BELU, KOMPAS – Puncak Festival Fulan Fehan 2018 ditutup dengan penampilan Drama Musikal Antama, Sabtu (6/10/2018) sore, di Fulan Fehan, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Selama satu jam, lebih dari 1.500 remaja dan seniman tampil secara kolosal menggetarkan bukit padang savana di perbatasan Indonesia-Timor Leste tersebut.
Drama Musikal Antama terinspirasi dari ritual perburuan masyarakat Belu yang disebut antama. Dari sinilah, Eko Supendi, koreografer dari Institut Seni Indonesia Surakarta, merancang sebuah pertunjukan drama musik kolosal yang memadukan antara musik tradisi, tari tradisi, musik modern, tari modern, narasi, upacara tradisi, aktivitas menenun, serta peristiwa kehidupan sehari-hari masyarakat Belu.
Seperti tahun lalu, puncak Festival Fulan Fehan 2018 kali ini menyuguhkan pertunjukan dengan memanfaatkan “panggung alam” padang savana Fulan Fehan yang begitu indah. Tanpa menambah ornamen dekorasi apapun, Fulan Fehan dengan tekstur padang savananya yang bergelombang sudah menjadi panggung yang sempurna bagi para penari dan musisi.
Tepat pukul 15.00 Wita, pertunjukan dimulai dengan lantunan ragam musik Belu, berupa gong, kendang, suling, dan vokal yang dipadu dengan musik elektronik serta penampilan 300 anak-anak peniup seruling bambu. Begitu intro musik menggelegar, ratusan anak-anak peniup seruling bambu tiba-tiba muncul dari balik gundukan padang berlari menuju ke depan panggung utama.
Berikutnya, muncul penutur adat yang membuka pergelaran Drama Musikal Antama dengan menceritakan keadaan alam dan budaya Belu serta cerita tentang ritual berburu antama. Begitu penutur adat selesai mengantar acara, dari balik gundukan padang savana muncul iring-iringan prosesi upacara adat membawa bibit padi. Mereka terdiri dari pembaca mantra atau makoan, pembawa gong, pembawa bibit padi, pembawa ajimat, pembawa tombak, dan pembawa payung yang tampil diiringi musik sakral tetabuhan gong, suara-suara mantra, serta lengkingan sintesiser.
Bersama mundurnya puluhan pemeran prosesi upacara adat bibit padi, keluarlah 75 penari selendang. Mereka menari dan berkeliling di sekitar “panggung alam” savana yang kemudian langsung disambut dengan konser musik bambu.
Untuk mengangkat kerajinan khas masyarakat, sesuai masukan Bupati Belu Willybrodus Lay, Eko turut menampilkan ilustrasi pembuatan tenun serta fashion show (peragaan busana) siswa Sekolah Menengah Kejuruan yang memakai aneka macam pakaian berbahan tenun hasil desain mereka. Di dalam koreografi drama musikal, Fulan Fehan langsung berubah-ubah menjadi catwalk 65 model.
Maskot Utama
Liak-liuk penampilan model-model remaja Belu ditutup dengan suara sangkakala serta lengkingan-lengkingan para pemburu. Suasana tiba-tiba berubah mencekam, 385 orang bersenjata tombak tiba-tiba berlarian dari balik bukit sembari berteriak-teriak. Inilah tarian Antama yang merupakan maskot utama dari drama musikal ini.
“Rencananya, penari Antama hanya 200 remaja laki-laki. Namun, dalam perkembangan banyak anak-anak yang tertarik ikut menari. Mereka bahkan mencari sendiri kayu ke hutan untuk membuat tombak yang dipakai untuk menari. Akhirnya, dari rencana awal 200 penari bertambah menjadi 385 penari Antama,” ungkap Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Belu Marsianus Loe.
Para penari Antama yang memainkan tombak dengan iringan gendang Likurai tampak gagah dan bersemangat. Suasana semakin meriah ketika 500 penari Likurai masuk mengelilingi para penari Antama.
Kolaborasi keduanya tampak apik dan serasi, para pemegang tombak membentuk pola horizontal dan vertikal. Suasana kemenangan pascaperburuan semakin kentara saat seruling Eu Huli lot ditiup. Kemeriahan suasana drama musikal ini ditutup dengan penuh kegembiraan saat pemandu acara mengajak semua penari dan penonton menari Tebe. Mereka pun masing-masing membentuk formasi melingkar dan langsung menari Tebe yang disusul dengan makan bersama “hasil buruan” berupa daging sei sapi, ubi, dan pisang rebus.
Kelanjutan festival
Koordinator Drama Musikal Antama Eko Supriyanto mengungkapkan, jumlah penari yang terlibat dalam puncak Festival Fulan Fehan tahun ini memang tidak sebanyak tahun 2017 dengan jumlah penari mencapai 6.000 orang. Meski hanya melibatkan 1.500-an penampil, pertunjukan Drama Musikal Antama kali ini mencoba lebih fokus menggarap satu kearifan lokal Belu, yaitu tradisi antama.
“Tahun lalu, yang diangkat adalah Tari Likurai dan tenun, sementara tahun ini kami menemukan tarian yang terinspirasi dari tradisi berburu antama. Harapan besar kami adalah bagaimana festival ini bisa konsisten dan berlangsung secara berkelanjutan dari tahun ke tahun. Setelah festival Fulan Fehan kedua 2018, mesti muncul festival ketiga, keempat, dan seterusnya yang bisa menjadi ikon dari Kabupaten Beli, juga Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan bahkan Indonesia,” kata Eko.
Festival Fulan Fehan merupakan satu dari sembilan festival yang tahun ini digarap dengan konsep Indonesiana oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Pemkab Belu. Indonesiana merupakan sebuah platform pendukung kegiatan seni budaya yang bertujuan membantu tata kelola kegiatan seni budaya yang berkelanjutan, berjejaring, dan berkembang. Pendampingan ini dilakukan karena, meski begitu banyak festival telah digelar di sejumlah tempat, kualitasnya masih sangat bervariasi.
Sekretaris Ditjen Kebudayaan, Sri Hartini mengatakan, platform Indonesiana berpijak pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang bertujuan memperbaiki tata kelola kebudayaan. Pasal 43 dan 44 menyebutkan, dalam pemajuan kebudayaan, pemerintah pusat dan daerah bertugas menghidupkan dan menjaga ekosistem kebudayaan yang berkelanjutan.