan, keterlibatan internasional bukan kerja sama seperti halnya agreement. Namun, lebih pada keterlibatan international terhadap suatu kecelakaan penerbangan.
"Dalam hal ini, setiap negara yang meratifikasi ICAO akan terlibat dalam investigasi. Khususnya negara di mana pesawat tersebut didaftarkan dan di mana kantor pusat airline yang bersangkutan. Selain itu, juga negara tempat mendesain dan merakit pesawat yang kecelakaan ," papar Ony.
Sama halnya dengan Indonesia yang pernah terlibat dalam investigasi kecelakaan penerbangan. "Indonesia pernah terlibat dalam bidang unduh dan analisis FDR saat Malaysia dan Myanmar mengalami kecelakaan penerbangan," kata Ony.
Hal ini diatur sesuai ketentuan internasional dalam International Civil Aviation Organization (ICAO) Annex 13 Chapter 5.1. Ketentuan ini menyatakan, apabila kecelakaan terjadi, maka negara tempat kecelakaan itu terjadi bertanggung jawab melakukan investigasi.
Nurcahyo menyampaikan, dalam kecelakaan Pesawat Lion Air PK-LQP, pesawat ini terdaftar di Indonesia. Tak hanya itu, kantor pusat airline juga berada di Indonesia. "Sementara negara yang mendesain dan merakit pesawat adalah Amerika Serikat. Jadi, Amerika Serikat berhak sesuai ketentuan internasional untuk terlibat. Namun, pimpinan investigasi tetap Indonesia," tegas Nurcahyo.
Hukum yang berlaku dalam proses investigasi kejadian ini tetap hukum Indonesia. Hal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Pasal 359 tentang Penerbangan. UU ini menyatakan, FDR, CVR, serta beberapa data lain tidak boleh digunakan selain untuk kepentingan investigasi.
Namun, ketentuan ICAO menyatakan, Amerika Serikat tetap boleh mendapatkan salinan data, namun tidak untuk dipublikasikan. Sementara Australia dan Singapura hanya berhak mendapatkan data apabila laporan sudah selesai ditulis.
Masih panjang
Selain data FDR, pihak KNKT menunggu serah terima bagian-bagian pesawat seperti roda pendarat dan mesin pesawat. KNKT akan menggunakan untuk analisa penyebab kerusakan dan pendukung investigasi.
Nurcahyo menegaskan, proses investigasi tidak akan selesai 1-2 hari. Bila investigasi mendeteksi kerusakan pesawat, maka tim akan melihat lagi data perawatan dan perbaikannya.
"Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyebut, kami dapat menyelesaikan hingga 12 bulan. Tapi kami sadar, seluruh dunia saat ini sedang melihat ke Indonesia," kata dia.
Penyebab kecelakaan pesawat memang dapat dianalisa melalui data dFDR yang berisi data arah, ketinggian, kecepatan, dan lainnya. Namun, bila perekam suara di kokpit (CVR) ditemukan akan lebih mendukung investigasi.
"Seandainya ditemukan hanya satu black box, kami tetap berupaya semaksimal mungkin dengan informasi yang dimiliki. Kami juga terus berupaya mencari CVR, sebab kekuatan baterai harusnya kuat 30 hari," kata dia.
Kendala pencarian CVR disebabkan melemahnya sinyal pada hari ini. Padahal, kemarin sore CVR memancarkan sinyal yang cukup kuat, namun penyelaman tak mungkin dilakukan lagi saat itu.
"Kondisi dasar laut yang berlumpur memungkinkan CVR terendam dalam lumpur. Jika benar demikian, akibatnya sinyal CVR menjadi lemah dan mengurangi kekuatan. Namun, sinyal tidak hilang. Kami sudah berupaya hari ini, namun belum ditemukan CVR," kata Nurchayo.
Selain itu, Kapal Baruna Jaya 1 milik BPPT juga harus kembali ke pelabuhan Muara Baru hari ini untuk isi bahan bakar. Hal ini menyebabkan pencarian CVR akan tertunda beberapa saat. "Semoga Kapal Baruna Jaya 1 tetap akan digunakan untuk melakukan pencarian," ucap Nurcahyo.
Diperpanjang tiga hari
Kepala Basarnas Marsekal Madya M Syaugi mengatakan, hasil rapat staf, masukan tim, dan kondisi lapangan, operasi evakuasi ditambah tiga hari mulai Senin. ambahan waktu akan dimaksimalkan mencari jenasah korban dan bagian pesawat.
”Target utama tim SAR gabungan adalah evakuasi korban, baru bagian pesawat lain untuk kelengkapan data menguak penyebab kecelakaan. Yang utama tetap adalah korban,” tuturnya.
Kemarin, tim SAR gabungan di Posko Tanjung Pakis, Karawang, Jawa Barat, mengintensifkan pencarian korban pesawat Lion Air PK-LQP lewat jalur darat. Setelah sehari sebelumnya pencarian menyisir pantai dilakukan ke arah timur, kini pencarian juga dilakukan ke barat menuju kawasan pesisir di Kabupaten Bekasi.
