Karena Air Kami Percaya
Penghutanan kembali kawasan hutan yang kritis memberikan banyak manfaat bagi warga Panyusuhan di pinggir Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Kini mereka tak lagi kesulitan mendapatkan air bersih.
Ujang Sarip (58), awalnya ragu-ragu untuk mendukung program pemulihan ekosistem hutan di dekat kampungnya. Apalagi area yang akan dihutankan kembali itu masih dimanfaatkannya sebagai tempat berladang.
Ia baru diyakinkan dan aktif membantu perhutanan kembali setelah dusunnya mendapatkan akses air bersih yang jauh lebih mudah. Air bersih yang sebelumnya harus didapat dengan berjalan kaki selama berjam-jam, kini telah mengalir ke rumahnya.
Ini berkat selang pipa air yang dipasang Conservation International Indonesia pada tahun 2012 dari sumber air Pamancingan yang berjarak 7 kilometer dari rumahnya. Dari pipa itu kini mengaliri lebih dari 100 keluarga selama 24 jam.
“Sekarang tak ada lagi kekurangan air,” kata Ujang, pengelola air di Desa Panyusuhan, Cihanyawar, Nagrak, Sukabumi, Selasa (2/10/2018).
Ujang, mantan kepala dusun ini dengan semangat menceritakan kegembiraan warga desa saat kebutuhan utama – air – itu diperoleh secara mudah. “Kalau anak disuruh ambil air, pasti minta jajan karena bilangnya capek angkat-angkat jeriken,” kata dia.
Air yang biasanya setiap hari didapatkan dengan berjalan kaki 3 jam atau menggunakan motor melalui jalan setapak di waktu lalu, kini cukup mengalir dari depan rumah. Selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya masih ada pula warga yang menumpang mengambil air di rumah tetangga yang menampung air tersebut.
Air yang biasanya setiap hari didapatkan dengan berjalan kaki 3 jam atau menggunakan motor melalui jalan setapak di waktu lalu, kini cukup mengalir dari depan rumah.
Ketersediaan air membuat kualitas hidup masyarakat pun meningkat. Apabila dahulu air susah, dan masyarakat beraktivitas mandi, cuci, dan kakus di sungai, kini sanitasi lebih higienis karena masing-masing rumah memiliki kamar mandi dan toilet.
Karena melihat bukti air yang mengalir hingga ke rumah ini, Ujang dan warga setempat pun menjadi percaya bahwa program restorasi ekosistem Taman Nasional (TN) Gunung Gede Pangrango ini serius. Ia dan rekan-rekan penggarap pun berangsur-angsur meninggalkan lahan garapan yang sejak 2003 ditetapkan pemerintah menjadi hutan konservasi, perluasan TN Gede Pangrango seluas 7.000 hektar.
TN Gede Pangrango saat ini seluas 24.270 ha setelah diperluas berulang kali dengan kondisi 1.000 ha di antaranya dinyatakan kritis atau lahan terbuka berupa kebun. Di masa lalu, masyarakat menggarap lahan berstatus hutan produksi itu karena bekerja sama dengan Perhutani melalui program pengelolaan hutan berbasis masyarakat (PHBM). Dari foto-foto dokumentasi masa lalu, area PHBM saat itu berupa ladang dan sayur di tanah yang miring.
Longsor di setiap musim hujan dan kekeringan di musim kemarau menjadi “fenomena alam” yang dihadapi warga desa saat itu, termasuk Ujang. Penghasilan yang diperoleh dari berkebun di kawasan hutan itu, sekitar Rp 12 juta dari panen singkong di kebun seluas 1 ha, dinilai tak sebanding dengan risiko dan kesusahan yang dialami sehari-hari.
Karena itulah, ketika staf Conservation International Indonesia beserta Balai Besar TN Gede Pangrango intensif mendekati masyarakat, pemahaman arti penting hutan sedikit demi sedikit mulai dimengerti. Strategi paling mengena yaitu dengan menyambungkan sumber air di mata air Pamancingan menggunakan pipa pralon menuju Dusun Panyusuhan.
Strategi paling mengena yaitu dengan menyambungkan sumber air di mata air Pamancingan menggunakan pipa pralon menuju Dusun Panyusuhan.
Air yang tetap mengalir dan berwarna jernih di musim kemarau itu dimanfaatkan untuk kebutuhan dan aktivitas sehari-hari warga serta membudidayakan ikan air tawar di empang. Sebagian warga pun diarahkan untuk memanfaatkan lahan di desa yang berada di luar kawasan hutan sebagai lahan garapan pengganti.
“Tanah di sini banyak yang dimiliki orang kota. Saya minta izin ke pemilik daripada lahan tidak digunakan mending dipakai warga untuk bercocok tanam. Alhamdullilah mereka mempersilakan,” kata Dodi Rahmad, Kepala Desa Cihanyawar.
