JAKARTA, KOMPAS - Keinginan PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk menjadikan kanal Cikarang Bekasi Laut (CBL) sebagai jalur angkutan barang melalui air dinilai akan mengurangi kepadatan yang ada di jalan raya saat ini. Namun, Supply Chain Indonesia (SCI), lembaga pemerhati rantai pasok berpendapat, CBL tidak akan seefektif penggunaan kereta api untuk angkutan barang dari Pelabuhan Tanjung Priok ke kawasan industri di Cikarang.
"Dari aspek keekonomian, jarak Pelabuhan Tanjung Priok dan Terminal CBL sekitar 30 km akan mengakibatkan manfaat CBL tidak memadai dari aspek biaya dan waktu untuk proses bongkar muat barang di pelabuhan maupun terminal. Menurut kami, masih lebih efisien menggunakan kereta api dari pada memanfaatkan CBL," kata Chairman SCI, Setijadi, Minggu (14/10/2018).
Dia mengatakan, skala ekonomi penggunaan CBL tidak tercapai dengan kapasitas barge (tongkang) yang diperkirakan hanya 100 teu.
Sebelumnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, CBL akan dapat menangani sekitar 10-15 persen atau 200-300 juta ton kargo per tahun.
Menurut Setijadi, ada banyak hal yang menyebabkan ketidakefisienan dalam pemanfaatan CBL.
"Terminal CBL tidak berada di kawasan industri sehingga diperlukan transportasi pengumpan dengan truk yang akan menambah proses dan biaya. Pembangunan CBL memerlukan anggaran yang besar termasuk untuk pembongkaran dan penggantian beberapa infrastruktur seperti jembatan besar di Cibitung dan Muara CBL (Babelan), serta beberapa saluran pipa gas milik Pertamina dan PGN, serta kabel dan tower listrik milik PLN dan Cikarang Listrikindo," kata dia.
Belum lagi biaya pemeliharaan CBL akan mahal, karena tingkat sedimentasi kanal yang tinggi dari area pertanian di sekitar CBL. "Pengembangan transportasi barang dari/ke Pelabuhan Tanjung Priok harus mempertimbangkan aspek yang lebih luas, termasuk rencana Pelabuhan Patimban sebagai Proyek Strategis Nasional yang direncanakan beroperasi mulai tahun 2025. Proyek CBL itu sendiri tidak sesuai dengan Perda Nomor 12 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kabupaten Bekasi dan Perda Nomor 22 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Provinsi Jawa Barat," tambah dia.
Dibandingkan dengan kereta barang, SCI menilai akan lebih efektif dengan kereta. "Rekomendasi itu berdasarkan analisis SCI terhadap sekitar 70 persen volume ekspor-impor melalui Pelabuhan Tanjung Priok dari wilayah sekitar Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten tahun 2016," kata Setijadi.
Kanal Cikarang Bekasi Laut akan bermanfaat terutama untuk industri di wilayah Bekasi tetapi kurang sesuai dari aspek teknis dan ekonomis untuk menjangkau wilayah-wilayah lain.
Analisis menunjukkan bahwa volume ekspor Tanjung Priok berasal dari Bekasi (sebesar 32 persen), Karawang (29 persen), Purwakarta (8 persen), Bandung (6 persen), Tangerang (14 persen), Bogor (4 persen), serta Cilegon dan Serang (8 persen).
Untuk impor, barang berasal dari Bekasi (sebesar 23 persen), Karawang (36 persen), Purwakarta (9 persen), Bandung (6 persen), Tangerang (14 persen), Bogor (4 persen), serta Cilegon dan Serang (3 persen).
"CBL akan bermanfaat terutama untuk industri di wilayah Bekasi tetapi kurang sesuai dari aspek teknis dan ekonomis untuk menjangkau wilayah-wilayah lainnya itu. Jika menggunakan kereta, jangkauan lebih luas ke beberapa wilayah itu dengan memanfaatkan beberapa lapangan penumpukan (container yard/CY) yang telah tersedia di Cilegon, Cikarang, Klari, Cibungur, dan Bandung," kata Setijadi.
Namun demikian, upaya pemanfaatan kereta barang tersebut harus dipersiapkan berbagai infrastruktur, baik di pelabuhan maupun lapangan penumpukan KA, seperti peralatan bongkar muat, lapangan penumpukan, dan sebagainya. Integrasi multimoda harus dilakukan secara efisien dan efektif.
Sementara itu Direktur Jenderal Perhubungan Laut R Agus H Purnomo mengatakan, Kementerian Perhubungan mendukung keinginan Pelindo II untuk mengembangkan CBL. "Kalau dibutuhkan perizinan dari kami, akan kami siapkan," kata Agus.
Staf Ahli Menteri Perhubungan Bidang Logistik, Multimoda, dan Keselamatan Perhubungan Cris Kuntadi mengatakan, untuk pembangunan CBL Kemenhub telah mengadakan diskusi grup terfokus (focus group discussion) beberapa waktu lalu. Namun, hingga kini belum ada tindak lanjutnya. "Saya akan membuat pertemuan lebih lanjut, untuk menindaklanjuti hasil dari FGD lalu. CBL masuk dalam proyek strategis nasional, tetapi bagaimana kelanjutannya," kata Cris.
Sebelumnya, Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II (Persero) Saptono R Irianto mengatakan, total pembangunan proyek Kanal CBL atau proyek antimacet Jakarta-Bekasi memiliki biaya pengerjaan proyek mencapai Rp 3,4 triliun. Pelindo II akan menyiapkan dana untuk pembangunan itu. Namun, Pelindo II menginginkan adanya keterlibatan pihak lain seperti pembangunan terminal antarmoda, pemindahan jembatan dan lainnya, agar manfaat CBL lebih cepat terwujud.