“Sebelumnya kami berkonsentrasi ke timur karena mengantisipasi korban terbawa arus ke pantai. Namun, ada beberapa titik di pesisir barat yang tidak berpenghuni. Jadi, kami juga mencari korban di wilayah itu,” ujar Kepala Kantor SAR Bandung Deden Ridwansyah di Karawang, Minggu.
Pencarian dimulai pukul 08.00. Tim SAR gabungan yang mencari lewat darat berjumlah 120 personel dari berbagai lembaga, di antaranya Basarnas, TNI, Polri, Palang Merah Indonesia, Pemerintah Kabupaten Karawang, dan relawan.
Sebanyak 108 personel gabungan menyisir pantai ke arah timur sejauh 20 kilometer hingga Pantai Sedari, Karawang. Tim ini berjalan kaki di sepanjang pesisir utara Karawang dan dibagi dalam beberapa kelompok. Penyisiran ke barat dilakukan oleh 12 personel. Tim menuju ke arah Muara Gembong, Bekasi, untuk menyisir hutan bakau sepanjang 1,5 km.
Hari ini, Senin, bersama sejumlah pihak, Basarnas akan menemui keluarga korban untuk memaparkan perkembangan dan rencana pencarian. Hingga kemarin, tim evakuasi sudah mengumpulkan 138 kantong jenasah yang siap diidentifikasi.
Hingga Minggu malam, sebanyak 14 jenasah sudah diidentifikasi. Minggu siang kemarin, tim Disaster Victim Investigation (DVI) Polri RS Bhayangkara Tingkat I R Said Sukanto Kramatjati telah mengumumkan tujuh identitas penumpang yang baru teridentifikasi. Seluruhnya diserahkan langsung kepada keluarga.
Ketujuh jenasah itu Rohmanir Pandi Sagala (laki-laki, 23 tahun) asal Karang Tengah, Banten; Dodi Junaidi (L, 40) asal Rempoa, Tangsel, Banten; Muhammad Nasir (L, 29) asal Cianjur, Jabar; Janri Efrianto Sianturi (L, 26) asal Muaro Jambi, Jambi; Karmin (L, 68) asal Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung; Harwinoko (L,54) asal Bogor; Feriah Utama (L,31) asal Tanjung Duren, Jakarta Barat.
Kepala Laboratorium DNA Polri Komisaris Besar Putut Tjahjo Widodo mengatakan, tes DNA terus dilakukan setiap hari. Sebanyak 24 kantong jenasah kemungkinan akan diketahui hasilnya Senin, hari ini.
Pada pencarian hari ketujuh korban jatuhnya pesawat Lion Air, 33 personel tim investigasi korban bencana (DVI) meninggalkan Posko Tanjung Pakis menuju ke Pokso Utama Tanjung Priok. Kepala Sub Direktorat Kedokteran Kepolisian Daerah Jabar Komisaris Besar Nelson Situmorang menjelaskan, identifikasi jenazah diserahkan ke Rumah Sakit Polri Pusat Kramat Jati.
“Tugas kami belum selesai, hanya bergeser ke Tanjung Priok. Kami meminta petugas gabungan di sini agar mengirimkan jenazah diduga korban ke kapal di perairan Karawang untuk diserahkan ke posko utama,” ujarnya.
Selanjutnya, identifikasi awal jenazah yang ditemukan di Tanjung Pakis akan dilakukan oleh tiga dokter dari Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang. Setelah itu akan dikirim ke Tanjung Priok untuk diidentifikasi DNA di RS Polri.
Di tempat terpisah, Managing Director Lion Air Group Kapten Daniel Putut mengatakan, pihaknya menyiapkan asuransi dan santunan Rp 1,3 miliar kepada setiap ahli waris korban. Ahli waris korban akan dapat asuransi Rp 1,25 miliar.
Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. ”Saat ini belum ada yang diberikan. Masih diproses. Itu akan diberikan setelah korban teridentifikasi dan berkas-berkas ahli waris sudah terverifikasi,” kata Daniel.
Daniel mengatakan, Lion Air sudah memberikan uang pemakaman tujuh korban awal yang sudah teridentifikasi, masing-masing ahli waris Rp 25 juta. Tujuh korban baru yang berhasil diidentifikasi hari ini langsung diurus pemberian uang pemakamannya secara tunai atau melalui transfer bank.
”Di luar itu, kami sudah berikan uang saku bagi keluarga, masing-masing ahli waris Rp 5 juta. Ini sudah dibagikan kepada semua ahli waris,” ujar Daniel.
Selain penumpang, Lion Air juga menyiapkan ganti rugi bagi awak pesawat. Asuransi personal accident itu sebesar 100.000 dollar AS atau sekitar Rp 1,5 miliar dengan kurs Rp 15.000 per dollar AS untuk masing-masing awak pesawat, baik pilot maupun pramugari. Uang tersebut masih dalam proses validasi ahli waris.
(E02/E03/E04/E05/E20/E22/TAM/RTG/RAM/ARN)