Pihak TN Gunung Gede Pangrango juga tak langsung berdiam diri setelah sukses mendekati masyarakat. Mereka juga menyediakan area batas kawasan hingga 30 meter untuk ditanami berbagai tanaman kehidupan seperti jengkol, petai, pala, rambutan, aren, dan, nangka. Diharapkan masyarakat bisa memanen buahnya tanpa menebang batang pohonnya.
Di lahan kritis bekas ladang seluas 300 ha –proyek bernama Green Wall – oleh CI Indonesia dan TN Gunung Gede Pangrango yang didanai Daikin Industries, masyarakat dan petugas menanaminya dengan aneka tanaman lokal hutan setempat. Jenis-jenis rasamala (Altingia excelsa), puspa (Schima wallichii), kisireum (Syzigium rostrattum), saninten (Castanopsis argantea), janitri (Elaeocarpus pierrei), suren (Tooni sureni), manglid (Maglonia blumei), dan salam (Eugenia clavimirtus) ditanam sejak 2008. Total tercatat 120.000 pohon telah ditanam dengan tingkat keberhasilan 85-95 persen.
Setelah 10 tahun berlalu, hasilnya kini tampak menghijau. Batang-batang tanaman lokal berdiameter sekitar 15-20 sentimeter dan tinggi lebih dari 8 meter kini tumbuh rimbun. Di sekitarnya, sesekali terdapat pohon damar dengan diameter lebih dari 30 sentimeter yang menjadi "prasasti" bekas tanaman produksi Perhutani.
Setelah 10 tahun berlalu, hasilnya kini tampak menghijau. Batang-batang tanaman lokal berdiameter sekitar 15-20 sentimeter dan tinggi lebih dari 8 meter kini tumbuh rimbun.
Kabar baiknya, setelah 10 tahun penanaman ini, sejumlah satwa pun terekam kamera pengintai kerap menyambangi Green Wall. Satwa yang sensitif seperti macan tutul jawa dan kucing hutan pun tak segan menampakkan diri di area itu pada siang hari. CI Indonesia mencatat 80 spesies burung dari 20 famili dan 8 spesies mamalia dari lima famili yang menjadikan Green Wall sebagai habitat liarnya.
Dalam bahasa lokal yang diadopsi menjadi slogan Balai Besar TN Gunung Gede Pangrango, "Leuweung hejo, masyarakat ngejo, endah di tenjo" mulai tampak. Hutan mulai kembali hijau (leuweung hejo), masyarakat bisa mendapatkan manfaat (masyarakat ngejo), dan indah dipandang (endah di tenjo).
Lebih menggembirakan lagi, restorasi ekosistem ini pun mengaktifkan kembali 3 mata air yang terus mengalir di musim kemarau. Sumber mata air yang bertambah ini menjadi bukti tambahan bagi masyarakat. Muncul mata air berarti pemulihan ekosistem berperan dalam meningkatkan cadangan air yang menjadi pendukung Daerah Aliran Sungai Cimandiri dengan mengalir ke Sungai Cimandiri dan berakhir di Teluk Pelabuhan Ratu.
Restorasi ekosistem ini pun mengaktifkan kembali 3 mata air yang terus mengalir di musim kemarau. Sumber mata air yang bertambah ini menjadi bukti tambahan bagi masyarakat.
Vice President CI Indonesia Ketut Sarjana Putra mengatakan kunci sukses Green Wall terletak pada pelibatan masyarakat mulai dari merancang program, pemantauan, dan evaluasi.
"Mereka adalah kunci kesuksesan program ini, di mana ketika masyarakat merasakan manfaat dari upaya konservasi, maka masyarakat menjadi pelaku konservasi tersebut, seperti halnya mereka berpikir bahwa program Green Wall adalah investasi untuk perbaikan sistem air secara alami di wilayah mereka," kata dia.
Pemulihan 300 ha di TN Gunung Gede Pangrango ini sekelumit dari pekerjaan rumah besar menghijaukan kembali 2.011.000 ha area terbuka di seluruh kawasan konservasi di Indonesia. Apabila hanya mengandalkan kekuatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, khususnya Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekositem, luasan dua juta ha lebih itu baru selesai dilakukan seabad mendatang. Ini mengingat target pemulihan ekosistem 2015-2019 hanya sebesar 100.000 ha dan baru terealisasi 25.943,97 ha hingga 2017.
Direktur Jenderal KSDA KLHK Wiratno mengakui program Green Wall merupakan pembelajaran penting dalam pemulihan ekosistem. Ia menarik pelajaran sinergi pemerintah, LSM, sektor swasta, dan masyarakat mendorong penyelesaian permasalahan lingkungan tanpa mencederai rasa keadilan masyarakat.
Dengan berhutannya kembali kawasan tersebut, masyarakat menerima manfaat secara langsung maupun tidak langsung untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui aneka manfaat hutan. Pelibatan masyarakat - sekitar 6.381 desa di sekitar hutan konservasi yang kritis - menjadi tantangan sekaligus solusi agar pemulihan hutan benar-benar terjadi dan dirasakan langsung manfaatnya.