JAKARTA, KOMPAS - Penggunaan Fasilitas umum tidak sesuai peruntukannya masih sering terjadi di Jakarta. Meski sudah dilakukan penertiban berulang kali, sejumlah pedagang kaki lima tetap melanggar dengan masih berjualan di jalur pedestrian sepanjang Jalan Bekasi Timur, Jatinegara, Jakarta Timur. Tidak memperoleh tempat untuk berdagang menjadi alasan.
Pantauan pada pukul 12.00 hingga 15.00, pada Sabtu (29/9/208) di sepanjang Jalan Bekasi Timur, arah ke Bekasi atau ke Kampung Melayu, tepatnya di atas trotoar yang berhadapan dengan pasar Jatinegara dipadati pedagang kaki lima (PKL). Para pedagang itu menggelar berbagai jenis barang dagangan seperti sepatu, pakaian, obat-obat tradisional, buah-buahan, dan aksesoris.
Hal serupa juga terjadi di depan Pasar Hewan Jatinegara. Terdapat ratusan pedagang menggelar dagangannya di sepanjang trotoar tersebut hingga depan Sekolah Menengah Pertama Negeri 15 Jakarta. Di tempat itu, terdapat berbagai jenis hewan yang dijual seperti burung, ikan, kura-kura, kucing, dan ayam.
Akibatnya pejalan kaki yang melintas harus berjalan di jalan raya yang dilewati berbagai jenis kendaraan bermotor. Keadaan ini diperparah dengan banyaknya bahu jalan yang dimanfaatkan sebagai tempat parkir sepeda motor.
Bunyi klakson sepeda motor, angkutan kota, metromini, dan bajaj, sering kali tidak dihiraukan pejalan kaki yang melintas hampir di tengah Jalan Bekasi Timur, Jatinegara itu. Jalan Bekasi Timur, Jatinegara, yang bisa dilalui dua kendaraan sekaligus, pada pukul 14.00, hanya dapat dilewati satu kendaraan.
Jika mengacu pada ketentuan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, pada Pasal 25 menyebutkan, setiap orang dilarang berdagang di jalan, trotoar, jembatan penyeberangan orang, halte, dan tempat-tempat untuk kepentingan umum. Kegiatan berdagang hanya dapat dilakukan di tempat-tempat tersebut atas penetapan dari gubernur.
Tidak ada tempat
Rara Pinkan (35) pedagang minuman yang berjualan di trotoar depan SMPN 15 Jakarta, mengatakan, setiap hari terdapat sejumlah aparat Satuan Polisi Pamongpraja Jakarta Timur yang mengawasi dan melakukan penertiban di tempat tersebut. Barang dagangan dan gerobak yang digunakan untuk berjualan juga sering disita aparat.
Namun, mereka akan kembali berjualan saat para petugas meninggalkan tempat ini. Alasan tidak tersedianya tempat untuk berjualan menjadi faktor penyebabnya.
"Kami diusir begitu saja. Pokoknya enggak boleh berjualan di sini. Di dalam pasar juga padat, enggak ada tempat. Terus kami mau ke mana?" ucap wanita asal Cipinang, Jakarta Timur itu.
Padahal, kata Rara, berdagang merupakan mata pencahariannya setiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Selain itu, keramaian pembeli juga terpusat di sekitar Pasar Jatinegara, Jakarta Timur.
Hal serupa dikatakan Salim (44) warga asal Parung, Depok, Jawa Barat. Lelaki tersebut, sudah 15 tahun menjadi penjual ikan lele.
"Ikan saya simpan di ember yang kecil, saat ada petugas kabur gampang. Mereka di sini sampai pukul 11.00 saja, siang sudah enggak ada. Kalau hari Sabtu mungkin libur (petugas), makanya bebas," ucapnya.
Ia mengatakan, kondisi di dalam pasar hewan yang dipadati pedagang lain, tidak memungkinkan lagi untuk bisa menggelar dagangannya di sana.
Kepala Satuan Polisi Pamongpraja Jakarta Timur Hartono, mengatakan, pihaknya akan terus melakukan upaya pengawaasan pengendalian dan ketertiban atau sterilisasi trotoar yang dipergunakan PKL. penertiban ini dilakukan dengan menjalin koordinasi dengan berbagai unit kerja perangkat daerah seperti Suku Dinas Perhubungan, Suku Dinas UMKM Jakarta Timur, dan pihak Kecamatan Jatinegara.
Keberadaan PKL yang ada di jalur pedesterian Jatinegara, kata Hartono, tidak mengantongi izin dari pemerintah setempat seperti kelurahan atau kecamatan. "Mereka juga sudah tahu, kalau trotoar bukan tempat untuk berjualan tetapi untuk pejalan kaki. Padahal (PKL) bisa cari tempat legal seperti sewa kios atau tempat yang bukan ruang publik," katanya.
Konsisten
Pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti Nirwono Joga saat dihubungi melalui telepon, Senin (1/10/2018) di Jakarta, mengatakan, persoalan penggunaan fasilitas publik sebagai lapak PKL hanya dapat diselesaikan, apabila konsisten dalam penerapan hukum bagi yang melanggar.
Sesuai Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, kata Nirwono, pemerintah perlu konsisten dalam menerapkan aturan tersebut dengan prinsip keadilan.
“Tidak boleh menerapkan standar ganda, karena peraturan akan menjadi kacau. Misalnya di Tanah Abang (Jakarta Pusat) gubernur memperbolehkan. Tetapi di Jatinegara tidak diperbolehkan. Justru mereka (PKL) akan merasa tidak adil,” ucapnya.
Selain itu, harus dilakukan pendataan secara akurat jumlah PKL yang ada di Jatinegara dengan melibatkan asosiasi PKL DKI Jakarta. Data tersebut akan digunakan untuk mendistribusikan PKL yang telah terdata secara resmi ke berbagai tempat yang disiapkan pemerintah.
Tempat itu antara lain pasar rakyat terdekat, pusat perbelanjaan, gedung perkantoran, dan secara bergilir dapat dilibatkan dalam festival-festival yang diselenggarakan pemprov DKI Jakarta.
“Ada kewajiban, setiap pengembang di pusat perbelanjaan atau mal, sepuluh persen lahannya disediakan untuk PKL,” ujar Nirwono. (STEFANUS ATO)